Opini

Satu Catatan dari Sudut Kampung Retenggaro – Sumba

Oleh: Heribertus Ajo

(Secuil pesan reflektif untuk Gubernur NTT dan Kementerian Pariwisata Indonesia)

Ini sebuah ironi, viralnya kasus Retenggaro-Sumba beberapa waktu lalu menyentuh lubuk hati saya. Pemerasan dan ketidakadilan justru terjadi di sebuah kampung yang telah lama menjadi objek wisata.

Dalam pengalaman pribadi saya, Retenggaro sudah dikenal dalam kancah pariwisata sangat lama. Saya sendiri telah mengunjunginya beberapa kali sejak awal 1990-an. Kampung yang damai, ramah, dan unik ini selalu meninggalkan kesan mendalam setiap kali saya menyambangi wilayah Kodi dan sekitarnya bersama tamu tamu saya dari berbagai belahan bumi. Maka pertanyaannya: mengapa hal seperti ini tiba-tiba terjadi?

Mari kita sejenak berefleksi. Sejauh mana dampak pariwisata benar-benar dirasakan oleh masyarakat kampung setempat? Apakah mereka telah menjadi subjek aktif, atau sekadar objek tontonan dalam industri yang terus tumbuh ini? Sejauh mana peran negara—lewat pemerintah daerah maupun pusat—hadir untuk mendorong peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal? Ketimpangan macam apa yang sedang menggerus peradaban kampung di tengah arus besar zaman modern?

BACA JUGA:  Nusa Toleransi dan Investasi

Komersialisasi, teknologi dan loncatan budaya modern tampaknya telah menghimpit nilai-nilai lokal. Perubahan yang datang terlalu cepat tidak dibarengi kesiapan masyarakat dan kebijakan yang memihak. Kesenjangan ekonomi pun tumbuh tanpa kendali, dan ketidakadilan dalam distribusi manfaat pariwisata menjadi luka terbuka yang menyakitkan. Bahkan, ada semacam pertumbuhan pariwisata yang elitis dan eksklusif di tanah Sumba, dan juga mulai menyerempet ke beberapa pulau lain di NTT.

Hal ini merupakan loncatan yang jauh dari semangat pertumbuhan ekowisata yang secara natural berkembang dari dalam kampung itu sendiri. Campur aduknya berbagai gaya elitis dan eksklusif yang berhimpitan langsung dengan peri kehidupan tradisional—bila tidak mendapat tinjauan kritis dan sharing wawasan yang mendalam—dapat dengan mudah memecah mentalitas masyarakat. Ini tugas berat, dan sama sekali tidak mudah.

Belakangan ini kita banyak bicara tentang community-based tourism, tentang sustainable tourism. Tapi mari jujur pada diri sendiri: apakah nilai-nilai itu benar-benar telah dijalankan dalam kebijakan? Apakah benar-benar hadir dalam praktik di lapangan? Ataukah hanya menjadi jargon dalam berbagai obrolan akademis dan konferensi internasional? Kita mesti malu.

BACA JUGA:  Sampah Plastik Acaman Serius Destinasi Pariwisata Flores

Ini bukan sekadar kesalahan yang bisa kita lemparkan pada segelintir pelaku, tetapi kegagalan kolektif dari semua pihak yang terlibat—termasuk kita, para praktisi, akademisi, birokrat, dan pelaku industri pariwisata umumnya,dalam hal ini pelancong independen dengan bsrbagai gaya atau stylenya.

Sudah saatnya kita membuka kembali cakrawala berpikir dalam membangun sebuah destinasi. Kita harus mulai dari pengakuan terhadap otoritas kampung—bukan hanya sebagai pelengkap administratif, tetapi sebagai pemilik tanah, warisan budaya, dan narasi sejarah. Mereka harus diberi ruang untuk bersuara, menentukan arah, dan berpartisipasi secara aktif dalam merancang masa depan mereka sendiri.

Kita perlu mendengar lebih banyak, bukan sekadar bicara. Meresapi lebih dalam, bukan sekadar mengamati. Dan yang lebih penting, memberi andil nyata—baik dalam menjaga keaslian dan keunikan kampung, maupun dalam memberikan penghargaan atas keteguhan mereka mempertahankan kearifan lokal di tengah gempuran modernisasi.

BACA JUGA:  Gubernur NTT Pimpin Delegasi Rapat Bersama BP2MI Bahas Pekerja Migran

Sebab tanpa keberpihakan yang nyata pada masyarakat kampung, pariwisata bukanlah kemajuan, melainkan bentuk kolonialisasi baru—yang diam-diam merampas masa depan mereka dengan cara yang sangat halus namun menyisahkan tragedi.*

Penulis adalah praktisi dan dosen Program Studi Ekowisata Politeknik Cristo Re di Maumere, Flores.

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button