Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) tahun 2024, apakah perlu menggantikan bupati yang akan memimpin kita periode tahun 2024 – 2029?.
Pertanyaan begitu momok ini sengaja penulis lontarkan di ruang publik untuk mendapat tanggapan secara langsung dari masyarakat luas, dan pertanyaan semacam ini cukup penting untuk disajikan di waktu akhir – akhir ini.
“Menggantikan bupati” dan atau “dipilih lagi” pada periode kedua, secara terminologi kebahasaan itu bisa dilihat dari dua sudut padang dan pengertiannya berbeda yaitu; menggantikan atau jangan dipilih lagi karena selama 5 tahun periodeisasi kepemimpinan dianggap gagal.
Mari kita bedah 5 tahun kegagalan bupati Kabupaten Manggarai Barat dari periodeisasi tahun politik 2019 – tahun 2024. Menyelesaikan konflik keadilan rakyat kepulauan, pesisir dan daratan. Keadilan pembagian kue pembangunan, mari kita buka APBD mulai kepemimpinan bupati dan wakil bupati tahun 2019 sampai dengan tahun 2024.
Tujuh pulau kecil dihuni oleh 20.000 jiwa yang terdiri dari tujuh wilayah desa mulai dari Desa Komodo bagian barat sampai di Desa Pontianak bagian timur Manggarai Barat. Apakah dalam buku kotor APBD pernah dialokasikan anggaran pembangunan jalan aspal, listrik, air minum bersih dan postu pelayanan terapung selama 5 tahun? Hampir tidak atau pernah ada semua yang disebut.
Sedangkan hampir seluruh spot wisata kita berada diantara kepingan pulau itu yang kemudian keindahannya dikunjungi wisatawan bisa mendongkrak Pendapatan Asli daerah ( PAD ) kita. Sumberdaya alam diambil akan tetapi manusianya tidak diurus.
Dua kelurahan, dua desa dalam Kota Labuan Bajo sampai Nggorang, lalu tujuh desa wilayah selatan Kecamatan Komodo, pembangunan yang ada adalah bekas pembangunan yang duitnya digelontorkan langsung dari pemerintah pusat.
Dalam buku APBD yang anggaranya di atas satu triliun setiap tahun, belum lagi dihitung dengan dana pinjaman 250 milyar rupiah. Setiap tahun diperkirakan berapa pengalokasian yang dikonsentrasikan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup bagi para nelayan, petani dan UMKM.
Yang ada adalah pemerasan pajak dalam dan melalui kebijakkan NJOP yang sangat dirasakan langsung oleh masyarakat 17 desa dan dua kelurahan yang ada di Kecamatan Komodo, yang dihuni 50.000 jiwa manusia.
Sampah tidak terurus, semua jenis pajak diambil secara ketat tapi, tidak berdampak terhadap perkembangan daerah dan desa kita. Mungkin inilah filosofi yang mengatakan “miskinkan orang di laut supaya uang dibawah kembali ke daratan”.
Bagaimana dengan para petani di Kecamatan Sano Nggoang, Kecamatan Mbeliling dan Kecamatan Boleng. Petani yang ada hari ini masih model bertani zaman orba, pohon kemiri, coklat, cengke, vanili, kelapa, padi yang ditanam sisa cara tanam masa lalu yang belum suram.
Pemerintah tidak mengedukasi dengan baik, memberi contoh pola tani moderen, tidak diberi anggaran kelompok tani dengan memadai, penyediaan pupuk yang teramat susah dicari petani. Penyuluh dan akomodasi yang belum maksimal. Dinas pertanian dengan program kepasraan, terserah siapa suruh menjadi petani malas. Memangnya uang hanya untuk pikir nasib kamu petani.
Demikian juga dengan konsenterasi pembangunan jalan trans 7 desa di Sano Nggoang Selatan baik itu Lembah Mata Wae dan Lembah Paku bahkan sudah menunjukkan keparahan. Sampai ada kampung namanya Wae Racang, paling ujung selatan Desa Mata Wae belum di bangun jalan sampai hari ini. Bahkan warga rela pikul 10 km, kalau ada ibu yg mau melahirkan apabila ingin rujuk ke Puskesmas Werang.
Penulis yakin hampir sama keringat keresahan yang dialami petani di 12 kecamatan di Kabupaten Manggarai Barat hari ini. Konsenterasi anggaran yang bersumber dari APBD untuk memperbaiki nasip petani terabaikan selama lima tahun.
Pembangunan infrastruktur jalan yang tidak merata adil tampak terlihat. Di beberapa pedalaman seperti Nisar, Desa Nanga Bere, Lembor bagian selatan yang masih ironi dan masih banyak wilayah Mabar yang tidak tersentuh pembangunan. Sementara keuangan APBD kita begitu besar.
Konsenterasi pembangunan sumberdaya manusia yang dikelola Dinas PKO nihil progres. Tampak murung guru – guru honor mengabdi di sekolah diwaktu akhir – akhir ini, nasib yang tidak terurai dengan kebijakan pemerintah yang populis.
Lalu dengan pembangunan infrasruktur kesehatan yang sudah ada, banyak puskesmas yang sudah berubah jadi rumah hantu di malam hari karena tidak ada pelayanan kesehatan. Rumah sehat tidak didorong oleh penempatan tenaga medis yang profesional siap menempati Puskesmas itu.
Yah, secara spesifik, hampir kalau kita menelaah seluruh program pembangunan lima tahun terakhir bupati dan wakil bupati sudah gagal. Tidak berhasil. Tidak dirasakan samasekali dampaknya bagi rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Hari ini jadi muda lagi, mencoba naik sepeda motor mengunjungi warga, itupun mulai telat karena gong Pilkada sebentar lagi genderang. Pakai topi ala koboy. Belum lagi ban motor crosnya kempes kerena diboncengi dua orang yang gendut. Inilah yang disebut “gaya kampanye tidak sesuai dengan prestasi”.*
Penulis adalah pengamat social politik tinggal di Labuan Bajo, Manggarai Barat