FLORESGENUINE.com- Sebutan angkatan kerja bagi generasi muda sudah tak relevan lagi di era modern ini. Lihat saja, angka pengangguran di kalangan anak muda semakin tinggi. Lapangan kerja semakin langka.
Padahal dari segi pendidikan, anak muda sudah melewati tingkatan pendidikan yang lebih maju. Namun dalam pandangan Prof. Ben White, seorang Sosiolog Pedesaan asal Den Haag, Belanda, masalah penggangguran anak muda semakin terlihat miris ketika membandingkan dengan kondisi bidang pertanian.
Bidang pertanian menurut studi dan hasil pengamatan Prof. Ben, tidak lagi diminati oleh generasi muda. Padahal tenaga kerja dibidang pertanian masih sangat dibutuhkan. Ke depan bidang pertanian semakin memiliki prospek lantaran kebutuhan masyarakat dunia yang semakin meningkat.
Namun fakta yang mengejutkan yakni justru lebih banyak pengangguran di kalangan anak muda yang berasal dari wilayah pedesaan. Hal ini disebabkan antara lain oleh karena anak muda yang sudah menempuh pendidikan tinggi, meskipun menganggur, enggan pulang ke kampung. Mereka lebih memilih bertahan hidup di kota sambil menanti lowongan pekerjaan.
Meskipun demikian, di luar dari kenyataan itu, fakta menunjukkan bahwa penggangguran di kalangan anak muda memiliki arti yang lebih luas. Pengangguran bukan hanya berarti tidak punya pekerjaan sama sekali, tetapi kenyataan juga merujuk pada kalangan anak muda yang bekerja serabutan sambil menanti pekerjaan yang layak dan sesuai dengan minat mereka.
Mengapa anak muda enggan bertani jika pertanian adalah salah satu solusi untuk masalah pengangguran? Ada beberapa alasan. Pertama, di lingkungan pendidikan, baik sejak di lembaga pendidikan dasar, bidang pertanian tidak mendapat perhatian utama.
“Sangat jarang anak-anak diajarkan untuk menjadi petani,”ujar Prof. Ben dalam sebuah diskusi yang digelar beberapa tahun lalu oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat. Selain itu, ada stigma yang memandang bahwa lingkungan pedesaan atau pertanian identik dengan ketertinggalan.
Kenyataan itu disebabkan minimnya perhatian pemerintah terhadap penyediaan infrastruktur jalan dan infrastruktur teknologi. Pertanian menjadi bidang atau mata pencaharian yang kurang menarik bagi kalangan anak muda. Kenyataan ini tak terlepas dari banyak negara bekas jajahan yang mana reformasi agraria belum berjalan.
Negara lebih percaya melimpahkan tanah berhektar-hektar kepada korporasi-korporasi besar daripada kepada petani kecil. Dengan demikian, diharapkan bahwa korporasi itu akan menyedikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat melalui usaha perkebunan dan pertanian. Dalam kenyataannya, hal itu tidaklah menarik lagi untuk kalangan anak muda. Eksploitasi tenaga kerja di kebun-kebun korporasi tidak sebanding dengan upah yang mereka terima. Faktor budaya partriarkhal di wilayah pedesaan ikut mengurangi kebebasan ekpresi dan perwujudan diri anak muda.
Di desa-desa, para tetua adat masih memegang kendali otoritas pengelolahan lahan pertanian. Di beberapa tempat misalnya, anak muda tidak diberikan kemandirian sampai dengan batas usia tertentu. Ketika mereka menginjak usia 40-an tahun baru mereka dipercaya mengelolah tanah untuk dirinya sendiri.
Tak heran, persoalan pertanian dan anak muda menjadi persoalan struktural. Maka ke depan dibutuhkan solusi-solusi yang bersifat struktural pula. Jika tidak, kita akan jatuh pada pandangan yang terpilah-pilah. Mengapa pembedahan persoalan anak muda selama ini tidak berjalan efektif karena kesalahan utama terletak pada cara memandang anak muda.
Anak muda hanya dilihat dari perspektif masa depan sehingga lahirlah bermacam-macam istilah seperti kaum muda adalah angkatan kerja. Padahal yang sering dilupakan adalah bahwa anak muda sebenarnya sedang membangun identitas diri kini dan di sini di mana mereka ingin membentuk diri pada saat ini tapi mereka diabaikan begitu saja.
Anak muda zaman sekarang mempunyai kebutuhan untuk membentuk citra sebagai anak muda yang sukses. Kenyataan itu terlihat misalnya, anak muda menempuh pendidikan lebih panjang dan usia pernikahan yang ditunda. Karena itu, definisi anak muda pun bergeser. Di beberapa negara, umur 35-40 masih dikategorikan sebagai anak muda. Minimnya perhatian terhadap apa yang sebenarnya sedang dijalani anak muda, membuat persoalan di kalangan anak muda terabaikan begitu saja. Tak ada jalan keluar yang tepat.
Daripada menyebut anak muda sebagai angkatan kerja, kata “kewiraswastaan” hemat Prof. Ben menjadi lebih familiar. Anak muda diharapkan dapat berwiraswasta. Berkompetisi satu sama lain dan semakin kreatif mencari peluang-peluang.
Namun, ajakan berwiraswasata sebenarnya juga banyak menyembunyikan tanggung jawab negara terhadap perkembangan anak muda. Anak muda dibiarkan begitu saja menyelesaikan persoalannya melalui kompetisi satu sama lain. Seperti hukum evolusi, yang menang akan bertahan, yang kalah terlempar begitu saja.
Di negara-negara neo-liberal, anggaran untuk menyelesaikan persoalan demikian hampir tidak ada. Anak muda dan persoalannya, tidak menjadi perhatian utama. Begitu pula, dalam lembaga dunia seperti Internatioanal Labour Organization (ILO). Penyelesaian persoalan anak muda hanya sebatas di atas kertas, belum sampai pada solusi-solusi nyata.
Dengan demikian, upaya perlindungan dan perhatian dari negara dan masyarakat tidak nyata lagi bagi kalangan anak muda. Untuk itu menurut Prof.Ben, anak muda mesti diarahkan untuk mencintai dunia pertanian melalui pendidikan formal pun non formal. Di sini peran negara atau pemerintah sangat penting, guna mendorong kaum muda mencintai pertanian sebagai profesi yang mulia dan bukan sekedar pelarian dari rasa kecewa atau putus asa. [kis/fg]