HUKRIMNEWS

Kesaksian Wihelmus Warung Soal Sengketa Tanah antara (alm) Ibrahim Hanta vs Niko Naput, Hotel San Regis di Labuan Bajo Terancam Angkat Kaki

Wihelmus Warung beberkan sejumlah hasil percakapannya dengan H. Ishaka waktu dirinya minta sebidang tanah

FLORESGENUINE.com – Nama H.Ramang Ishaka disebut saksi dalam persidangan kasus tanah Keranga yang berlokasi di Batu Gosok, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sidang digelar pada Rabu, 12 Juni 2024 di Pengadilan Negeri Labuan Bajo dengan agenda menghadirkan saksi dalam persidangan tersebut, memunculkan kesaksian penting dari saksi-saksi pihak penggugat, yaitu dari keluarga ahli waris (almarhum) Ibrahim Hanta, yang bersengketa dengan pihak Niko Naput.

Salah satu saksi yang dihadirkan pada persidangan itu yaitu Wihelmus Warung dan ia dihadirkan oleh Muhamad Rudi selaku ahli waris almarhum Ibrahim Hanta sebagai pihak penggugat melawan Niko Naput. Wilhelmus dalam kesaksiannya membeberkan sejumlah fakta yang mengejutkan.

Kesaksian Wihelmus Warung 

Di depan Majelis Hakim, Wihelmus bersaksi, ada surat pembatalan penyerahan tanah adat pada tahun 1998 yang melibatkan H.Ramang (H.Ramang Ishaka), yang pada tahun 2013 mengeluarkan surat pernyataan, bahwa ia (H.Ramang Ishaka) tidak lagi berhak atas tanah ulayat.

“Fakta sidang kemarin di Pengadilan Negeri Labuan Bajo, saya sebagai saksi dari penggugat. Hakim menanya saya terkait dengan tahu atau tidak soal tanah itu,” jelas Wihelmus berdasarkan rilis yang diterima oleh media ini, Jum’at 14 Juni 2024 malam.

Menurut Wihelmus, soal tanah yang disengketakan itu ia tahu. “Jujur, saya sampaikan kepada hakim, bahwa tanah itu saya tahu. Karena tanah itu juga saya pernah kapu manuk-lele tuak pada tahun 2000. Karena saya mau menanam jagung di situ. Makanya saya kapu manuk-lele tuak pada H.Ishaka tahun 2000,” jelas Yohanes.

Lebih lanjut Wihelmus jelaskan, jawaban H.Ishaka atas permintaannya pada waktu itu, ia tidak bisa mendapatkan tanah itu. Karena tanah tersebut posisinya tumpang tindih antara Nazar Cupu dengan (almarhum) Ibrahim Hanta.

Kemudian Wihelmus mengungkapkan kembali hasil percakapan dirinya dengan H.Ishaka pada saat ia kapu manuk-lele tuak tahun 2000 lalu.

“Makanya Ishaka bilang, saya (Ishaka) sudah batalkan tanah atas nama Nazar Supu yang seluas 16 hektar dua tahun lalu, yaitu Ishaka membatalkan tanah Nazar Supu itu pada tahun 1998. Dua tahun sebelum saya minta tanah ini,” ujar Wihelmus berdasarkan hasil percakapannya dengan H.Ishaka tahun 2000 pada saat ia kapu manuk-lele tuak.

BACA JUGA:  Polres Mabar Kerahkan 131 Personil Amankan Perayaan Paskah di Labuan Bajo

Kemudian, lanjut Wihelmus berdasarkan hasil percakapan dengan H.Ishaka tahun 2000 lalu itu. “Kemudian saya tanya, bagaimana yang lainnya,” tanya Yohanes kepada H.Ishaka.

“Begini, di tanah Nazar Supu yang 16 hektar itu, 11 hektar lebihnya itu milik Ibrahim Hanta berdasarkan kapu manuk-lele tuak pada tahun 1973. Selebihnya, di sebelah selatan itu sudah menjadi milik Yayasan Pemda (Pemerintah Daerah) [Kabupaten] Manggarai,” ujar Wihelmus menerangkan kembali jawaban H.Ishaka atas pertanyaannya.

