
FLORES GENUINE – Hampir semua suku bangsa di Indonesia, khususnya di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), belis atau mahar adalah tradisi pemberian mas kawin dalam perkawinan adat yang sudah berlangsung turun temurun.
Meskipun memiliki makna dan tata cara adat pemberian yang berbeda-beda di setiap suku dan daerah namun pada umumnya, belis memiliki makna yang hampir sama yaitu wujud rasa terima kasih dan simbol ikatan perkawinan antara keluarga mempelai perempuan dan laki-laki.
Konsep belis dapat berbeda-beda di setiap daerah. Belis bisa berupa sejumlah uang, hewan atau benda lainnya yang memiliki nilai dan makna tertentu yang diberikan kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan. Jumlah dan besaran belis biasanya ditentukan oleh kedua belah pihak melalui musyawarah untuk kesepakatan bersama.
Di kalangan masyarakat Manggarai raya misalnya, tradisi pemberian belis mulai mengalami pergeseran makna serta nilai spiritualnya. Pada umumnya, bentuk dan jumlah belis ditentukan berdasarkan hasil kesepakatan antara pihak anak rona (keluarga laki-laki) dengan pihak anak wina (keluarga perempuan).
Belis bagi orang Manggarai memiliki nilai spiritualitas yang tinggi. Belis merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan kepada keluarga perempuan. Belis juga merupakan simbol dan alat perekat hubungan antara keluarga besar anak rona dan anak wina. Karenanya, belis tidak sekedar sebagai alat transaksi semata. Sayangnya, dari waktu ke waktu belis mulai kehilangan nilai spiritualnya.
Pergeseran nilai dan makna ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti:
Pertama, makin berkurangnya hewan peliharaan seperti kerbau atau kuda yang biasa digunakan sebagai mahar atau belis yang diberikan kepada pihak keluarga perempuan.
Kedua, uang dijadikan alat transaksi dalam ritual pemberian belis dalam proses perkawinan adat.
Ketiga, intervensi lembaga keagamaan dalam proses perkawinan.
Keempat, belis sebagai alat bukti dari pihak anak rona bahwa ia sanggup dan siap menjamin kehidupan yang baik bagi anak wina atau calon istri yang akan ia nikahkan.
Konon, pada masa lalu, sebagian besar keluarga Manggarai memelihara kerbau atau kuda. Selain untuk dijual guna memenuhi kebutuhan keluarga, hewan peliharaan itu juga digunakan sebagai belis.
Namun, memasuki era 1980-an, seiring berkembangnya dunia perdagangan, banyak hewan peliharaan warga khususnya kerbau dan kuda yang diperdagangkan keluar wilayah secara besar-besaran.
Fenomena tersebut tentu berdampak pada makin berkurangnya jumlah hewan peliharaan. Selain itu, bertambahnya penduduk mengakibatkan makin berkurangnya lahan-lahan untuk penggembalaan ternak.
Diketahui bahwa dalam hal belis perkawinan adat, orang Manggarai biasa memperlakukan pihak laki-laki secara baik dan terhormat. Jika keluarga laki-laki belum mampu membayar sejumlah belis maka sang anak laki-laki bisa tinggal bersama keluarga perempuan untuk jangka waktu tertentu hingga keluarga laki-laki melunasi sejumlah belis sesuai kesepakatan.
Langka ini biasa dikenal dengan sebutan: gogong mata olo, dongge mata one. Secara harfiah yang artinya tempat atau alat dari bambu untuk menyimpan makanan babi. Ungkapan ini merupakan ungkapan eufemisme bahwa anak laki-laki rela tinggal bersama keluarga perempuan untuk bekerja melayani keluarga perempuan sampai pihak laki-laki melunasi belis sesuai yang disepakati bersama.
Dalam hal penentuan besaran belis, orang Manggarai sesungguhnya tidak mempertimbangkan status dan strata social, entah kaya atau miskin, bangsawan atau rakyat jelata. Meski begitu, seiring perkebangan zaman, nilai belis mulai mengalami pergeseran nilai.
Belis mengalami reduksi makna dan nilai spiritual yakni dari alat perekat relasi sosial antara pihak keluarga laki-laki dan keluarga perempuan menjadi seolah sekedar sebagai alat transaksi semata.
Fenomena ini diperburuk oleh adanya intervensi lembaga-lembaga keagamaan yang secara sadar atau tidak sadar, turut melegitimasi kemerosotan nilai spiritual dari belis itu sendiri.
Dalam pelaksanaan ritus perkawinan secara agama misalnya, pemimpin agama kerap mendahulukan ritual perkawinan agama ketimbang mengikuti proses perkawinan adat. Dalam beberapa kasus tertentu, kian memperjelas konflik ini, di mana konflik muncul lantaran lembaga keagamaan mengabaikan ritual perkawinan secara adat.
Belis yang seharusnya menjadi landasan perkawinan adat, serta merta digantikan dengan tata aturan perkawinan agama. Situasi ini kerapkali memicu konflik antar keluarga dan atau antara suami-istri yang hendak membentuk sebuah rumah tangga baru.
Pada masa lalu, sebelum lembaga keagamaan melakukan ritual perkawinan, biasanya para pemuka agama memastikan terlebih dahulu perihal proses perkawinan adat. Apabila proses perkawinan adat sudah selesai dan berjalan dengan damai maka institusi agama boleh melangsungkan perkawinan sesuai tata cara agama.
Singkat kata, perkawinan secara agama hanya boleh dilakukan jika perkawinan adat sudah dijalankan. Di sini, perkawinan agama sesungguhnya hanya untuk melegitimasi atau mengukuhkan proses perkawinan adat.
Zaman telah berubah. Belis sebagai alat pemersatu dan perekat relasi sosial kian renggang, longgar bahkan kehilangan makna dan daya spiritualnya. Belis, cenderung dipandang hanya sekedar alat transaksi semata dan uang adalah alat transaksi itu, sementara nilai-nilai luhur dari belis perlahan-lahan makin pudar. *(red/fgc]