
Pariwisata Flores tumbuh dan berkembang secara alami sebagai ekowisata sejak lebih dari tiga dekade lalu. Sebelum istilah “super premium” mencuat dalam diskursus kebijakan, Flores sudah dikenal luas sebagai destinasi petualangan berbasis nilai-nilai ekologis dan kearifan lokal. Hal ini bukan terjadi karena desain investor, melainkan berangkat dari kekayaan alam ciptaan Tuhan serta karakter masyarakat yang ramah dan bersahabat.
Dalam konteks ini, saya teringat akan pesan Dr. Paul Edmundus Talo bahwa, “jenis pariwisata itu boleh banyak, namun semuanya harus bermuara pada pelayanan yang prima.” Dengan kata lain, keberagaman pendekatan dalam membangun pariwisata harus tetap tunduk pada prinsip pelayanan terbaik, terutama terhadap alam dan masyarakat lokal.
Sayangnya, geliat pariwisata Labuan Bajo dan Flores dalam beberapa tahun terakhir tampak bergeser ke arah yang berisiko: dari yang berbasis masyarakat dan lingkungan, menjadi pariwisata yang dikuasai logika kapital, investor dan korporasi besar. Narasi “super premium” cenderung mengarah pada eksklusivitas dan elitisasi destinasi yang pada akhirnya mengasingkan masyarakat dari ruang hidup dan warisan budayanya sendiri.
Kami tidak anti terhadap kehadiran korporasi. Justru sebaliknya, kita memerlukan korporasi yang memiliki integritas dan komitmen terhadap tata ruang, menghargai budaya lokal dan berjalan seiring dengan kehendak masyarakat. Korporasi yang sehat seharusnya menjadi penguat masyarakat lokal, bukan menjadi kekuatan yang mengkapitalisasi semua sumber daya demi kepentingan sempit. Yang patut kita tolak adalah korporasi busuk yang menginjak-injak kearifan lokal, menerobos tata ruang dan menimbulkan kerusakan sosial-ekologis.
Pilihan pada ekowisata bukan hanya karena kehendak idealistik. Ekowisata adalah bentuk pariwisata yang paling sesuai dengan karakteristik Pulau Flores—dari bentang alamnya yang memukau, sampai keragaman budaya yang hidup di tengah masyarakat. Namun, ekowisata juga menuntut sumber daya manusia yang profesional. Di sinilah pentingnya penguatan kapasitas lokal agar mampu menghadapi tekanan global dan mengantisipasi dampak dari investasi yang tidak bertanggung jawab.
Kini saatnya kita semua—pemerintah, pelaku industri, akademisi dan masyarakat—merefleksikan kembali arah kebijakan pariwisata Flores. Mari menghindari pendekatan top-down yang tidak partisipatif. Jangan jadikan pariwisata sebagai jalan untuk mengasingkan masyarakat dari tanahnya sendiri. Jadikanlah ia sebagai jembatan untuk membangun kesejahteraan bersama yang adil, lestari dan bermartabat.
Penulis adalah GM Floressa Bali Tours dan Dosen Praktisi pada Program Studi Ekowisata Politeknik Cristo Re Maumere, Flores