FLORESIANA

Revolusi Dimulai di Meja Makan

(Memaknai Ulang Tahun Mgr. Paulus Budi Kleden SVD)

Oleh : Stefanus Wolo *

Hari ini, Sabtu 16 Nopember 2024, Uskup Agung Ende Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD merayakan ulang tahun kelahiran ke-59. Tentu banyak cara untuk memaknai ulang tahunnya. Beliau didoakan dalam intensi pribadi, komunitas dan perayaan ekaristi. Mgr. Budi juga pasti menerima ucapan proficiat melalui telepon, media sosial, kartu-kartu dan email.

Saya pribadi mendoakan beliau dalam ekaristi dan mengucapkan proficiat melalui WhatsApp. Saya juga memaknai ulang tahun Mgr. Budi dengan menulis narasi ringan. Narasi ini bertolak dari pengalaman perjumpaan dengan beliau selama liburan yang lalu.

Hari Jumat 13 September 2024, saya menghadiri jubileum perak imamat RD. Feliks Jawa di Doka-Radabata Golewa, Ngada, Flores. Perayaan ekaristi sangat meriah. Suasana resepsi penuh tawaria dan sukacita. Sang Jubilaris adalah pelawak, penyanyi dan pembawa sukacita. Dia mengemas pesan-pesan bernilai dibalik kisah-kisah jenaka.

Mgr. Budi juga hadir dan membawa sambutan singkat. Ya enam menit, tapi padat dan bermakna. Beliau berbicara sambil tersenyum. Santai, hangat dan bersaudara. Menjelang akhir sambutannya, Mgr. Budi membuat pernyataan menarik: REVOLUSI DIMULAI DI MEJA MAKAN. Pernyataan yang menggelitik hati dan pikiran saya. Tadi sore saya coba mendengar kembali rekaman, merenung dan coba menulis untuk memaknai ulang tahun beliau.

“Satu hal yang sangat penting bahwa revolusi kemanusiaan, kebudayaan, keagamaan dimulai di meja makan. Rujukannya adalah perjamuan malam terakhir Yesus dan para muridNya, tetapi juga semua bentuk perjamuan.  Ekaristi adalah perjamuan persaudaraan. Semua revolusi terjadi karena kita memiliki derajat yang sama. Entah itu orang berdosa dan yang berpikir paling suci. Entah itu miskin dan kaya, yang merasa bisa membeli segala sesuatu dengan kekayaannya. Entah yang paling berkuasa dan tidak berkuasa. Kita duduk di meja yang sama. Kita berbagi derajat yang sama oleh Tuhan. Kita diundang oleh Tuhan sebagai tuan pesta. Perhatian untuk semua merupakan kewajiban kita, terutama seorang imam”, kata Mgr. Budi.

Lebih lanjut beliau katakan: “Revolusi dimulai dari meja perjamuan. Semoga kita tetap memelihara perjamuan makan bersama di rumah-rumah kita. Di sana kita belajar berbagi dan memberi. Sebuah warisan yang kita terima dari Yesus. Semoga perayaan ini membaharui iman dan komitmen kita bersama untuk saling memerhatikan dan menghargai semua. Karena itulah ungkapan paling tinggi dari kasih persaudaraan”.

BACA JUGA:  Duta Besar Vatikan Pimpin Misa Penahbisan Uskup Agung Ende

Saya mengerti revolusi sebagai sebuah perubahan mendasar dalam suatu bidang. Revolusi berkaitan dengan pembaharuan. Keberhasilan orang-orang Doka Radabata menyelenggarakan yubileum RD. Felix merupakan hasil dari sebuah proses revolusi. Revolusi itu berawal dari meja-meja makan, ruang dapur dan kamar keluarga. Revolusi yang menggerakan keluarga besar di rumah-rumah adat. Revolusi di semua tingkatan komunitas umat Allah di paroki Nazareth Were. Mereka mengemas acara sesuai zaman dan konstelasi dunia sekarang.

Ribuan umat hadir saat itu. Mgr. Budi mengingatkan revolusi kemanusiaan. Orang lain harus dihargai sebagai saudara. Kita semua sederajat. Beliau mengingatkan revolusi kebudayaan. Warisan tradisi budaya harus dirawat dan dihidupkan. Warisan itu bermakna. Mgr. Budi mengingatkan revolusi keagamaan melalui kesetiaan mengikuti perayaan ekaristi. Ekaristi adalah kekuatan utama revolusi kerohanian dan spiritualitas kita.

