FLORESGENUINE.com- Menenun bagi masyarakat di Nusa Tenggara Timur NTT) merupakan proses pewarisan secara turun temurun. Namun, proses pewarisan identitas diri itu kini nyaris sampai di titik akhir, walau sejatinya, tradisi tidak berusia.
Proses pewarisan tradisi tenun tangan atau orang menyebutnya tenun ikat ini dihadapkan pada beragam fakta yang dengan caranya masing-masing mencederai jalannya tradisi tenun tangan di wilayah ini.
Beberapa fenomena bahkan fakta coba diuraikan di bawah ini sebagai indikator yang menunjukkan bahwa tradisi menenun kian kurang diminati oleh generasi muda khususnya kaum perempuan.
Pertama, para penenun di NTT sementara ini, mayoritas adalah generasi tua. Di beberapa tempat yang menjadi kantong-kantong tenun NTT seperti di wilayah Biboki TTU, Sumba Timur dan di Manggarai, Flores, para penenunnya adalah perempuan-perempuan tua dengan kisaran usia antara 40-60 tahun. Kalaupun ada golongan muda, maka menenun bukan menjadi pekerjaan utama tetapi sebagai aktivitas pengisi waktu luang atau selingan.
Menenun bagi generasi kini dipandang sebagai pekerjaan yang membosankan dan menyita banyak waktu. Tahapan proses pembuatannya yang sampai berminggu-minggu, secara ekonomis tentu dirasakan tidak efisien dan menguntungkan. Akibatnya, aktivitas menenun tinggal bergantung di ujung jari-jari uzur, generasi tua.
Kedua, pada saat yang sama, waktu bergerak seperti berlari. Segala hal yang berkaitan dengan proses diminimalisir demi tujuan mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam posisi ini, tenun menjadi korban paling empuk. Pesona instantisme dengan pengabaikan proses yang menonjolkan sisi sederhana, cepat, mudah dan ringan justru lebih digandrungi, sementara yang lama, rumit, berat dan kaku dipandang purba dan kuno.
Perihal ini tampak mencolok pada ketertarikan masyarakat pada kain-kain batik, lantaran lebih ringan dan nyaman dikenakan. Bahkan di zaman instantisme, tenun tangan justru tenggelam di balik pesona ‘celana umpan’.
Ketiga, pengaruh lain dari problem instantisme adalah tawaran siap saji berbagai kebutuhan manusia, termasuk kebutuhan untuk memproduksi tenun yang ditawarkan oleh pasar. Berbagai bahan pewarna alami yang ada di sekitar lingkungan dan diproses secara alamiah, secara perlahan ditinggalkan. Banyak muncul pewarna-pewarna sintetis produksi pabrik. Tidak hanya itu, bahan dasar tenun berupa kapas nyaris punah, setelah benang-benang toko jauh lebih mudah diperoleh dan pupoler digunakan.
Keempat, ketertarikan yang tak terkontrol seperti di atas membawa dampak yang justru jauh lebih serius, yakni berkencambahnya duplikasi motif tenun melalui pembatikan, sablon dan digital print. Demi mengejar permintaan pasar, kaum berduit bisa dengan mudah menggandakan motif-motif tribal NTT. Ditambah harga beli yang jauh lebih murah, sudah barang tentu banyak orang yang akan melirik motif-motif daerah yang diproduksi oleh pabrik.
Kelima, selain karena pesona pasar, kebijakan ’setengah hati’ pemerintah untuk memproteksi pengaruh-pengaruh buruk atas keberadaan tenun tangan juga turut berpengaruh. Di satu sisi, pemerintah mengumandangkan dalam dan melalui peraturan daerah (Perda) dan aturan hukum lainnya untuk mewajibkan para pegawai negeri mengenakan pakaian motif daerah, namun di sisi yang lain, begitu banyak pegawai negeri sipil yang justru mengenakan pakaian motif daerah hasil sablon, pembantikan dan dicetak digital.
Keenam, ada disparitas harga atas tenun tangan NTT. Bagi warga NTT, harga tenun dijual murah, sementara bagi warga asing, lebih-lebih turis asing dijual dengan harga mahal. Anggapan bahwa wisatawan asing banyak uang, sebenarnya adalah anggapan yang konyol jika berhadapan dengan bagaimana menghargai pewarisan identitas.
Justru sebaliknya, warga lokal harus mau membeli dengan harga yang jauh lebih tinggi, ketimbang warga asing. Sebagai warga local, sesungguhnya masyarakat NTT menyadari bahwa tenun adalah identitas diri, identitas kultural, menjual dan membelinya adalah sebuah transaksi yang bermartabat dan untuk itu perlu diganjar dengan harga yang mahal, bahkan jika mau jujur tidak ada harga yang pantas untuk idealisme di balik itu.
Ada dampak ganda dari disparitas harga seperti ini, yakni bisa membuat warga asing tidak berminat untuk memiliki atau membeli produk tenun NTT dan warga lokal akan tidak menghargai tenun sebagai produk yang pantas untuk dihargai.
Inilah problem-problem paling menonjol yang dialami mayoritas masyarakat NTT dalam upaya mewarisi dan mempertahankan identitas diri, komunitas dan tradisi. Di hadapan problem-problem tersebut, dibutuhkan alternatif pelestarian yang digalang secara bersama, baik penenun itu sendiri maupun masyarakat umum, pemerintah dan tentu saja pasar. [Kornelis Rahalaka]