PANGAN

Kopi Flores dan Pemberdayaan Petani

Penulis: Kornelis Rahalaka

Kopi merupakan komoditi unggulan Indonesia. Saat ini, produksi kopi Indonesia mencapai sekitar 680.000 ton atau sekitar 11,3 juta karung kopi biji per tahun, di mana sekitar 70% diekspor ke Eropa, Amerika Serikat dan Asia yakni Jepang dan Korea Selatan.

Indonesia memproduksi tiga jenis kopi secara berturut-turut menurut volume produksinya yakni robusta, arabika dan liberika. Daerah penghasil utama kopi robusta yakni Sumatera bagian selatan (Sumatera Selatan,  Lampung dan Bengkulu), Jawa Timur, Bali dan Flores. Sementara, penghasil utama kopi arabika yakni Sumatera bagian utara (Aceh dan Sumatera Utara), Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali dan Flores. Sedangkan kopi liberika banyak ditanam di daerah pasang surut seperti Sumatera bagian timur (Jambi, Riau dan Sumatera Selatan) dan Kalimantan (Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah).

Sebagian besar  kopi diproduksi oleh perkebunan rakyat yaitu sekitar 94%, sementara, perkebunan besar negara dan swasta masing-masing hanya memproduksi sekitar 2%. Pada tahun 2010, jumlah rumah tangga petani pengelola perkebunan kopi di seluruh Indonesia dilaporkan sebanyak 1.881.694 KK (Kepala Keluarga). Adapun sektor perkebunan besar dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 30.834 orang.

Sementara itu, trend konsumsi kopi per kapita di pasar dunia dan domestik dari tahun ke tahun diperkirakan terus meningkat, terutama untuk kopi specilaty yaitu kopi yang memiliki mutu baik dan karakter yang khas, yang diproduksi dari kawasan tertentu dengan kondisi alam tertentu pula. Kopi specialty di Indonesia umumnya berupa kopi specialty arabika seperti kopi Gayo dari Aceh, Kopi Mandeling dan Kopi Lintong dari Sumatera, Kopi Jawa, Kopi Toraja, Kopi Bali-Kintamani dan Kopi Flores. Kopi specialty ini umumnya dieskpor dan mendapat harga jauh lebih tinggi dari kopi yang dikelola secara konvensional. Kondisi ini tentunya menjadi peluang besar bagi upaya peningkatan pendapatan petani kopi Indonesia.

BACA JUGA:  Puluhan Negara Hadapi Krisis Pangan

Meskipun demikian, kopi Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar dengan  munculnya gejala penurunan produksi kopi karena penurunan luas lahan kopi, minimnya pengelolaan kopi yang baik, dan akibat perubahan iklim global dunia.

Penurunan luas areal terjadi terutama pada kopi jenis robusta. Di Sumatera bagian selatan, sebagian lahan telah dikonversi menjadi kebun kelapa sawit, karet dan kakao. Sedangkan di Jawa Timur, sebagian lahan kopi robusta dikonversi ke tanaman tebu, sayuran dan pohon penghasil kayu (timber tree). Alasan konversi, karena harga kopi robusta rendah dan tidak stabil serta hanya dipanen sekali setahun.

Kondisi serupa dihadapi oleh para petani kopi di wilayah Nusa Tenggara TImur (NTT). Penurunan produksi kopi umumnya terjadi karena minimnya perawatan kopi. Potensi kopi specialty kopi di NTT, terutama di Flores bagian barat seperti Kabupaten Ngada dan Manggarai raya (Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat) sangat besar, namun sayangnya, potensi ini belum dikembangkan secara maksimal karena minimnya praktek budidaya kopi akibat keterbatasan pengetahuan praktis terkait teknik budidaya kopi yang yang baik.

BACA JUGA:  Dorong Pertumbuhan Ekonomi, Kemenparekraf dan BPOLBF Gelar Event Parekraf

Untuk itu, upaya pemberdayaan  petani  kopi menjadi sesuatu yang urgen dilakukan guna menghasilkan kopi specialty Indonesia.  Usaha yang dapat dilakukan melalui pola pendidikan budidaya kopi yang baik dan benar agar petani kopi dapat menyumbang peningkatan produktivitas kopi dengan kualitas yang baik. Pengetahuan budidaya dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan dan cocok dengan kondisi  lahan pertanian yang tersedia.

Selain itu, untuk meningkatkan hasil kopi juga dengan merehabilitasi kopi-kopi berusia tua atau kurang berproduktif. Teknik ini dapat dilakukan melalui teknik penyambungan klon kopi unggul tanpa membongkar akar pohon aslinya. Teknik ini pernah diterapkan terhadap perkebunan kopi milik petani kopi di Desa Malanusa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada.

Cara ini ditempuh mengingat sebagian besar tanaman kopi sudah berumur tua dan tidak produktif lagi. Selain rehabilitasi kopi yang sudah sangat tua, para petani kopi perlu diberikan edukasi tentang berbagai macam hama dan penyakit kopi yang berpengaruh besar bagi pertumbuhan dan produktifitas kopi. Adapun beberapa hama yang kerap menyerang tanaman kopi petani yakni nematoda parasit, penggerek buah Kakao, karat daun dan beberapa jenis kutu serta penggerek batang/cabang/ranting. Berbagai hama penyakit tersebut sangat merugikan para petani kopi.

BACA JUGA:  Jeritan Hati Petani Vanili

Langkah pemberdayaan menjadi penting guna menumbuhkan kesadaran petani kopi bahwa kebun kopi sesungguhnya adalah perusahan milik petani. Bila petani ingin agar kebun kopi memberikan penghasilan yang optimal, maka petani tidak bisa hanya menyerahkan begitu saja pada kemurahan alam.

Sudah saatnya, petani kopi di Flores menjadi lebih profesional, dalam arti berjiwa dan berperilaku layaknya seorang pengusaha yang tahu bagaimana menjalankan perusahannya dengan baik. Dengan demikian, petani harus mengelola kebun kopinya  dengan pendekatan bisnis/ekonomis, namun  senantiasa mengedepankan cara-cara budidaya yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Analisis bisnis dalam pengelolaan kebun kopi juga harus dihitung secara jeli oleh para petani kopi.  Petani harus mampu merancang bagaimana model pengelolaan kebun kopi, jenis kopi  apa yang cocok ditanam dikebunnya, bagaimana persiapan lahan, bagaimana pemupukan, bagaimana perawatannya, bagaimana pemangakasannya, bagaimana pengendalian hama penyakitnya, berapa biaya yang harus dikeluarkan dan berapa volume produksi yang ingin dicapai oleh petani. Petani kopi sejati adalah petani yang ketika menggantungkan hidupnya dari kebun kopi, bersedia dan tekun belajar berkebun kopi yang baik.*

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button