BUMI MANUSIA

Modernisasi Kampung Nelayan Tradisional Warloka, Potensi Hilangnya Nilai-Nilai Lokal

FLORES GENUINE – Rencana pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menjadikan kampung nelayan tradisional Warloka sebagai kampung nelayan modern berpotensi hilangnya nilai-nilai budaya lokal serentak mengganggu kohesivitas relasi sosial masyarakat setempat.

Di satu sisi, Kampung Warloka sudah ditetapkan sebagai desa wisata namun di sisi lain, pemerintah hendak mendesain kampung tersebut menjadi kampung nelayan modern yang tentu akan mengubah banyak hal terutama ruang sosial budaya, mata pencaharian termasuk lingkungan hidup di sekitarnya.

Pegiat wisata dan ekonomi kreatif, Nurhayati Alwi berpandangan bahwa konsep modernisasi kampung nelayan tradisional  Warloka perlu dilakukan secara hati-hati dan melalui kajian mendalam karena sejak dahulu kala Kampung Warloka merupakan pusat perdagangan dan tempat pertemuan antara masyarakat dari pulau-pulau sekitar dan masyarakat dari pegunungan yang datang untuk saling tukar menukar barang di pasar barter Warloka hingga sekarang.

Selain itu, Warloka adalah simbol ikatan relasi kekerabatan dan jalinan persaudaraan antar warga tanpa sekat-sekat primordialime atas nama suku, agama, ras dan golongan.

“ Saya orang lahir di sini dan saya tahu persis, Kampung Warloka dari dulu sebagai tempat bertemu dan pusat hubungan persaudaraan antar sesama. Adanya pasar barter merupakan simbol kebersamaan. Orang-orang gunung turun ke pasar barter Warloka membawa pisang, ubi, jagung, padi dan buah-buahan untuk ditukar dengan ikan atau hasil laut. Hubungan keakraban ini sudah berjalan lama,” Nurhayati mennerangkan.

Menurut Nurhayati, desain pembangunan kampung nelayan modern Warloka dapar mengubah banyak hal terutama budaya dan nilai-nilai lokal termasuk masyarakat lokal yang nota bene nelayan tradisional akan tersisikan oleh kehadiran modernisasi seperti pembangunan yang tidak selaras dengan alam dan dengan budaya setempat.

Apalagi, kata dia, Kampung Warloka sudah ditetapkan sebagai salah satu desa wisata karena memiliki sumber daya pariwisata yang beragam baik wisata budaya, wisata alam, wisata kuliner dan sejarah yang masih terpeliharan hingga sekarang.

BACA JUGA:  Survey Pariwisata 2025 : Strategi Promosi dan Pengembangan Pariwisata

“ Saya kwatir, konsep kampung nelayan modern itu justru akan mengubah nilai-nilai lokal seperti menghilangkan sejarah dan keaslian Kampung Warloka sebagai kampung nelayan tradisional,” tandasnya.

Saat ini saja sebut dia, pembangunan jalan hotmiks yang mencapai bibir pantai berdampak pada warga terutama ibu-ibu mulai kehilangan pekerjaan karena ikan-ikan tangkapan nelayan langsung diangkut dengan kendaraan dan dibawah keluar Warloka sehingga ib-ibu setempat kehilangan pekerjaan. Ini contoh kecil.

Apalagi jika Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang menurut rencana akan dibangun di Warloka tentu berdampak tidak hanya bagi usaha kecil masyarakat tetapi berdampak buruk bagi lingkungan dan pariwisata. Kehadiran TPI di lokasi itu akan menghasilkan banyak sampah dan limbah. Sampah dan limbah akan dibuang ke laut sehingga merusak biota laut dan ikan-ikan.

BACA JUGA:  Uskup Maksimus : Keselamatan Jadi Materi dan Propaganda Agama-Agama

Rencana pemindahan TPI ke Warloka mesti dipertimbangkan secara matang dan membutuhkan kajian AMDAL karena Warloka adalah kawasan pariwisata.

“ Jangan sampai rencana modernisasi kampung nelayan menjadi sesuatu yang kontraproduktif dan kontradiksi dengan kawasan pariwisata,” ucapnya.

Menurut Nurhayati, Warloka sudah terkenal dan sudah punya nama besar jauh sebelum Manggarai Barat jadi kabupaten definitif. Meskipun dulu, Warloka terasa jauh dengan Labuan Bajo dan terisolir karena tidak ada jalan yang menghubungkan wilayah Warloka dengan wilayah lain, namun masyarakat sudah terbiasa memakai perahu laut untuk bepergian.

Kampung nelayan tradisional Warloka. (foto : Kornelis Rahalaka/Floresgenuine)

Warloka dikenal oleh semua orang di kampung-kampung dan  desa-desa, baik yang di pegunungan hingga di pesisir dan pulau-pulau kecil. Mereka datang dari gunung dan dari mana-mana untuk berbelanja di pasar barter Warloka, di mana ikan ditukar dengan jagung, padi, pisang dan sebagainya.

“Jangan sampai pasar barter Warloka pelan-pelan hilang oleh karena kehadiran pasar modern,” ujarnya mengingatkan.

Nurhayati menyarankan agar sebaiknya Warloka tetap menjadi kampung nelayan tradisional dan pariwisata. Kampung Warloka jangan diintervensi dengan proyek-proyek dari pemerintah yang hanya dapat mengubah nilai-nilai sejarah, ruang sosial dan ruang budaya serta lingkungan hidup di wilayah itu.

BACA JUGA:  Tapak-Tapak Undur Proyek Geothermal Wae Sano

“ Warloka ini jangan ditanami tembok atau besi beton yang hanya akan menghilangkan keasliannya sebagai kampung nelayan tradisional,” tegas Nurhayati.

Kampung Warloka sendiri memiliki sejarah panjang dan mempunyai kearifan-kearifan lokal yang tidak boleh diubah atau dimoderisasi.

“ Saya minta pemerintah dan dinas-dinas terkait untuk jangan terlalu merubah Warloka menjadi sedemikian rupa dengan hal-hal yang terlalu modern. Karena para wisatawan itu datang untuk mencari dan menikmati yang asli, tradisional bukan datang untuk mencari yang modern,” tegas Nurhayati.

Wisatawan yang berkunjung ke daerah ini tentu ingin menikmati dan merasakan sesuatu yang asli dan original seperti kampung nelayan Warloka. Mereka akan sangat tertarik dengan keaslian dan ceritra-ceritra sejarah dan kebudayaan masyarakat lokal.

Meskipun modernisasi pembangunan dapat saja dilakukan, namun perlu memperhatikan nilai-nilai budaya lokal, ekologi dan keberlanjutan. Dan paling penting adalah harus memberdayakan dan memperkuat posisi masyarakat lokal, bukan sebaliknya menyingkirkan mereka dari kampung halamannya. Mereka harus menjadi tuan di kampung halaman mereka sendiri. [red/fgc]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button