Putri pagi-pagi buta bangun mendekati Is Hakim, lelaki tua sedang memahat sovenir patung komodo. Ayah aku lapar, mendengar suara mungil itu, menghentikan sejenak alunan pahat dalam ukiran ekor komodo yang sebentar lagi selesai.
Is Hakim mulai menyadari ternyata Putri semalam sudah tidak lagi makan, sebab biji beras di tong tak ada lagi yang tersisa. Semenjak ibunya tiada sebagai puncak raga bersemayam di bumi, “Putri Naga” sapaan lengkap anakku hanya bisa manja kepadaku.
Rupanya Is Hakim membolak-balik pertanyaan itu di dalam hati kecil. Memikirkan anaknya tumbuh dan berkembang di pulau ini. Pulau Komodo.
Ia Put, ayah hanya masak ikan kuah tuh di dapur. Menjawab partanyaan sambil mengusap bulir air mata meleleh di hidung.
“Air mata dikira mata air”. “Bisik ikan tengiri dari kedalaman laut”.
“Menatap lesuh kehidupan kedua manusia itu”!
Tapi ayah, saya sudah membuka semua periuk di atas tungku-tungku itu. Putri Naga tidak lagi melanjutkan celotehnya, dan bertanya kenapa ayah menangis? Is Hakim diam dalam lipatan hening, didera penderitaan di usia yg sudah ujur, tak mampu menyambar anak semata wayangnya.
Sudalah Putri, ayah akan ambilkan semangkuk ikan kuah yang ayah sudah hangatin di atas tungku itu. Dilahapnya ikan kuah itu, dengan nada pelan, Putri mencoba menerobos suara dekat telinga Is Hakim.
Kapan Ayah ke Kampung Ujung, mengambil beras titipan teman ayah itu “Si Viktor”. Putri Naga mencoba mengingatkan Is Hakim, ayahnya tentang yang diceritakan kemarin malam sebagai pengganti dongeng menghantarkan ia tidur.
Badai gelombang sedang menghantam selat batu tiga Put, itulah yang membuat ayah tertunda pergi. Selat batu tiga merupakan jalan keluar dan masuk yang terpaku mati dikala musim barat berkecamuk. Putri yang masih belia menelan sup ikan tanpa nasi, menatap punggung ayahnya yang sudah mulai rentah, lalu bertanya apakah ayah sudah makan ?
Is Hakim dalam diam sesekali, tidak lagi fokus dengan pertanyaan anaknya. Kenapa tidak menjawab ayah? Ia sontak menatap laut jauh. Terus terang, ayah masih memikirkan cara mengambil titipan itu.
“Sebab esok kita lapar lagi, sedangkan badai gelombang belum surut”.
Mengurai kembali cerita semalam ke Putri, Viktor itu adalah teman ayah. “Dia tidak mungkin menaruh harapan yang kelabu”. Sang Putri mengangguk dagu, memusatkan mata ke Is Hakim. Kami berteman dan bertemu sudah lama dalam sebuah pelayaran ke timur. “Dia bagaikan raja dan aku adalah loper”.
Pernah datang di lima musim yang lalu, mengunjungi ayah di atas pulau ini. Sebelum kamu lahir, Put. Masih dalam gendongan rahim ibu yang berparas jelita, dia menitipkan nama sebelum kamu lahir. Putri Naga, kerena kamu perempuan. Dan hari itu ayah tidak mengharap kamu lahir kembar, agar ayah tidak melihat “luka yang bersemai dengan cinta semasa kecil”.
“Satu rahim, kembar rupa berbeda”!
Dan, Is Hakim dalam kenangan bersama Viktor, pernah memutar mengitari Pulau Komodo termasuk menuju puncak Padar. Bait yang tertulis dalam ingatan, Viktor sangat memuja keindahan beberapa pulau itu.
“Padar memang Indah menampilkan tiga lembah bersentuhan punggung”.
Di sini di puncak ini, alam begitu indah menawarkan seratus maknawi. Alam kamu kaya, Is Hakim, tapi kehidupanmu sepertinya sedang dilanda penderitaan! “Diantara pujian dan hinaan Viktor”. Sungguh menguliti perasaan kedalam tubuh yang kering.
Hina! raja bisa menghina, sahut Sang Putri mencoba memotong pembicaraan Is Hakim. Sudahlah ayah, saya pergi bermain pasir, sedangkan “Edi” anak tetangga memanggil teman sebaya mengajak berlompatan.*