
FLORES GENUINE – Kekerasan terhadap anak adalah pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Kekerasan terhadap anak berdampak besar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Dalam jangka panjang, kekerasan sangat mengganggu perkembangan fisik, mental dan emosional anak.
Pada umumnya, kekerasan terhadap anak terjadi dalam berbagai bentuk baik kekerasan fisik, psikologis, termasuk eksploitasi seksual. Meskipun kesadaran akan pentingnya hak-hak anak semakin tinggi, namun kekerasan masih terus saja terjadi di masyarakat kita.
Suster Rita, SSpS, aktivis yang juga biarawati mengungkapkan hal ini saat menerima kunjungan Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus, di rumah perlindungan anak dan perempuan JPIC SSpS, Labuan Bajo, Sabtu (31/5/2025).
Melansir data yang dikeluarkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Suster Rita membeberkan masih tingginya angka kekerasan terhadap anak di Indonesia. Tingginya angka kekerasan terhadap anak dan perempuan menunjukkan bahwa masih banyak anak yang hidup dalam ketakutan dan penderitaan.
Dia menjelaskan bahwa bentuk kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi di luar rumah, tetapi kerapkali terjadi di lingkungan keluarga.
“Dalam banyak kasus, kekerasan fisik dan psikologis dilakukan oleh orang terdekat anak, seperti orang tua atau kerabat dekat. Kekerasan ini dapat menyebabkan trauma yang mendalam dan berdampak pada perkembangan psikologis serta emosional anak, menghambat kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan orang lain dan bahkan merusak harga diri mereka,” ungkap Rita.
Sr. Rita menambahkan bahwa berkat bantuan dan peduli dari donatur, pihak JPIC SSpS mendapatkan gedung dan kantor sebagai rumah bagi perempuan dan anak-anak yang mengalami kekerasan.
“Ibu atau setiap anak yang datang, kami selalu bilang, ini bukan rumahnya suster, tapi rumahnya ibu-ibu dan anak-anak,” ucapnya.
Suster Rita menggambarkan kehidupan di rumah perlindungan, tempat penampungan sementara bagi para perempuan dan anak yang mengalami kekerasan. Di mana kadang anak-anak masih mengalami shock atau trauma terhadap kekerasan yang mereka alami sehingga membutuhkan waktu bagi mereka untuk memulihkan diri.
“Ada yang stres, ada yang mengalami ketakutan, kecemasan. Kadang saat situasi genting, kita butuh untuk tenang bersama dengan orang baru,” ujarnya.

Ia bersyukur karena dengan adanya rumah perlindungan para suster dan para korban kekerasan bisa hidup bersama dan saling membagi pengalaman dan saling menguatkan dengan menciptakan kondisi yang nyaman.
“Kami hidup dan berada berada mereka. Kami tidak hanya menerima mereka sebagai keluarga tapi ikut merasakan bersama keluh kesah dan kesusahan mereka,” ujarnya.
Di rumah perlindungan, mereka selalu hidup gembira dan serta hidup saling membantu, bergotong royong. Selain itu, ada sejumlah sekolah seperti SMKS Stella Maris, SMPK St. Ignatius Loyola, SD dan SMP Yosefa yang ikut bekerjasama untuk saling memberikan perhatian dan perlindungan terhadap anak-anak ketika berada di sekolah.
Menurut Suster Rita, perempuan dan anak-anak, korban kekerasan yang ditampung di rumah perlindungan berasal dari beragam latar belakang tanpa membedakan status social atau agama. Di rumah perlindungan, semua perempuan dan anak-anak diperlakukan setara dengan satu tujuan yaitu memberilkan perlindungan dan pemulihan dari rasa takut atau trauma melalui berbagai kegiatan seperti sharing pengalaman iman dan rekoleksi. [vin/fgc]