SOSOK

Dr.Bherta S.E Murtiningsih : Empat Indikator Pengembangan Ekowisata Labuan Bajo Belum Terpenuhi

FLORESGENUINE.com- Dr. Bherta S.E Murtiningsih, dosen sekaligus peneliti dari Universitas Multimedia Nusantara mengatakan, ada empat indikator untuk mengukur keberhasilan program pengembangan ekowisata.

Ke empat indikator tersebut yaitu konservasi alam, pemberdayaan masyarakat, pelestarian budaya dan keadilan ekonomi dan sosial bagi masyarakat.

Namun, dari hasil diskusi bersama beberapa pihak, baik pemerintah, pegiat pariwisata, pelaku ekonomi dan tokoh masyarakat menunjukkan bahwa ke empat indikator pengembangan ekowisata di Labuan Bajo, Manggarai Barat tampaknya belum terpenuhi.

Berikut kutipan wawancara Kornelis Rahalaka dan Abdul Hamid dari Floresgenuine.com dengan Dr. Bherta S E Murtiningsih:

Apa tujuan FGD dan apa target yang mau dicapai dari penelitian ini?

Seperti sudah saya jelaskan bahwa diskusi dan penelitian ini berangkat dari sejumlah pertanyaan penting guna mendapatkan masukan mengenai pengembangan ekowisata di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Dari hasil diskusi dan penelitian ini, nantinya kita akan mencoba untuk merancang semacam model pengembangan ekowisata alternatif yang berbasis pada nilai-nilai budaya dan kearifan-kearifan lokal serta apa yang perlu dikembangkan agar masyarakat lokal sungguh-sungguh diberdayakan dan masyarakat ikut berpartisipasi, baik dalam aspek ekonomi, budaya maupun sosial.

Selain itu, penelitian ini juga untuk membangun semacam model interaksi ekowisata yang lebih mengedepankan pada pemberdayaan masyarakat, terlebih bagaimana masyarakat lokal bisa diberdayakan dan berpartisipasi semaksimal mungkin hingga menikmati hasil dari pariwisata itu sendiri.

BACA JUGA:  Tarian Khas Manggarai Sambut Kedatangan Para Uskup se Indonesia

Program ekowisata terkesan masih sebatas konsep, belum diimplementasikan secara nyata dalam program-program pembangunan pariwisata. Apa pendapat Anda?

Setidaknya, ada empat indikator untuk mengukur keberhasilan program ekowisata. Kalau kita bicara soal konservasi alam, tapi masih ada penebangan hutan bakau,  kalau kita bicara pemberdayaan masyarakat, tapi masyarakatnya dieksploitasi, termasuk eksploitasi budayanya. Lalu, ekonomi belum dinikmati oleh masyarakat atau masyarakat juga tidak mendapatkan keadilan, karena porsi ekonomi lebih besar dinikmati oleh kelompok-kelompok pengusaha atau kelompok-kelompok yang mendominasi karena mereka punya sumber daya finansial yang besar sehingga mereka mudah mengeksploitasi masyarakat dan sumber daya alamnya maka sesungguhnya ekowisata belum terpenuhi.

Di sini, pemerintah seharusnya membuat regulasi untuk memberdayakan masyarakat. Bagaimana masyarakat lokal secara ekonomi mereka tumbuh, sehingga mereka bisa merasakan keuntungan-keuntungan dari adanya program pengembangan pariwisata di wilayah mereka.

Kami mendorong agar ada pengembangan ekowisata berbasis kearifan local, juga pemberdayaan. Bagaimana modal budaya dan modal sosial ini menjadi fundamental untuk pengembangan ekowisata, sehingga membantu munculnya partisipasi dari masyarakat. Selama ini, yang kami lihat tidak berbasis pada kedua modal dasar ini, tetapi hanya melihat pada ekonomi kapital yang memberikan keuntungan-keuntungan kepada kelompok-kelompok yang dominan tadi.

BACA JUGA:  Ketua PHRI Mabar Silvester Wanggel, Siap Berbakti untuk Kepentingan Bersama

Bagaimana pengembangan ekowisata akan berjalan baik jika masih terdapat silang-sengketa atau tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah terkait asset dan pengelolaan pariwisata di wilayah ini?

Saya kira ini soal perspektif komunikasi, yang hemat saya perlu ada komunikasi yang sifatnya lebih dialogis dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat atau komunitas. Masyarakat mesti diajak berdialog mengenai konsep dan pengelolaan ekowisata, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, kontrolnya sampai pada evaluasi. Di setiap tahapan ini harus ada komunikasi yang jelas, apa yang dikomunikasikan, bentuk komunikasi seperti apa, kemudian model komunikasinya seperti apa yang harus dipikirkan oleh berbagai komunitas yang terlibat di dalam pengembangan ekowisata. Sepanjang itu tidak didukung atau dikomunikasikan, maka sulit untuk kita kerjakan bersama. Jadi, mungkin yang pertama kita akan lakukan adalah memetakan berbagai masalah dari pengembangan ekowisata.  Apa masalah dari analisa SWOT yang akan kita lakukan. Jika masalahnya sudah kita petakan, misalnya kelompok komunitas adat, masalah UMKM dan sebagainya. Jadi, masalah-masalah sektoral itu apa saja dan mungkin masalah di komunikasinya.  Bagaimana masalahnya, apa masalahnya yang perlu dipetakan serta bentuk komunikasi seperti apa yang perlu dibangun serta bagaimana merancang program-program pariwisata. Apa yang perlu dibenahi, apakah sumber daya manusia, manajemen pariwisatanya.

BACA JUGA:  Tiga Negara Buka Penerbangan Langsung ke Labuan Bajo

Adakah contoh atau model pengembangan ekowisata di Indonesia yang dapat dijadikan model untuk diterapkan di wilayah ini?

Selama ini saya baru membaca artikel-artikel internasional. Mungkin nanti saya bisa mengirimkan artikel-artikel itu. Bagaimana pengembangan ekowisata di Afrika, di Thailand yang dibuat oleh pemerintah dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Yang paling penting adalah membangun kesadaran masyarakat dahulu dan ini tentu membutuhkan konsistensi dan kompetensi dari pemimpin dan pemerintah untuk menerapkan konsep-konsep ekowisata. Jadi, kita akan mencoba menemukan solusi-solusi alternative, bagaimana seharusnya model pengembangan ekowisata di Labuan Bajo. Termasuk model literasi-literasi pariwisata dan ekowisata seperti apa yang cocok dengan budaya dan kearifan lokal masyarakat Manggarai Barat. Saya minta doanya supaya nanti bisa terealisasi dengan baik. Menuliskan ini (riset) tentu sangat tidak mudah karena itu masih perlu wawancara lagi dengan banyak pihak untuk mendapatkan banyak masukan.

Pemerintah saat ini sedang menggalakkan ekowisata  maka pemerintah mungkin akan cenderung memilih proposal proposal yang berkaitan dengan pengembangan ekonomi saja. Sedangkan saya sebagai peneliti, saya lebih memilih bidang ekowisata yang berbasiskan budaya dan kearifan-kearifan lokal karena dua hal ini merupakan aspek yang sangat penting dalam pengembangan ekowisata. *

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button