Kata-kata Mgr. Budi tentang “REVOLUSI DIMULAI DI MEJA MAKAN” mengingatkan saya akan revolusi Amerika dan Perancis. Penulis Amerika, Mark Pandergrast menulis bahwa kopi, meja dan warung-warung kopi sangat berpengaruh dalam revolusi Amerika. Warung-warung  kopi menjadi tempat lahirnya ide-ide revolusioner. Minum kopi merupakan tanda kesetiaan pada revolusi. Kopi menjadi simbol perlawanan terhadap pemerintah Inggris karena menaikan pajak teh. Seorang patriotik sejati harus mengelilingi meja dan minum di warung kopi. Minum teh adalah sikap anti patriotik.

BACA JUGA:  Keseruan Binatang Purba Komodo Ketika “Jatuh Cinta”

Warung kopi ternyata menjadi rumah budaya intelektual. Para senimam, mahasiswa, jurnalis, politisi dan para pemikir sering mangkal di sana. Warung kopi dijadikan rumah kedua. Bahkan kuil duniawi. Di sana mereka berpikir, mendiskusikan situasi global, ekonomi, politik, sastra dan karya seni. Warung-warung kopi sering menjadi rumah gerakan sosial.

Saat revolusi Perancis, warung kopi menjadi pusat revolusi pemikiran dan pemikiran kaum intelektual. Ada dua warung kopi terkenal saat itu yaitu Café d’Alexandre dan Cafe Les Deux Magots. Perumus Trias Politica, Charles Montequieu dan tokoh pencerakan Perancis, Voltaire ngobrol berjam-jam di Café d’Alexandre. Sedangkan Café Les Deux Magots merupakan tempat kecintaan filsuf Eksistensialis Jean Paul Sartre dan belahan jiwanya Simon de Beauvoir menikmati malam-malam indah sambil berdiskusi.

Kopi juga berperan dalam revolusi industri. Jam kerja buruh industri sangat panjang, tapi upahnya rendah. Mereka tidak mampu membeli makanan yang pantas untuk memenuhi kebutuhan energi baru. Karena itu saat jedah makan siang mereka pergi ke warung-warung kopi. Mereka minum kopi sebagai pengganti makanan. Istilah “Coffee Break” sebenarnya lahir di masa ini. Istilah keren yang lahir dari para buruh industri.

Saya kembali ke pernyataan menggelitik Mgr. Budi: REVOLUSI DIMULAI DI MEJA MAKAN. Meja makan tidak sekedar tempat meletakan makanan. Meja makan adalah ruang pertemuan terkecil dan terpenting sebuah keluarga atau komunitas. Di sana kita memulai revolusi kemanusiaan. Kita melatih diri untuk saling menghargai sebagai manusia. Di meja makan kita memulai revolusi kebudayaan, berbagi ceritera tentang kekayaan tradisi budaya. Di meja makan kita memulai revolusi keagamaan. Kita belajar tentang iman dan cara hidup orang beriman.

BACA JUGA:  Uskup Agung Ende Pimpin Misa Syukur Dies Natalis Uniflor

Cukup lama Mgr. Budi tinggal di Eropa. Eropa memiliki banyak warung kopi. Beliau tentu pernah mengunjunginya. Hal yang sangat berbeda dengan kita di Flores. Warung kopi umum kita masih sangat sedikit. Saya tahu Mgr. Budi sering spontan mengunjungi rekan imam di pastoran, biara-biara, rumah-rumah umat tanpa memandang status sosial dan asal usul. Beliau tiba tiba berada di tengah keluarga muslim yang meninggal di Ndona. Saya kira pendekatan blusukan pastoral Mgr. Budi tidak sekedar gaya hidup. Ini merupakan cara pendekatan pastoral baru yaitu pastoral jalan turun. Beliau menunjukan sikap bela rasa otentik untuk menebar dan merawat kasih persaudaraan dengan umat.

Di dapur, meja, rumah umat, pastoran, biara-biara Mgr. Budi menikmati hidangan kopi panas. Rumah-rumah umat dan komunitas religius adalah warung kopi yang sejati. Di sana Mgr. Budi memulai gerakan revolusi, membangun persaudaraan dengan cara sederhana. Mgr. Budi menggerakan revolusi pola pikir. Umat memandang beliau sebagai opa, bapak, saudara dan bagian hidup mereka.

Mgr. Budi selalu menghadirkan senyumannya yang khas. Senyumannya membawa sukacita, membangkitkan rasa cinta dan melahirkan rasa memiliki dari umat. Senyum hangat adalah bahasa universal kebaikan. Senyuman seorang Mgr. Budi adalah jarak terpendek bertemu umat. Biarkan senyummu membawa perubahan dan merevolusi dunia. Tapi jangan biarkan dunia merevolusi senyumanmu. Mgr. Budi, dari Swiss saya ucapkan selamat ulang tahun dan salam kasih persaudaraan.

Kirchgasse 4, 5074 Eiken AG Swiss, Jumat Malam 15 Nopember 2024

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button