Lingkungan Hidup

Paradoks Konservasi Taman Nasional Komodo

Sejak ditetapkan sebagai taman nasional, kawasan perairan Komodo dan pulau-pulau di sekitarnya hampir tak pernah sepih dari konflik dan gejolak yang berkepanjangan. Ada banyak masalah di lapangan yang belum tuntas terselesaikan. Mulai dari masalah sampah, over-tourism, kerusakan terumbu karang, masalah zonasi hingga investasi.

Tak kurang lembaga internasional sekelas UNESCO dan IUCN ikut mengecam rencana investasi yang mana pemerintah memberikan perizinan konsesi seluas lebih dari 500 ha kepada beberapa perusahaan besar termasuk pariwisata massal yang diterapkan di kawasan konservasi itu.

Pemerintah daerah dan masyarakat pada umumnya tidak menolak investasi. Karena investasi membuka lapangan kerja dan berkontribusi pada pendapatan asli daerah dan devisa Negara. Namun, apakah kita harus menerima apapun bentuk investasi tanpa dipertanyakan dampaknya?

BACA JUGA:  Proyek 20 Juta Hektar Pangan dan Energi, Legalisasi Deforestasi yang Memicu Kiamat Ekologis

Tidak semua investasi menciptakan kesejahteraan. Banyak investasi justru memperparah ketimpangan dan merusak ekosistem yang jadi modal hidup jangka panjang. Apakah ada jaminannya perusahaan-perusahaan tersebut akan benar-benar menjamin kelestarian dan keberlanjutan lingkungan?

Selama ini, pengelolaan Taman Nasional Komodo (TNK) dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah pusat melalui Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tetapi apakah hasilnya benar-benar berpihak kepada masyarakat lokal dan pelestarian alam?

Faktanya, tidak. Banyak terumbu karang mulai rusak, populasi binatang purba komodo semakin menyusut sebagai dampak dari aktivitas pariwisata yang ugal-ugalan. Demikian pula seluruh pemasukan dari tiket masuk TNK sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) masuk langsung ke kas negara dan hanya secuil yang dikembalikan ke daerah.

Ujungnya, Manggarai Barat sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administratif, yang menanggung semua dampak buruk dari aktivitas pariwisata. Ini adalah bentuk ketimpangan struktural dalam pengelolaan aset dari sumber daya alam Taman Nasional Komodo.

BACA JUGA:  Tips Terhindar dari Serangan Binatang Purba Komodo

Ketika konservasi hanya menguntungkan pusat dan pihak swasta tertentu, termasuk investor pariwisata elit, sementara daerah dan warganya hanya menjadi penonton maka yang terjadi bukan konservasi yang adil, tetapi konservasi yang eksploitatif.

Sudah saatnya narasi konservasi direvisi. Konservasi harus adil, transparan dan memberikan manfaat langsung kepada daerah serta masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam itu sendiri. Tanpa itu, konservasi hanyalah tameng untuk melanggengkan ketimpangan baru atas nama perlindungan alam. *[red/fgc]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button