BUMI MANUSIA

Mbaru Gendang, Simbol Persekutuan Hidup Orang Manggarai

FLORESGENUINE.com- Masyarakat Manggarai masih memegang teguh kebudayaan dan adat istiadat yang diwariskan secara turun temurun. Itu terbukti dari hampir seluruh aktivitas kehidupan orang Manggarai diwarnai berbagai ritual adat istiadat khas Manggarai. Salah satu diantaranya yakni rumah adat Mbaru Gendang atau Mbaru Tembong.

Mbaru Gendang terdiri dari dua kata yakni Mbaru dan Gendang. Mbaru artinya rumah dan Gendang adalah sejenis alat musik tradisional yang terbuat dari kayu dan kulit kerbau atau kulit kambing. Hampir di setiap kampong (beo) memiliki  mbaru gendang atau mbaru tembong ini. Mbaru gendang pada umumnya berbentuk kerucut.

Mbaru Gendang mempunyai beberapa fungsi utama yakni sebagai tempat tinggal para tetua adat dalam satu garis keturunan yang terdiri dari tua golo, tua teno, tua panga sekaligus sebagai tempat untuk bermusyawarah dan menyelesaikan berbagai persoalan di komunitas adat. Selain itu, mbaru gendang juga digunakan untuk menyimpan berbagai benda-benda peninggalan para leluhur.

Rumah adat ini juga merupakan simbol kesatuan dan persatuan, ikatan kekerabatan, persaudaraan dan kebersamaan, baik sesame warga kampung maupun ikatan kekerabatan dengan komunitas lain dan lingkungan di sekitarnya. Mbaru Gendang juga merupakan perekat ikatan social yang berhubungan dengan hak-hak kepemilikan atas tanah, air, hutan dan ulayat atau tanah lingko yakni tanah yang masih bersifat komunal/umum.

Dengan kata lain, Mbaru Gendang atau Mbaru Tembong adalah symbol sekaligus pusat  seluruh kehidupan orang Manggarai. Tidak heran, jika orang Manggarai memiliki satu filosofi terkenal  yakni gendang one lingko pe’ang, ungkapan ini menunjuk pada satu kesatuan yang utuh antara rumah sebagai tempat tinggal dan tanah adat (lingko) sebagai wilayah yang dikuasai yang adalah hak milik yang diwariskan secara turun temurun. Karena kedudukan dan fungsinya yang sangat penting dan strategis maka Mbaru Gendang selalu dijaga dan dirawat dengan baik.

Mbaru Gendang sebagai rumah adat memiliki fungsi dan kedudukan tertinggi sehingga dapat  dibedakan  dengan rumah penduduk lainnya. Di rumah adat  Mbaru Gendang biasa didiami  oleh para tetua  adat dalam satu garis keturunan seperti tua golo atau tua gendang. Ia adalah pemimpin umum atau pemuka adat dalam kampung.

Biasanya, di dalam Mbaru Gendang didiami pula tua teno yaitu seorang pemimpin yang bertugas khusus dalam pembagian tanah-tanah adat lingko dan tua panga atau tua batu yang adalah sub-klen yang merupakan struktur adat paling bawah.

BACA JUGA:  Bak Penampung Hujan, Cara Warga Kedang Memenuhi Kebutuhan Air di Musim Kemarau

Di rumah adat inilah biasa dijadikan tempat untuk mengadakan permusyawaratan bersama guna menyelesaikan berbagai persoalan yang berhubungan dengan kepentingan warga kampung.  Seperti  terungkap  dalam  ungkapan antara lain; neki weki manga ranga, kudut batang pa’ang olo ngaung musi artinya tempat berkumpul bagi semua penghuni kampung untuk bermusyawarah dan bermufakat. Mbaru Gendang juga berfungsi sebagai tempat untuk perayaan upacara-upacara adat seperti penti, cepa, ta’e kaba, wagal/nempung.

Juga tempat untuk menerima dan menjamu tamu-tamu agung yang mengunjungi kampung. Ia juga sebagai tempat untuk menyimpan berbagai alat musik tradisional seperti gendang, gong dan tempat bagi anak-anak muda berlatih berbagai tarian seperti sanda, mbata atau bermain alat musik tradisional.

Sesuai tata adat Manggarai, Mbaru Gendang terdiri dari tiga bagian utama yakni kolong rumah  atau ngaung yakni bagian rumah yang diyakini sebagai simbol dunia bawah, dunia orang mati.  Orang  Manggarai percaya bahwa arwah orang-orang  yang  telah meninggal dunia, setan atau roh-roh halus yang hendak mengganggu manusia biasanya datang dan tinggal di bawah kolong rumah.

Bahkan pada zaman dulu, bayi yang meninggal dunia, biasa dikuburkan di bawah kolong rumah. Pada umumnya, Mbaru Gendang dibangun berbentuk rumah panggung sehingga dibawahnya terdapat kolong rumah, tempat itu biasanya gelap dan tidak digunakan untuk aktivitas sehari-hari.

Mbaru Gendang juga memiliki ruang tengah di mana, di bagian ini terdapat ruang tamu dan dikelilingi oleh sejumlah kamar dilengkapi tempat tidur. Pada ruang bagian tengah ini merupakan simbol terang dunia yang senantiasa menyinari kehidupan seluruh warga kampung  terutama mereka yang  tinggal di dalam mbaru gendang.

