OPINI

Membaca untuk Kehidupan

Oleh Bernardus Tube Beding, M.Pd

Dalam suatu kesempatan santai sambil ngobrol dengan beberapa mahasiswa di kantin kampus, muncul sebuah pertanyaan dari seorang mahasiswa semester satu, “Bapak, apakah kita baca itu untuk belajar?” “Yah, tentu membaca untuk belajar,” respon seorang mahasiswa lain. Saya diam, asik menyimak obrolan mereka yang semakin mengerutkan dahi masing-masing. Tentang obrolan mereka itu, saya teringat tulisan Wishnubroto Widarso tentang “Tetaplah Belajar” dalam bukunya Kiat Hidup Sukses yang diterbitkan oleh Penerbit Kanisius sekitar tahun 1994.

Tanpa mengurangi rasa penghargaan dan apresiasi atas ide, gagasan, dan pendapat cemerlang masing-masing mahasiswa, saya coba memanggil kembali memori “hasil baca” buku tersebut dan spontan mengatakan membaca, satu sisi merupakan proses belajar materi-materi mata kuliah. Yah, model membaca ini didorong keinginan mendapat nilai yang baik dan bisa lulus ujian. Tidak jarang juga kegiatan membaca ini didorong rasa takut pada dosen pengampuh mata kuliah. Proses membaca ini karena tugas kuliah; hasilnya pun adalah nilai dan kelulusan. Bahkan, output-nya tidak bertahan sebagai suatu pemahaman dan pengetahuan. Cepat lupa dan hilang, tidak menjadi bekal kehidupan.

Saya coba menegaskan bahwa proses membaca sesungguhnya, seperti diungkapkan Gustave Flaubert, seorang novelis abad ke-19 asal Prancis, “Jangan membaca seperti kanak-kanak dengan maksud menghibur diri; atau seperti orang yang ambisius dengan maksud mencari bahan pembelajaran. Membacalah untuk hidup.”

“Membaca untuk hidup” menurut saya merupakan proses literatif yang membantu kehidupan diri lebih baik, arif, dan memahami karakter diri. Memang pribadi yang menyadari proses ini, umumnya mereka hanya membaca hal-hal yang berhubungan dengan bidang kuliah atau pekerjaan profesi mereka. Orang yang kuliah budaya, sastra, dan sejarah umumnya membaca Horison, Historia, National Geographic Indonesia, dll.; yang bidang ekonomi membaca Bisnis Indonesia, mekanik membaca Otomotif, petani modern atau pakar petani membaca Trubus, politisi membaca Tiras, Tempo, Sindo Weekly, GATRA, Swa, dll. Pendidik membaca Edukasi; yang minat agama membaca Hidup, dll. Tidak sedikit orang membangun “profil diri” dengan membaca referensi-referensi yang berhubungan dengan kompetensi dan profesionalitas diri.

BACA JUGA:  Lembata dan Memori Jangka Pendek

Realitas bahwa tidak banyak orang membaca untuk memperoleh knowledge of the word, pengetahuan umum tentang dunia. Memang tidak mungkin kita membaca dan belajar tentang segala hal. Namun, paling tidak kita berusaha keluar dan melintas ke bidang kehidupan, tidak saja berkisar di dalam bidang kuliah atau profesi kita sendiri.

Satu sisi, ada orang yang ingin membaca segala informasi dan referensi. Orang pada posisi ini dapat dilihat pada pribadi yang berlangganan banyak surat kabar, majalah, dan membeli buku apa saja. Orang seperti ini biasanya tidak didorong oleh motif murni, yaitu keinginan untuk tahu lebih banyak, sebab pengetahuan itu bagai santapan rohani. Atau pun keinginan untuk menjadi lebih arif, karena yang dibaca akan membuka mata hatinya yang semula tertutup.

Terdapat juga orang yang selalu membaca karena ingin terlihat “hebat” dibandingkan orang lain. Dia ingin mendapat sanjungan maupun pujian ketika “tampil beda” dalam berpendapat. Bisa juga orang semacam itu seperti dikatakan Richard Saul Wurman dalam artikelnya “Overcome Information Anxiety”di Reader’s Digest (1992), takut ketinggalan zaman karena tidak meng-up date berita atau informasi.

BACA JUGA:  Mengukur Kualitas Debat Pilpres: Rasionalitas dan Etika

Widarso (1994) mengungkapkan bahwa motif kita membaca semestinya adalah keinginan untuk mendapatkan santapan rohani agar hidup kita lebih memanusia, lebih baik, lebih arif; agar sudut-sudut gelap di dalam batin kita menjadi lebih terang dan tenang. Artinya bahwa membaca berita-berita hangat di surat kabar atau majalah memang baik. Tapi umumnya kita tidak belajar sesuatu yang bermakna mendalam bagi kehidupan pribadi kita dari berita-berita semacam itu.

Membaca buku, artikel, teks-teks jurnalistik mengenai sejarah, perjuangan, motivasi, kesehatan, pendidikan, dan bidang literatif lain itu lebih berarti. Semuanya memperkaya pengalaman kita, membantu kita melihat kehidupan dengan pandangan lebih luas dan jernih, menjadikan kita lebih memanusia, dan arif.

Ada bacaan berisi pengetahuan umum tentang dunia yang bisa kita baca kapan saja, tak perlu tergesa-gesa karena takut apa yang kita baca akan basi. Sesungguhnya, pengetahuan demikian tak bisa diperoleh dengan cara terburu-buru atau skimming (membaca secara cepat dan superfisial). Kita justru harus menikamti proses membaca. Saat membaca mestinya merupakan “perjalanan wisata batiniah”. Patricia O’Toole, seorang yang getol membaca segala macam buku pengetahuan sejak kecil dalam tulisannya “Pasport to the Universe” di Reader’s Digese (1993) mengatakan bahwa orang yang membaca tentang banyak hal adalah seperti pelancong yang memiliki paspor untuk melang-lang ke alam semesta. Ini suatu perumpamaan yang indah dan tepat.

BACA JUGA:  AMMTC Bahas Terorisme Internasional dan Penegakan Hukum

Tentang pentingnya membaca, saya jadi ingat film Death of A Son. Film ini dibuat di Inggris berdasarkan kisah nyata ini  dan dibintangi oleh Lynn Redgrave dan Malcolm Storry. Film yang disutradarai oleh Ross Devenish itu sangat mengharukan karena menceritakan seorang yang hidupnya berubah karena membaca. Film yang ditayang pada layar TVRI sekitar tahun 1993 itu sungguh menyentuh.

Film tersebut tidak saja menunjukkan bahwa keadilan pasti menang, tetapi juga bagaimana kehidupan sebuah keluarga menjadi berubah karena salah satu anggota keluarganya  (sang ibu) mendapatkan “pencerahan” setelah membaca banyak buku dan belajar banyak hal dari buku-buku itu.

Ketiga hal ini memang tidak bisa dipisahkan: membaca, buku, belajar. Karena membaca buku orang belajar sesuatu. Kalau buku yang ia baca berisi pengetahuan umum tentang dunia, dia akan belajar banyak tentang dunia, tentang hakikat hidup. Seperti kata Patricia O’Toole, dia memiliki “paspor” untuk berkelana ke alam semesta. Mari membaca!

 Penulis adalah Dosen Prodi PBSI Unika Santu Paulus Ruteng

 

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button