OPINI

Gold, Gospel, Glory

(Jejak Sejarah Misi Katolik dan Hak Masyarakat Adat)

Oleh : Yakobus S Muda *

Flores, sebuah pulau di Nusa Tenggara Timur, Indonesia memiliki sejarah panjang yang dipengaruhi oleh tiga konsep utama : Gold (kekayaan alam), Gospel (penyebaran agama) dan Glory (kejayaan kolonial).

Ketiga konsep ini tidak hanya membentuk sejarah Flores, tetapi juga memengaruhi kehidupan masyarakat adat setempat. Dalam konteks ini, hak masyarakat adat Flores seiring waktu turut dipengaruhi oleh dinamika politik tersebut.

Sejak abad ke-16, misi Katolik tiba di Flores dan terjadilah interaksi dengan masyarakat adat setempat. Pengaruh misi 3G (Gold, Gospel, Glory) berhasil mengakar kuat dalam budaya masyarakat. Hal ini didukung oleh peran gereja yang kuat dalam bidang pendidikan dan pelayanan sosial. Kehadiran misi Katolik menjadi tonggak penting dalam pertumbuhan wilayah Flores.

Capaian tertinggi dari pengaruh 3G terlihat saat ini, di mana arah penyebaran misi justru berbalik ke daerah asalnya. Para rohaniawan Katolik kini kembali menyebarkan misi keagamaan ke tanah kolonial dan ke seluruh dunia, termasuk ke pusat-pusat pendirian kongregasi itu sendiri.

Perkembangan panjang misi gereja ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan social budaya masyarakat Flores. Nilai-nilai toleransi dan persaudaraan yang menjadi DNA masyarakat adat Flores menjadi kekuatan pendorong pertumbuhan gereja Katolik. Nilai-nilai ini sejalan dengan ajaran gereja sehingga memudahkan proses integrasi.

Dalam konteks pengaruh kolonialisme, kita dapat belajar dari pengalaman masyarakat Maori di Selandia Baru. Namun, terdapat perbedaan signifikan dalam hal pengakuan dan perlindungan hukum, partisipasi dalam pembangunan serta pelestarian budaya.

BACA JUGA:  Gaya Tidak Sesuai dengan Prestasi

Pemerintah Selandia Baru telah mengakui hak-hak masyarakat Maori melalui Perjanjian Waitangi (1840) yang menjadi dasar klaim atas tanah dan hak budaya. Sementara di Flores, pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat mengikuti hukum nasional yang berlaku di seluruh Indonesia.

Masyarakat Maori memiliki peran aktif dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional dan lokal. Mereka memiliki perwakilan di parlemen dan lembaga-lembaga khusus yang memperjuangkan kepentingan mereka. Selain itu, masyarakat Maori berhasil mempertahankan bahasa, seni dan tradisi mereka melalui system pendidikan dan media yang mendukung.

Sebelumnya, banyak tanah di Indonesia, dikuasai oleh pemerintah kolonial atau perusahaan-perusahaan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, tanah-tanah tersebut diambilalih oleh negara atau diwariskan kepada pihak-pihak tertentu. Pada tanggal 24 September 1960, Presiden Sukarno mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dengan lahirnya undang-undang ini, tidak ada lagi perbedaan antara hukum adat dan hukum perdata Belanda dalam masalah pertanahan.

BACA JUGA:  Kini Jakarta Jadi Kota Pusat Ekonomi, Bukan Lagi Ibu Kota Negara

Masyarakat lokal, terutama yang tinggal di sekitar lahan dengan Hak Guna Usaha (HGU), seringkali mengklaim hak atas tanah tersebut berdasarkan adat atau kepemilikan tradisional. Klaim ini biasanya didasarkan pada penggunaan tanah secara turun-temurun sebelum tanah tersebut dikuasai oleh perusahaan Belanda atau pemerintah kolonial.

Namun, klaim masyarakat seringkali berbenturan dengan status hukum tanah yang telah diberikan HGU oleh pemerintah. Karena HGU adalah hak yang diberikan oleh negara, klaim masyarakat harus melalui proses hukum yang panjang untuk diakui. Masyarakat adat yang merasa bahwa tanah tersebut adalah milik mereka secara turun-temurun perlu membuktikan klaimnya melalui mediasi yang melibatkan pihak ketiga yang netral.

Pemerinta memiliki peran penting dalam menyelesaikan konflik ini melalui mediasi serta melalui kebijakan redistribusi tanah, pengakuan hak adat atau pemberian kompensasi kepada masyarakat. Langkah-langkah ini diperlukan untuk menciptakan keadilan dan harmoni dalam pengelolaan sumberdaya alam.

BACA JUGA:  Paus Fransiskus Pimpin Misa Akbar di GBK, Dihadiri 86 Ribu Umat Katolik

Penulis Koordinator Wilayah Ikatan Sarjana Katolik, Ketua Yayasan ParapuarLingko Nusantara

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button