Konflik agraria di NTT dari tahun ke tahun terus meningkat dan berlangsung secara masif. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nusa Tenggara Timur (NTT) mencatat, peningkatan konflik agraria bersifat vertikal yakni baik antara pemerintah dan rakyat maupun perusahaan dan rakyat.
Peningkatan ini berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah investasi yang masuk ke NTT dan seiring dengan eskalasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Beberapa kasus yang mencuat dalam lima tiga tahun terakhir yakni kasus agraria di Manggarai Timur terkait rencana beroperasi pabrik semen dan tambang batu gamping oleh PT.Singa Merah.
Konflik agraria di hutan adat Besipae di Timor Tengah Selatan (TTS) berkaitan dengan rencana pemerintah propinsi mengembangkan perkebunan kelor dan peternakan berskala besar di tempat tersebut. Dan konflik agraria dan tempat peribadatan Marapu di Sumba Timur bersamaan dengan rencana investasi PT.MSM untuk pabrik gula dan perkebunan tebu. Konflik ini mengakibatkan tiga masyarakat adat Umalulu dijebloskan ke penjara selama 6 bulan pada tahun 2020 lalu.
Konflik juga mencuat antara Gubernur NTT,Viktor B Laiskodat dengan Umbu Maramba Hau di Sumba Timur terkait tanah seluas 500 hektar yang diklaim sudah menjadi milik pemerintah propinsi sejak tahun 2001 silam.
Beberapa konflik diatas merupakan fenomena gunung es yang menjelaskan betapa buruknya penanganan tata kelola agraria di NTT baik oleh eksekutif, legislatif, yudikatif hingga distorsinya kelembagaan adat dalam konteks agraria.
Dalam catatan WALHI, konflik yang terus berulang antara pemerintah dan rakyat sebagai dampak dari buruknya sistem tata kelola pemerintahan di Propinsi NTT. Dalam siaran persnya, WALHI NTT mencatat faktor utama konflik agraria di NTT akibat DPRD tidak menjalankan fungsi legislatifnya yang dimandatkan oleh konstitusi dan peraturan perundangan.
Contoh, fungsi DPRD yakni pengawasan dan penyerapan aspirasi konstituen, tindak tanduk birokrasi eksekutif dan yudikatif dalam konteks kepentingan agrarian. WALHI NTT mencatat, berbagai kasus agraria yang terus berulang dari tahun ke tahun di NTT tidak pernah serius dibicarakan oleh DPRD di ruang-ruang persidangan.
WALHI NTT juga mencatat, dari tahun 2018 hingga kini, DPRD tidak pernah memanggil pemerintah untuk memberikan penjelasan atau klarifikasi tentang berbagai kasus agraria yang melibatkan pemerintah di dalamnya atau menyampaikan ke publik hasil-hasil persidangan DPRD dalam konteks agraria di NTT.
Tidak heran, kasus kasus agraria di NTT yang menyita perhatian publik menguap begitu saja tanpa penyelesaian yang berarti. DPRD mengabaikan perannya sebagai penyuara aspirasi rakyat dan mitra yang setara dengan pemerintah dalam penyelesaian konflik-konflik agraria di NTT.
WALHI NTT menilai, kekerasan-kekuasaan terhadap rakyat terjadi akibat para wakil rakyat tidak menjalankan fungsinya secara baik bahkan membiarkan konflik-konflik itu terus terjadi serta ikut melanggengkan praktek kekerasan kekuasaan di NTT.
Menurut WALHI NTT, konflik-konflik agraria yang terus berlangsung di NTT adalah buah dari kegagalan kolektif dalam menjalankan sistem pemerintahan dan gagal memahami dan menyelesaikan persoalan-persoalan agraria di NTT.
Konflik agraria juga terjadi akibat lemahnya pemerintah dalam melakukan konsolidasi birokrasi mulai dari protokoler hingga dinas-dinas teknis dalam kepastian hukum atas tanah dan membangun komunikasi dengan rakyat. Selain itu, konflik juga tidak terselesaikan karena DPRD tidak menjalankan fungsi pengawasan, kebijakan, dan anggaran.
Peristiwa-peristiwa konflik yang terjadi juga diakibatkan oleh terjadinya distorsi tata kelola kelembagaan adat dalam konteks agraria di NTT. Untuk itu, WALHI meminta DPRD agar bersikap proaktif ikut menyelesaikan masalah-masalah rakyat yang berkaitan dengan ruang penghidupannya di NTT.
Selain itu, pemerintah didesak untuk menghentikan praktek-praktek para mafia dan makelar tanah yang bertindak di luar koridor hukum dan kepantasan etika atau pranata masyarakat adat di NTT.*