Jika kita mengamini bahwa guru merupakan bagian dari ‘komunitas intelegensia’, maka semestinya tubuh guru ‘berbau buku’. Sahabat karib seorang guru adalah buku. Boleh dibilang buku menjadi semacam ‘penanda’ pentahbisannya sebagai seorang ‘intelektual’.
Para guru yang mengabdi di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) baru saja merayakan peringatan ‘Hari Guru Nasional (HGN), 25 November 2024. Beberapa kegiatan untuk ‘memeriahkan’ momen peringatan HGN itu, telah digelar. Salah satu yang paling saya suka adalah lomba ‘menulis berita kisah (feature)’.
Ada secercah harapan perihal tampilnya ‘guru yang berbau buku’ dari ajang lomba tersebut. Pasalnya, dari laporan yang disampaikan koordinator seksi ‘lomba menulis Feature’, nasakah yang masuk ke panitia berjumlah 22. Jika satu orang menulis satu artikel, maka ada 22 orang (guru) di Mabar yang terlibat dalam ajang ini. Sebuah angka yang tidak terlalu ‘memprihatinkan’.
Tulisan yang diproduksi oleh seorang guru, entah untuk tujuan ikut serta dalam perlombaan, maupun untuk sekadar menyalurkan hobi, bisa dinilai sebagai ‘buah dari keuletannya’ dalam mengunyah isi buku. Otaknya sudah ‘terisi’ dengan nutrisi gagasan yang digali dari buku yang disantapnya.
Sangat jarang, seseorang bisa menulis dengan baik, tanpa memiliki ‘habitus membaca’. Seorang penulis pastilah seorang ‘pembaca’ yang tekun. Para guru yang sudah mengirim ‘buah karyanya’ dalam kegiatan lomba menulis itu, hemat saya (meski tidak selalu), menghayati budaya baca secara teratur.
Tradisi literasi (baca-tulis) di kalangan guru, diharapkan ‘bersemi’ pasca peringatan HGN. Budaya itu, selain distimulasi lewat ‘event lomba’, juga ‘dipompa’ melalui program Guru Penggerak dan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Dua program itu, hemat saya, menjadi instrumen efektif dalam mendongkrak mutu guru baik dalam hal pengembangan profesinya sebagai guru, maupun dalam menumbuhkan kultur berbagi hal baik, melalui aktivitas literasi.
Saya mendengar ‘sharing’ dari teman-teman yang mengikuti dua program itu bahwa ternyata salah satu modal untuk ‘lulus’ baik sebagai Guru Penggerak maupun Guru Profesional adalah kemampuan literasi yang baik. Suka tidak suka, para peserta ‘ditodong’ untuk membaca dan menghasilkan karya berdasarkan refleksi mereka terhadap aneka materi yang diperoleh, baik melalui tutor, maupun aneka modul (buku teks).
Setiap tahun, puluhan bahkan ratusan guru di Mabar yang dinyatakan ‘lulus’ sebagai Guru Penggerak dan Guru bersertifkat profesional. Sesuai alur pikir di atas, maka setiap tahun kita mendapatkan ‘guru yang berbau buku’. Asumsinya jelas, mereka yang lulus itu, besar kemungkinan, selalu ‘akrab dengan buku’, minimal pada saat mengikuti program tersebut.
Karena itu, tidak salah jika kita ‘mendorong’ semua Guru Penggerak, Guru Profesional dan semua guru yang tergerak hatinya dalam menyusuri jalan literasi, untuk konsisten menghidupkan kultur akademik itu dan menularkannya secara kreatif kepada peserta dididik.
Saya cukup optimis bahwa manakala semua guru ‘sudah berbau buku’, maka cepat atau lambat, para siswa/i pun akan ‘berbau buku juga’. Jika lingkungan sekolah ‘dihuni oleh makhluk yang berbau buku’, generasi emas yang kita dambakan pada tahun 2045, bukan sebuah lamunan kosong di siang bolong.*
Penulis adalah staf pengajar di SMK Stella Maris, Labuan Bajo