BACA JUGA:  Ceritra dari Komodo, dari Ritual Tarian Dewa dan "Operasi Bedah" Kelahiran

Di ruang tengah terdapat beberapa istilah seperti lutur yakni tempat untuk melaksanakan upacara adat, bermusyawarah, tempat pembaringan jenazah atau tempat untuk menerima tamu. Dalam ruangan ini berdiri sebuah tiang agung atau tiang utama yang dikenal dengan istilah siri bongkok.

Pada tiang siri bongkok biasa digantungkan benda-benda bersejarah atau benda pusaka seperti alat-alat musik tradisional serta barang-barang pusaka leluhur lainnya. Pada setiap acara adat atau lonto leok bantang cama yakni bermusyawarah untuk mufakat, pemimpin adat biasanya duduk bersandar  di tiang siri bongkok  sambil memimpin rapat.

Msayarakat adat sedang menggelar upacara adat. (Foto : Kornelis Rahalaka/Floresgenuine)

Orang Manggarai sangat menghormati tiang agung atau siri bongkok ini karena mereka yakini tiang siri bongkok merupakan pusat  sekaligus penopang utama kehidupan bagi seluruh warga kampung. Di bagian ruangan ini pula dikenal sejumlah istilah seperti lo’ang atau kamar tidur.

Jumlah kamar  tidur  biasa  disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga yang  berhak mendiami rumah adat tersebut. Di ruangan ini terdapat pula sapo atau tungku api, tenpat untuk aktivitas memasak. Pada zaman dulu, sapo dibuat di dalam  rumah  gendang, namun dalam perjalanan waktu dan pertimbangan praktis, sapo dapat dibangun di luar atau terpisah dengan Mbaru Gendang.

Pada ruangan bagian tengah ini juga terdapat para atau pintu, tempat keluar-masuk manusia sekaligus tempat pelaksanaan upacara adat seperti penyembelian hewan kurban untuk memberi makan para leluhur dan anggota keluarga.

Pada umumnya, atap Mbaru Gendang berbentuk kerucut atau dikenal dengan sebutan niang sehingga kerap orang Manggarai menyebut Mbaru Gendang dengan nama Mbaru Niang. Bentuk  kerucut bukan tanpa arti. Ada bentuk wajah manusia yang terbuat dari kayu menyimbolkan bahwa manusia Manggarai selalu tertuju kepada Wujud Tertinggi yang berada “di atas” yakni  Sang Pencipta atau orang Manggarai mengenalnya Mori atau Tuhan.

BACA JUGA:  Penti Weki Peso Beo, Ungkapan Syukur dan Rekonsiliasi Hubungan yang Retak

Orang Manggarai percaya, manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makluk ciptaan paling tinggi dari semua ciptaan lainnya. Ada pun lukisan tanduk kerbau yang menempel pada wajah lukisan manusia menggambarkan orang Manggarai yang  memiliki kekuatan seperti kerbau, di mana orang Manggarai miliki daya juang dan suka bekerja keras untuk mewujudkan kesejahteraan hidupnya.

Sementara itu, tepat di bagian atas lukisan kepala manusia, terdapat lukisan berbentuk kepala gasing atau mangka. Lukisan ini adalah simbol hubungan erat antara manusia dengan Tuhannya. Lukisan gasing ini berkaitan erat dengan kesatuan hak ulayat atas tanah-tanah suku yang dikuasai oleh warga kampung. Lukisan kepala gasing biasa ditemukan di pusat-pusat  lodok yaitu pusat area tanah yang ditempatkan pada saat acara pembagian tanah-tanah adat. Lodok sendiri merupakan bentuk khas  pembagian tanah ala orang Manggarai yang menyerupai sarang laba-laba.

Namun, tidak  semua orang Manggarai mengenal dan menganut filosofi gendang one lingko pe’ang. Di sebagian wilayah Manggarai tidak mengenal filosofi tersebut, termasuk perangkat-perangkat adat  dan struktur-truktur adat sebagaimana tersebut di atas.

Beberapa wilayah di Kabupaten Manggarai Barat misalnya, tidak mengenal Mbaru Gendang dengan segala unsur ritual adat dan struktur adat istiadatnya. Hanya sejumlah kecil kampong yang miliki Mbaru Gendang.

Di wilayah Kempo, Mata Wae, Mburak, Boleng, Lembor  dan Labuan Bajo, tidak ditemukan simbol-simbol adat dan ritual adat. Demikian pula di wilayah Kabupaten Manggarai Timur. Seperti Borong, Kisol, Waerana, Kota Komba, Buntal, Kembo, Pota dan Reo, tidak memiliki rumah khas seperti yang ada di wilayah Manggarai bagian tengah.

Meskipun tidak mempunyai Mbaru Gendang bukan berarti di wilayah-wilayah tersebut tidak menghayati filosofi gendang one lingko pe’ang atau tidak memiliki lingko atau tanah-tanah ulayat. Pada umumnya orang Manggarai mempunyai  pandangan yang sama tentang filosofi kehidupan meskipun sebagian wilayah Manggarai tidak memiliki simbol-simbol kebudayaan dan perangkat-perangkat adat dan struktur adat istiadat yang sama atau serupa. [kis/fg]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button