Refleksi Hari Koperasi : Pemerintah harus Akhiri Kebijakan Keliru yang Membunuh Koperasi
Oleh : Suroto *

Setiap tanggal 12 Juli, bangsa ini kembali memperingati Hari Koperasi Nasional. Tapi alih-alih menjadi momentum kebangkitan, peringatan ini justru hanya jadi rutinitas yang kehilangan makna.
Di tengah parade pidato dan seremoni, tak ada refleksi jujur bahwa koperasi di Indonesia justru makin tertinggal, makin dipinggirkan dan makin tidak relevan dalam konstelasi ekonomi nasional.
Fakta-fakta bicara, tahun 2024, kontribusi koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hanya 0,97% dari total Rp 22.139 triliun. Dalam sepuluh tahun terakhir, reratanya bahkan hanya 1,05%. Ini angka yang sangat kecil. Sementara koperasi terus didengungkan sebagai “soko guru ekonomi”, kenyataannya ia bahkan tidak diperhitungkan secara ekonomi.
Lebih miris lagi bila kita bercermin ke dunia internasional. Lembaga riset koperasi terkemuka dunia, Euricse, pada 2024 merilis daftar 300 koperasi terbesar dunia. Tak satu pun berasal dari Indonesia. Sebagai pembanding misalnya Singapura—negara tetangga ini menyumbang dua koperasi: NTUC Fair Price dan NTUC Income. NTUC Fair Price menguasai 62% pasar ritel nasional. NTUC Income adalah raksasa asuransi di negaranya.
Lebih jauh lagi, di Amerika Serikat, negara yang selama ini dicap sebagai lambang kapitalisme, justru koperasi tumbuh subur. Tak kurang dari 77 koperasi asal AS masuk dalam daftar koperasi besar dunia. Mulai dari koperasi pertanian seperti Sunkist Growers, produk makanan Land O’Lakes, koperasi listrik desa NRECA, hingga penyedia layanan kesehatan terkemuka Group Health Cooperative di Washington. Koperasi mereka hidup dan modern.
Banyak pihak menyalahkan masyarakat yang tidak “mau” berkoperasi. Tapi ini narasi keliru. Koperasi gagal bukan karena rakyat tak mampu, tapi karena negara tidak memberi ruang yang adil untuk koperasi hidup. Pemerintah dari waktu ke waktu terus melanggengkan model kebijakan top-down yang menyabotase prinsip dasar koperasi: demokrasi ekonomi, kemandirian, dan partisipasi rakyat.
Sejarah telah mencatat, program KUD gagal total bukan karena koperasi tak mampu, tapi karena pemerintah terlalu ikut campur, menjadikan koperasi sekadar alat distribusi program negara. Kini sejarah kelam itu hendak diulang lewat program Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih, yang lagi-lagi menunjukkan dominasi pemerintah dalam menciptakan koperasi artifisial, bukan koperasi yang tumbuh dari kebutuhan dan kesadaran rakyat.
Saya sudah berkali-kali menyatakan di ruang publik: koperasi bukan organisasi buatan pemerintah. Ia lahir dari inisiatif rakyat untuk membangun keadilan ekonomi dari bawah. Jika koperasi terus dijadikan proyek kekuasaan, maka koperasi akan terus jadi boneka yang rapuh—besar di papan nama, mati dalam praktik.
Masalah koperasi Indonesia sangat mendasar. Pertama, paradigma masyarakat—dan elit politik—masih memandang koperasi sebagai entitas inferior. Koperasi dianggap usaha kecil, lembek, hanya cocok untuk sektor mikro dan pencari bantuan.
Paradigma ini diperkuat oleh regulasi diskriminatif. Hingga kini, koperasi dilarang mengelola sektor strategis seperti rumah sakit. Modal asing tidak boleh masuk ke koperasi. Usaha negara dipatok harus berbadan hukum perseroan. Koperasi tidak diberi hak yang sama. Dipinggirkan secara sistematis.
Ketiga, kebijakan negara masih sangat patronistik. Negara memperlakukan koperasi sebagai objek kebijakan, bukan subjek perubahan. Padahal koperasi adalah organisasi rakyat yang mestinya otonom dan mandiri, bukan dijadikan instrumen intervensi kekuasaan.
Koperasi adalah model perusahaan modern dan canggih. Di dalam koperasi, tanggung jawab sosial tidak ditempelkan sebagai CSR kosmetik, tapi melekat dalam DNA sistemnya. Tidak seperti korporasi kapitalis yang hanya memberi saham terbatas kepada pekerja dalam skema Employee Share Ownership Plan (ESOP), koperasi membuka kepemilikan kepada siapa saja: produsen, konsumen, pekerja.
Koperasi adalah bentuk kuat dari perusahaan inklusif. Tapi justru model seperti ini yang tidak didukung negara. Negara terus melanggengkan model kapitalistik dan menghalangi tumbuhnya demokrasi ekonomi yang sesungguhnya.
Lebih ironis, di tahun 2025 ini, dunia sedang merayakan Tahun Koperasi Internasional (International Year of Cooperatives/IYC 2025) yang ditetapkan PBB melalui resolusi A/78/L.71. Tapi di Indonesia, tahun ini justru dilewati tanpa gema, tanpa inisiatif berarti. Karena koperasi di sini tidak signifikan, tidak hadir dalam ruang praktik. Koperasi di Indonesia nyaris terlupakan oleh bangsanya sendiri.
Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin menjadikan koperasi sebagai kekuatan ekonomi rakyat, maka langkahnya tidak bisa tambal sulam. Cabut semua regulasi diskriminatif terhadap koperasi. Berikan hak yang setara kepada koperasi untuk mengelola sektor strategis.
Bubarkan semua program koperasi artifisial berbasis proyek politik. Termasuk Kopdes Merah Putih yang menjadikan koperasi objek rekayasa kekuasaan. Laku dorong koperasi sebagai model perusahaan inklusif masa depan. Terapkan koperasi dalam sektor energi, kesehatan, pendidikan, logistik dan teknologi.
Hentikan pendekatan top-down! Kembalikan koperasi kepada rakyat, biarkan ia tumbuh sesuai kebutuhan dan dinamika lokal. Berikan perlakuan fiskal dan akses pembiayaan yang adil. Jangan biarkan koperasi kalah sebelum bertanding.
Jika hal-hal ini tidak dilakukan, maka jangan harap koperasi akan bangkit. Bahkan, lebih baik kita berhenti merayakan Hari Koperasi, karena hanya akan menjadi seremoni munafik.
Koperasi bukan hanya alternatif, koperasi adalah koreksi atas sistem ekonomi yang timpang. Dan jika negara tak mampu memberi tempat yang adil bagi koperasi, maka biarkan rakyat membangunnya sendiri—dengan cara mereka sendiri.*
Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Kumang, CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR)