BUMI MANUSIA

Pesona Buriwutun, Menikmati Keunikan Budaya dan Keindahan Panorama Alam

FLORESGENUINE.com- Buriwutun adalah sebuah desa di ujung paling timur Pulau Lembata, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Buriwutun pada masa lalu merupakan salah satu pusat perkembangan Agama Katolik di pesisir paling timur Lembata.

Buriwutun memiliki kisah sejarah yang panjang dan unik. Nama Buriwutun diambil dari akronim kata Buri dan Wutun. Buri adalah jenis kerang laut berukuran besar yang dapat digunakan sebagai alat musik tiup. Kerang laut ini jika ditiup akan mengeluarkan bunyi yang gaung dan besar.

Itu sebabnya, kerang laut ini biasa digunakan oleh para nelayan untuk memanggil sesamanya atau digunakan untuk memanggil warga kampung agar berkumpul saat hendak melakukan pertemuan kampung atau berkumpul untuk membicarakan masalah-masalah social dan pembangunan di desa mereka.

Sedangkan Wutun adalah nama seorang tokoh masyarakat setempat. Konon, menurut penuturan tetua adat di kampung itu, Wutun kerap meniup buri memanggil warga untuk berkumpul mendengarkan pengumuman atau membahas persoalan-persoalan yang ada di kampung tersebut. Belakangan, Buriwutun dibaptis menjadi nama sebuah desa yang terletak di bibir pantai paling timur Lembata.

Menurut kisah warga, nenek moyang telah menempati Buriwutun jauh sebelum Indonesia merdeka. Warga menempati kampung tersebut yang lebih dikenal dengan nama kampung lama. Di kampung ini, terdapat sejumlah peninggalan sejarah yang unik dan mengandung kekuatan magis. Satu diantaranya berupa huna walur (rumah adat).

Setiap  suku dan keturunan di kampung itu memiliki rumah adat yang disimbolkan dengan sebuah tiang yang dipancang berjejer. Tiang-tiang itu berukuran sekitar 30-50 meter yang oleh warga setempat disebut ai odeq.

Pasir putih nan indah terbentang luas di Pantai Buriwutun,(Foto : Salomon Kurniawan/Floresgenuine)

Di dalam rumah adat inilah tersimpan berbagai benda pusaka yang bernilai tinggi. Konon, benda-benda antik nan unik tersebut tidak sembarangan diperlihatkan kepada orang termasuk warga kampung atau diambil fotonya tanpa meminta ijin terlenih dulu kepada tetua adat setempat atau penjaga rumah adat.

BACA JUGA:  Kilas Balik Sengketa Tanah Pantai Pede, Siapa yang Punya?

Ada pula terdapat dua pohon yaitu rita dan damar yang tumbuh kokoh di tengah kampung. Ke dua pohon ini diperkirakan sudah berusia ratusan tahun. Uniknya, meskipun berusia tua namun ke dua pohon tersebut masih berdiri kokoh tanpa mengalami perubahan sedikit pun hingga sekarang ini.

Warga setempat percaya, kulit pohon damar memiliki kekuatan supranatural yang mampu menangkal musuh serta dapat digunakan untuk berperang melawan musuh.

Desa Buriwutun terdiri dari empat suku besar yaitu Suku Korarian, Suku Nowinrian, Suku Liarian dan Suku Lolonrian. Setiap suku mempunyai peran masing-masing dalam tata cara adat maupun dalam urusan yang terkait dengan masalah sosial kemasyarakatan atau pun pembangunan.

Seiring perjalanan waktu, Kampung Buriwutun berkembang menjadi kampung yang dihuni oleh beragam suku sebagai berkat hubungan kawin mawin antar suku atau daerah. Tak heran, Buriwutun menjadi kampung yang terbuka dan beragam. Banyak suku lain di luar suku-suku asli mulai dating dan hidup membaur berdampingan secara damai dengan suku-suku asli.

BACA JUGA:  Uskup Max Regus : Kemajuan Ekonomi dari Pariwisata, Tidak Selalu Dibarengi Akselerasi Kultural

Mereka hidup membaur satu sama lain dalan ikatan kekerabatan yang sangat kental. Keberagaman inilah yang membuat Buriwutun kian dikenal sebagai salah satu kampung yang memiliki sikap toleransi dan kerukunan yang tinggi.

Selain ada kisah-kisah unik nan menarik, Buriwutun juga memiliki potensi sumber daya alam yang besar yang jika dikelola akan meningkatkan kesejahtraan hidup warga desanya. Selain sumber daya pertanian dan perikanan, Buriwutun memiliki potensi pariwisata yang unik dan menarik bagi para wisatawan.

Kawasan Buriwutun dan sekitarnya mempunyai landscap yang indah mempesona. Sebut saja,  pantai berpasir putih yang membentang luas. Pemandangan keindahan alam di waktu matahari terbit (sunrise) dan matahari tenggelam (sunset). Selain itu, pengunjung dapat menikmati lekukan-lekukan panorama teluk dan tanjung yang berjejer menghiasi bibir pantai dari Buriwutun hingga Wairiang dibagian selatan dan Mampir serta Bareng dan Kalikur di bagian utara.

Hampir setiap akhir pekan, pantai ini ramai dikunjungi oleh warga lokal sekedar untuk melepas lelah atau aktivitas melaut untuk mencari ikan atau menyuluh di saat pasang surut. Di sebuah tanjung di kampung ini pula berdiri megah sebuah gereja tua yang dibaptis dengan nama Gereja Santa Elisabeth Buriwutun.

BACA JUGA:  Jelang HUT Desa Panama, Warga Gotong Royong Bersih Sampah Wei Lawan

Gereja tua ini dibangun pada masa kedatangan seorang misonaris asal Belanda yakni Pater Van de Leur, SVD. Di Gereja ini, umat Katolik melaksanakan ibadah ekaristi atau melambungkan doa-doa mereka kepada Sang Pemberi Kehidupan. Namun, gereja tua ini, kini tengah direnovasi lantaran sudah termakan usia.

Desa Buriwutun, dapat dicapai melalui dua jalur yakni jalan darat dan laut. Jalan darat melalui Lewoleba, Ibu Kota Kabupaten Lembata dengan jarak tempuh sekitar 70 Km berikut waktu tempuh sekitar 2 jam. Sedangkan jalur laut, masih belum banyak tersedia, kecuali pengunjung menyewa kapal pesiar.

Namun, jika tiba di Buriwutun, Anda akan disuguhi beragam panorama alam dan budaya yang khas. Kawasan perairan Buriwutun juga sangat cocok untuk atraksi snorkeling, diving, berselancar atau sekedar berjemur di bawah teriknya mentari. Untuk akomodasi memang belum tersedia khusus. Namun keramahtamahan warga Buriwutun membuat anda tak bakal kelaparan atau kesulitan mendapatkan makan minum dan penginapan karena semua disiapkan oleh warga setempat. Setiap tamu yang datang akan disambut dengan sukacita dan hati terbuka tanpa sekat pemisah. [Salomon Kurniawan]

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button