Sehingga, lanjut Wihelmus mengulangi kata-kata dari H.Ishaka waktu itu, kalau ade (adik [Yohanes]), red) paksa untuk mendapatkan posisi di situ. Sesungguhnya 16 hektar milik Nazar Supu sudah tidak ada tanah di situ. Karena yang memiliki sebelum dia (Nazar Supu), ada Ibrahim Hanta sebanya 11 hektar lebih. Kemudian untuk Yayasan Pemda Manggarai ada 4 hektar lebih di sebelah selatannya itu.

“Sehingga, niat saya untuk mendapatkan tanah itu tidak bisa di situ pada tahun 2000. Tetapi, tetap saya maju terus,” ujar Wihelmus.

“Bagaimana saja caranya Pak Haji. Bagaimana saya mendapatkan tanah itu,” kata Wihelmus mengulangi kembali percakapan atas permintaan dirinya kepada H. Ishaka pada saat ia kapu manuk-lele tuak tahun 2000.

Kemudian menurut Wihelmus, H. Ishaka menyampaikan begini, kalau kau paksa disini, tidak bisa. “Saya buktikan bahwa ini suratnya. Surat ini. Surat Nazar Supu ini, 16 hektar lebih ini, dan ini surat pembatalan yang saya buat dua tahun ini yaitu sembilan,” ujar Wihelmus mengulangi kembali penjelasan H. Ishaka kepada dirinya.

Dikatakan Wihelmus, H.Ishaka menunjukkan surat milik Nazar Supu 16 hektar itu. “Dia (H.Ishaka) tunjuk surat pembatalan itu. Dia (H.Ishaka) telah mengantongi dua surat pembatalan penyerahan tanah tahun 1990 dan 1991 tersebut,” ujar Wihelmus.

Waktu itu, menurut Wihelmus, H.Ishaka meminta dirinya untuk bertemu dengan H.Djuje. “Begini sudah, kau kenal H.Djuje?,” tanya H.Ishaka kepada Wihelmus.

“Kenal baik dengan H.Djuje,” jawab Wihelmus atas pertanyaan H. Ishaka waktu itu.

“Kebetulan, H.Djuje itu adalah ia penata tanah atas dasar kuasa saya,” ucap Wihelmus mengulangi kembali ucapan H.Ishaka.

Kemudian waktu itu menurut Wihelmus, dirinya mempertanyakan keyakinan H.Ishaka terhadap H.Djuje.

BACA JUGA:  Memotret Situasi Kehidupan Para Petani Manggarai Barat

“Jadi begini, saya kasih kopiannya saja surat kuasa saya kepada Djuje untuk menata tanah 16 lengkong, termasuk titik Tanah Keranga yang sekarang sedang bersengketa itu,” ucap Wihelmus mengulangi pernyataan H.Ishaka.

“Dia (H.Ishaka) tunjuk. Termasuk tanah yang tumpang tindih ini. Makanya H.Ishaka pada 2000 itu, dia (H.Ishaka) juga serahkan Surat Kuasa Penataan Tanah ke H.Djuje yaitu pada tahun 1996,” jelas Wihelmus.

“Sehingga saya pegang dua kopian waktu itu, waktu saya pulang. Satu adalah surat pembatalan terkait tanah Nazar Supu itu yang 98 itu. Kemudian ada juga surat pembatalan atas nama Beatriks Seran, atas nama Niko Naput. Niko Naput, disitu dia (H.Ishaka) bilang ada 10 hektar dibatalkan, Betariks Seran ada 5 hektar dibatalkan, Nazar Supu 16 hektar dibatalkan,” ucap Wihelmus.

Lebih lanjut Wihelmus paparkan, setelah bertemu H.Ishaka, ia kemudian bertemu H.Djuje untuk minta tanah.

Hasil Pertemuan Wihelmus Warung dengan H.Djuje

“Saya kemudian ketemu bapak H.Djuje,” kata Wihelmus.

“Bapak, saya minta tanah, saya amanat dari Pak H.Ishaka,” ucap Wihelmus mengulangi kata-kata nya pada saat ia meminta tanah kepada H.Djuje.

Kapu manuk lele tuak saya sudah dia (H.Djuje) terima. Tetapi saya minta tanah itu di Keranga. Tapi dia (H.Djuje) bilang, tanah itu sudah ada yang punya. Akhirnya permintaan saya di depan H.Djuje itu dikabulkan. Dan H.Djuje disposisikan saya, tanah pada tahun itu di Goso Ngia. Sehingga saya dapatkan tanah-tanah itu di Goso Ngia,” jelas Wihelmus.

Selain dirinya, ada beberapa teman-teman dia mendapatkan lahan di Goso Ngia. “Termasuk teman-teman saya banyak dapat tanah disitu. Ada Pak Feri Adu, ada Pak Jhon Pasir. Pokoknya banyak. Sehingga, bentuk respons balik dari adat Nggorang, bentuk peduli atas dasar permintaan saya saat itu,” terangnya.

Pendapat Wihelmus Warung Terhadap H.Ramang

Menurut Wihelmus, pada tahun 2000 H.Ramang itu masih PNS (Pegawai Negeri Sipil) aktif di Taman Nasional Komodo (TNK). “Sehingga, kuasa membagi tanah itu tidak mungkin jatuh ke anak kandungnya, ke H.Ishaka. Dan tanah-tanah itu sudah (H.Ishaka) dikuasakan semua,” jelas Wihelmus.

“Saya pernah terlibat diskusi. Contohnya pada waktu itu, yang libatkan itu anggotanya, Djuje, ada namanya Kanis Hanu, ada namanya Ismail Ele, ada namanya Usman Umar. Usman Umar itu satu-satunya yang masih hidup. Tapi Ramang kan tidak bisa hidup (ikut), dia (H.Ramang) kan masih PNS,” ujarnya.

BACA JUGA:  KPK Geledah Rumah Anggota DPR RI Herman Hery

Kata Wihelmus, H.Ramang tidak turun ke lapangan. “Dia (H.Ramang) itu tidak turun lapangan. Yang tata tanah itu orang yang sudah dia (H.Ishaka) kuasakan. Termasuk H.Djuje, itu 16 titik 16 lingko,” lanjutnya.

“Sebaiknya H.Ramang itu jangan menjadi dasar pemicu konflik tanah. Itu saran saya sebagai warga di kota Labuan Bajo,” pinta Wihelmus.

Karena menurut dia, tanah itu sudah ditata semua. Dan ada semua penatanya. Ramang itu tidak pernah menata. Dan (tanah) sudah ada pemiliknya semua, tidak berhak lagi. Apalagi mengeluarkan surat pengukuhan kepada orang.

Kemudian, sambungnya, ada juga dirinya pernah nonton (menyaksikan) pada tahun 2013 lalu. Untuk tidak ada kepentingan konflik tanah di Labuan Bajo ini, sebaiknya turunan-turunan adat di Labuan Bajo ini bersatu, untuk ditanya. Kemudian harus keluar statement dalam bentuk berita acara resmi. Termasuk H.Ramang waktu itu.

“Saya nonton (menyaksikan) sendiri waktu itu. Ada H.Ramang, kemudian ada Haji Umar, ada semua anak-anaknya. Kemudian ada juga saksi-saksi, ada Pak Anton Said, ada Anton Hantam (Antonius Hantam), ada Frans Ndejeng, ada Pak Feri Adu (Florianus Surion Adu), Theo Urus dari Lancang, tua-tua golo, tua golo semua, ada Niko Nali,” jelas Wihelmus.

Kata Wihelmus, H.Ramang tidak punya hak lagi untuk menata kembali tanah-tanah yang sudah ditata, termasuk dirinya.

“Termasuk saya. Saya tidak berhak tanda tangan, karena saya bukan tua golo. Waktu itu sudah sepakat, bahwa dia (H.Ramang) tidak boleh menata kembali tanah-tanah yang sudah ditata. Karena tidak ada lagi tanah yang belum ditata. Sudah habis ditata semua,” ucap Wihelmus.

Menurut Wihelmus, Ramang (waktu itu) disarankan semua fungsionaris adat dikuatkan kembali, apa yang pernah ditata kewenangan dari Bapak (H.Ishaka) nya sendiri. Dan orang-orang yang dipercaya itu tidak boleh diganggu gugat lagi.

“H.Ramang dianggap melanggar adat dan tidak mengerti dengan adat,” tegas Wihelmus. ** (ah/fg)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button