BUDAYA

Uskup Labuan Bajo : Banyak Seminari di Dunia Sudah Ditutup

FLORES GENUINE – Uskup Labuan Bajo, Mgr Maksimus Regus mengatakan bahwa di belahan dunia lain, banyak seminari yang sudah ditutup karena ketiadaan siswa. Banyak sekali seminari-seminari yang ditutup karena sudah tidak ada lagi siswanya, bahkan di Belanda ada seminari tinggi yang harus mengimpor para frater dari Asia termasuk dari Indonesia.

“ Ada tiga frater yang dikirim ke Belanda untuk melanjutkan studi teologi di Belanda karena tidak ada lagi calon imamnya,” ungkap Uskup Maksimus dihadapan para siswa seminaris dan jajaran pendidik dalam kunjungan kerjanya di Seminari Santu Yohanes Paulus II, Labuan  Bajo, Senin (3/2/2025).

Uskup Maksimus mengisahkan bahwa banyak gedung-gedung besar sudah dijual oleh gereja kepada pemerintah. Gedung-gedung tersebut kemudian digunakan untuk klub klub dan lain-lain. Melihat fenomena ini, Uskup Maksi menyatakan bahwa para seminaris Santu Yohanes Paulus II sesungguhnya adalah gambaran dari harapan gereja dan masa depanbukan hanya bagi Gereja Labuan Bajo tapi juga bagi Gereja Manggarai Raya, Gereja Flores, Gereja Indonesia dan Gereja dunia.

Menurut Uskup Maksi, ketika bicara tentang seminari maka ada satu kata penting dan menjadi kata kunci yaitu formasi. Di seminari, formasi bukan sekedar menghadiri sekolah di kelas, tetapi formasi merupakan sebuah proses dan melalui tahapan-tahapan. Ketika para seminaris datang ke seminari untuk menjadi siswa seminari, itu lebih kuat maknanya jika diisi dengan sebuah harapan dan makna keberlanjutan.

BACA JUGA:  Sekilas Sejarah Tahun Baru dan Tradisi Perayaan di Beberapa Negara

“ Ketika para pembina melakukan formasi di tempat ini, mereka itu dalam posisi semacam hubungan  atasan-bawahan,  tidak juga formasi diri mereka sendiri. Apakah sebagai imam? Apakah sebagai frater, jadi ada mutualime di situ,” ucap uskup.

Uskup mengingatkan agar jangan berpikir bahwa para seminaris ini semacam menjadi obyek dari sebuah proses formasi tapi harus secara bersama-sama bertumbuh sebagai sebuah komunitas, sebagai sebuah keluarga.

“ Oleh sebab itu, nilai dan karakter adalah salah satu bentuk formasi yang ada di seminari,” tandasnya.

Lebih lanjut Uskup Maksi menjelaskan beberapa aspek formasi yang harus dijalankan di dalam seminari. Pertama,  formasi manusiawi. Manusiawi dalam ungkapan sederhananya, bagaimana kita menjalani hidup sehari-hari sebagai seorang manusia.

Kedua, adalah formasi intelektual.  Hal-hal akademik menjadi fokus utama dalam proses formasi di seminari menengah.

Ketiga, formasi spiritual atau rohani. Melalui kegiatan-kegiatan rohani, melalui seperti sharing kitab suci, melalui adorasi ibadat-ibadat, pengakuan dan sebagainya. Kalau di seminari tinggi biasanya ditambahkan satu formasi yang disebut dengan formasi pastoral.

BACA JUGA:  Uskup Maksimus : Pentingnya Menjadi Pribadi yang Autentik di Tengah Tawaran Kepalsuan Dunia

Formasi pastoral ini dengan memulai praktek di paroki, di komunitas dengan penekanan pada praktek-praktek pastoral praktis seperti memimpin ibadat dan sebagainya supaya dikemudian hari menjadi imam dan suster religius yang benar-benar holistik.

Uskup Labuan Bajo foto bersama para seminaris St Yohanes Paulus II. (foto : ist)

“ Jadi, kata kunci yang sangat penting adalah formasi. Kita mereformasi diri kita sendiri. Memformat diri kita sendiri tentu dengan kurikulum pembinaan yang disusun oleh para pembina. Formasi yang bukan asal susun, tapi harus ada panduannya, ada direktoriumnya sebagaimana untuk pendidikan dan pembinaan calon imam,” ungkap uskup seraya menagatkan bahwa biasanya dokumen-dokumen formasi dikeluarkan oleh Vatikan, KWI, Gereja Nusa Tenggara dan gereja lokal.

Ia berharap para seminaris dapat melihat proses formasi, bukan sebagai sesuatu yang ditanamkan begitu saja di dalam diri mereka tetapi sesuatu yang berjalan bersama dalam proses tersebut. Untuk itu, proses formasi tidak dilihat semata-mata sebagai sebuah beban tetapi melihatnya sebagai bagian dari proses pembentukan diri itu sendiri.

Para seminaris adalah sebuah gereja masa depan. Oleh karena itu, perlu membayangkan sebuah gereja yang bertumbuh dua puluh tahun dari sekarang, tiga puluh tahun dari sekarang dan seterusnya. Salah satu yang menjamin bahwa gereja itu terus ada adalah jika ada seminarisnya.

BACA JUGA:  Prosesi Patung Bunda Maria, Awali Festival Golo Koe 2024

“ Para seminaris inilah yang memberikan jaminan bahwa gereja itu masih ada,” tandas Uskup Maksi.

Untuk itu, dia mengajak para seminaris untuk berusaha menjaga jantung Keuskupan Labuan Bajo. Semua harus menjaga agar jantung ini tetap sehat sehingga terus memompa optimisme, memompa harapan, memompa suka cita, baik seminaris putra maupun seminaris putri. Para seminaris sedang dipersiapkan oleh Tuhan untuk sebuah proyek di masa depan tetapi harus dimulai dari sekarang.

Gereja Kauskupan Lebuan Bajo, sebut Uskup Maksi akan terus berusaha menemukan cara-cara terbaik, bagaimana membuat para seminaris bisa bertumbuh sebagai seminaris, sebagai pribadi yang baik, sebagai calon pemimpin-pemimpin gereja dan umat di masa depan.

Uskup juga mendoakan para seminaris agar mengawali tahun ini dengan penuh suka cita, dengan semangat yang luar biasa.

“ Semoga seminari ini diberkati dengan kekayaan spiritual dari semua kongregasi sebagai pembina di sini dan kita saling belajar melalui kehadiran mereka di tempat ini,” ucap Uskup Maksi. [vin/fgc]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button