
Dalam dinamika pembangunan pariwisata Indonesia, khususnya di kawasan-kawasan yang masih menyimpan kekayaan ekologis dan budaya seperti Flores, pendekatan top-down masih menjadi pola dominan dalam banyak kebijakan. Sayangnya, kecenderungan ini sering kali berujung pada stagnasi, bahkan kekacauan dalam upaya menjaga keberlanjutan (sustainability) sektor pariwisata. Banyak kebijakan hanya berwajah proyek: instan, sesaat dan tidak menyentuh akar persoalan.
Di sektor pariwisata, kebijakan semacam ini bukan hanya tidak efektif, tetapi juga berisiko merusak keunikan destinasi. Padahal, kekayaan terbesar pariwisata Indonesia justru terletak pada keragaman alam, budaya dan cara hidup masyarakat lokal. Sayangnya, slogan-slogan seperti “pariwisata super premium” justru memperangkap kita dalam jebakan elitisme bisnis. Alih-alih mendorong kualitas yang merata dan inklusif, pendekatan ini justru mengasingkan masyarakat lokal dari ruang hidup dan potensi ekonominya sendiri.
Hal serupa juga terlihat dalam kewajiban-kewajiban simbolik seperti pelabelan “halal tourism” di wilayah yang sejatinya plural dan majemuk. Ketika keberagaman budaya dan identitas lokal ditekan oleh kehendak politik yang seragam, maka kita sesungguhnya sedang menjauh dari semangat kebangsaan yang inklusif. Label seperti itu seharusnya menjadi opsi, bukan kewajiban. Prinsipnya adalah memberi ruang, bukan memaksakan satu narasi atas banyak realitas.
Yang dibutuhkan saat ini adalah keberanian untuk mengubah pendekatan dari model instruksional ke pola kolaboratif dan partisipatif. Salah satu langkah awal adalah membangun jaringan nasional antar pelaku wisata, antar daerah dan antar komunitas. Sinergi ini penting untuk menyatukan promosi dengan realitas, menyambungkan narasi nasional dengan kekuatan lokal. Banyak destinasi yang hebat tetapi terpinggirkan karena tidak masuk dalam narasi besar promosi yang sering kali terpusat.
Lalu, mengapa kita harus berbicara soal politik? Karena keputusan politik pada dasarnya adalah penentu arah. Politik menetapkan mana yang menjadi prioritas, sektor mana yang mendapatkan dukungan dan seperti apa regulasi akan diberlakukan. Ketika keputusan politik hanya menuruti logika top-down, maka jangan harap akan lahir pariwisata yang bertanggung jawab (responsible tourism). Yang muncul bisa jadi hanya pariwisata massal yang mengejar aspek ekonomi, tetapi mengabaikan kelestarian ekologi, budaya dan kesejahteraan sosial masyarakat.
Ekowisata adalah antitesis dari model eksploitatif semacam itu. Ia tumbuh dari bawah, dari inisiatif masyarakat, dari kecintaan pada alam ciptaan Tuhan, dan dari kesadaran akan pentingnya menjaga warisan untuk generasi mendatang. Tapi untuk menjadi kekuatan nyata dalam kancah global, ekowisata juga membutuhkan kebijakan yang mendukung, sumber daya manusia yang profesional dan jaringan yang kuat agar sanggup menciptakan pengalaman yang berkualitas, adil, dan bermakna, baik bagi wisatawan, masyarakat lokal maupun lingkungan.
Ekowisata bukan sekadar pilihan estetik, ia adalah pilihan etis. Dan agar etika ini bisa tumbuh menjadi sistem, maka kita butuh kebijakan politik yang berpihak, bukan semata proyek yang mengejar angka. Sudah waktunya kita bicara arah, bukan sekadar membangun infrastruktur. Karena tanpa arah yang benar, sekuat apapun kita berlari, kita hanya akan menjauh dari tujuan sebenarnya.
Penulis adalah GM Floressa Bali Tours dan Dosen Praktisi pada Program Studi Ekowisata Politeknik Cristo Re Maumere, Flores.*