Setahun terakhir ini, kita “tergiring” dan “tercebur” dalam pesta akbar bernama demokrasi. Masing-masing kita dengan lantang bergelora menyatakan dukungan terhadap paslon yang kita jagokan. Lebih heboh lagi mereka yang menyatakan diri relawan, tim sukses dan lingkaran satu. Pun sejumlah oknum umbar diri penting dan dipentingkan. Mereka itu, bicara tentang junjungannya tak kenal titik.
Khusus kita di Manggarai Timur ritus lima tahunan tersebut bererat dengan pemilihan bupati dan wakil bupati untuk menakhodai tanah Lawelujang ini. Juga memilih Gubernur-Wakil Gubernur NTT.
Antara Pilgub NTT dan Pilkada Manggarai Timur berbeda nuansanya. Aroma Pilgub NTT masih mewariskan tegangan yang sama. Pilgub NTT terasa pertarungan Pilpers. Sebab parpol pengusung hampir bertindih tepat. Jadi Pilgub NTT masih “adonan” pilpres. Tidak heran skenario plus kontribusi politisi pusat terhadap Pilgub NTT amat kental dan mendominasi.
Sementara Pilkada Manggarai Timur memperlihatkan fenomena baru. Meski semuanya wajah lama alumni Lehong sana, tetapi isu yang “dipertontonkan” selalu bertentangan. Yang satu menyatakan dengan telanjang giat kiat yang sudah dilakukan dan akan dilanjutkan. Bagaimana mumetnya berhadapan dengan gempuran penyakit global merk Covid-19 yang berlangsung dua tahun itu. Betapa tegang dan pontang pantingnya ketika berusaha menjegal agar virus laknat itu tidak meluas.
Konsekuensinya rasionalisasi anggaran menjadi keharusan untuk menggerakkan semua elemen terlibat kepung bersama agar serangan virus itu dihentikan. Meski demikian beberapa sentra pelayanan dan pembangunan fasilitas publik tetap jalan. Bahwa ada keterbatasan, ya tetapi alternatif solutif berjalan sesuai porsinya. Maka tagline “Pande ata Mese’n” sesungguhnya mengguratkan arfimasi pesan kuat; sudah berbuat, sedang berbuat, dan akan berbuat.
Paslon lain menempatkan Manggarai Timur masih stagnan. Belum ada perubahan. Masih compang-camping. Buruk semua seraya menyatakan akan bangun tuntas.
Pertentangan serupa ini di panggung politik menjadi bumbu-bumbu penyedap guna menyedot simpati. Menggarap massa dan mendamba empati. Tentu ini tidak salah, hanya kurang tepat. Yang seharunya dikedepankan adalah akhlak politik yang mencerminkan ethos pelayanan kepada masyarakat publik. Gagasan-gagagasan brilian bagaimana meretas kemampaten di wilayah ini. Bagaimana membangun masyarakat sejahatera dan berkeadilan.
Pendek kata ide cerdas yang sanggup menguliti luka borok wilayah kita Manggarai Timur ini. Bukan sebaliknya memerlihatkan kedangkalan berpikir, mengentengkan kiat sehingga cenderung menafikan yang lain. Lebih suka aplod gagasan-gagasan abstrak tanpa pijakan analisis yang mumpuni.
Manifestasi perjuangan politik yang dimainkan para seteru dan kru-kru pendukung sebagaimana digambarkan di atas telah mengabaikan norma-norma susila warisan leluhur kita. Mengangkangi budi pekerti seraya memperlihatkan lensa pedang “kanibalisme”. Sarkastis seolah-olah menjadi embun pagi yang menyegarkan, tanpa ada rasa bersalah. Melukai, mencidrai bahkan mengunggah wilayah privacy seolah-olah kegemaran dan bakat baru.
Apakah ini tanda kemajuan demokrasi kita di Manggarai Timur? Ataukah kita justru sudah terinfeksi virus amnesia sosial dan budaya? Entahlah. Yang jelasnya dari fenomena ini kita tidak pandai lagi menempatkan kearifan budi dan pesan bestari dari pendahulu-pendahulu. Kita cenderung melumat dalam inklinasi perjuangan yang sesaat sifatnya.
Di atas semuanya itu. Di jedah ini dan ke depannya. Meski terlanjur jauh karena fanatisme terhadap kandidat paslon kita masing-masing, kita sampai pada simpul peradaban yang sama. Bahwa 27 Nopember 2024 sebagai hari pengadilan itu sudah berakhir. Bapak Agas Andreas-Tarsi Sjukur mendulang suara tertinggi dan pemenang pada pentas Pilkada Manggarai Timur. Kedua bapak ini akan menakhodai rumah kita bersama Manggarai Timur selama lima tahun ke depan. Keduanya bakal bekerja, membangun daerah dan kita rakyat Manggarai Timur.
Bahwa sebelum-sebelumnya kita berada pada pihak yang kurang bersalera mendukung paslon AKUR itu hak politik kita masing-masing. Sebaliknya pendukung AKUR, tentu dan selayaknya merayakan kepuasan emosi politik. Tetapi di titik simpul fakta berdemokrasi kita mesti sampai pada kesadaran, Bapak Ande dan Bapak Tarsi adalah bapak kita semua roeng Manggarai Timur. Cau Landuk Manggarai Timur. Pucuk pimpinan tertinggi Manggarai Timur. Keduanya dimandatkan untuk mengurus kebutuhan fasum dan fasus seluruh masyarakat Manggarai Timur.
Karena itu, marilah kita rajut kembali persaudaraan yang mungkin selama proses pilkada ini retak karena perbedaan pilihan. Kita tenun kembali lembar-lembar kebersamaan yang mungkin selama ini terlempar jauh dari ingatan kita. Jika ada kata yang mengiris rasa dan tutur ucap yang membuat kita terluka, marilah kita saling memaafkan. Biarlah kasih saling mengakik dan cinta bersahut mesra dalam kebersamaan. Sebab semuanya telah berlalu. Kita kubur dalam dalam dan melupakan semuanya. Kita tetap bersaudara, penghuni rumah yang sama, Manggarai Timur.
Karena itu kita semua terpanggil dan bersama-sama mendukung bapak berdua untuk bekerja membangun Manggarai Timur. Melunasi semua harap, impian, dan cita-cita kita bersama. Jika ada kilaf kita kontrol dengan santun tapi bukan menggurui apalagi memfitnahnya. Jika ada hal yang perlu kita sampaikan kita omong dengan kedua bapak kita ini, tapi bukan omong tentang keduanya.
Marilah Kita satukan ujud intensi dan dukungan bagi bapak berdua ini. Biarlah ruang pengabdian lima tahun ke depan ini menjadi larik-larik ibadahnya. Sehingga pande ata mese’n sungguh-sungguh membumi dan menyapa kita semua. Dengan itu perahu Manggarai Timur ini tidak retak dinding-dindingnya. Selamat bertugas bapak berdua. Sukses selalu. Kami mendoakanmu. (*)
Penulis Sekretaris Partai Perindo Manggarai Timur