BUMI MANUSIA

Pesona Inkulturasi Dibalik Upacara Adat Penti Weki Peso Beo

Oleh : Maria M Pankracia dan Kornelis Rahalaka

Senja baru saja berlalu, angin malam mulai bertiup lembut. Pohon-pohon cengkeh yang berdiri kokoh di jalur jalan menuju Kampung Rawuk, Desa Golo Lewe, Kecamatan Kuwus Barat, bergoyang perlahan di awal musim hujan ini.

Suasana di kampung mungil nan sunyi itu tak seperti hari-hari biasanya. Ratusan warga tampak berbondong-bondong menuju mbaru gendang (rumah adat) yang berdiri anggun di tengah kampung. Hari itu, mereka berkumpul untuk merayakan pesta adat yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh warga kampung yakni penti weki peso beo.

Bagi sebagian besar etnis Manggarai, penti weki peso beo adalah perayaan akbar yang paling dinantikan oleh seluruh warga kampung. Sebagaimana biasa, momen seperti ini, semua warga kampung, baik yang menetap di kampung maupun mereka yang tinggal di luar kampung atau di tanah rantauan ikut hadir untuk merayakan ritual adat ini secara bersama.

Maklum, penti weki peso beo adalah momen untuk saling bersilaturahmi, serentak untuk mempererat relasi di antara warga kampung. Upacara penti merupakan warisan luhur nenek moyang mereka. Upacara ini biasa diadakan oleh komunitas adat yang masih memiliki hubungan keturunan.

Ritual penti weki peso beo dilakukan sebagai ungkapan syukur atas hasil panen dan atas seluruh perjalanan hidup mereka selama setahun, sekaligus memohon berkat pada Sang Pencipta Mori Agu Ngaran dan leluhur untuk mereka senantiasa dijaga dan dilindungi dalam perjalanan hidup di tahun-tahun mendatang.

Bagi orang Manggarai, penti dihayati sebagai momen spesial guna menjalin tali silaturahmi dan memupuk perdamaian diantara sesama warga kampung (beo).Tak heran, pada setiap acara penti, semua warga kampung datang berkumpul untuk merayakannya. Kala itu, seluruh warga kampung akan diliputi suasana sukacita dan damai.

Situasi ini biasa diekspresikan dalam berbagai ungkapan sastra Manggarai atau lasim disebut go’et Manggarai seperti penti weki-pe’so beo, reca rangga-wali ntaung; na’a cekeng manga curu cekeng weru (ucapan syukur kepada Tuhan  dan para leluhur karena telah berganti tahun, telah melewati musim kerja yang lama dan menyongsong musim kerja yang baru).

BACA JUGA:  Mgr Maksimus Regus : “Manusia Sedang Kehilangan Hati”

Seperti halnya upacara-upacara adat pada umumnya, penti mengandung pesan-pesan moral-spiritual yang mengatur mengenai hubungan manusia dengan Sang Pencipta, hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan alam semesta. Dapat dibilang perayaan adat penti memiliki dimensi vertikal, horizontal dan sosial.

Dimensi vertikal yakni sebagai ucapan syukur kepada Tuhan (Mori) dan kepada para leluhur (Empo) yang telah meninggal dunia. Pencipta dan pembentuk (Mori Jari Agu De’de’k) yang harus disembah dan dimuliakan. Menghormati Tuhan sebagai sumber hidup dan penghidupan manusia. Orang Manggarai mengakui kemahakuasaan Allah dan mereka tak lupa bersyukur kepadanay serta kepada para leluhur (empo) yang telah mewariskan tanah (lingko) dan harta kekayaan yang telah leluhur berikan kepada mereka.

Upacara penti sendiri mencakupi banyak ritus dan banyak acara. Seperti mbata, sanda, libur kilo, barong lodok, barong wae, manuk kapu yang kesemuanya merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak bisa dipisahkan satu sama lain. Karena itu, penti bukan sekadar perayaan seremonial belaka. Sebaliknya, penti memiliki nilai-nilai sosial dan spiritual yang sangat tinggi.

Perayaan ekaristi pada puncak upacara adat penti weki peso beo.(Foto:Kornelis Rahalaka/Floresgenuine)

Penti Weki Peso Beo dan Ekaristi Kudus Orang Katolik

Penti weki peso beo sendiri mengandung nilai dan makna yang sedikit bergeser. Selain sebagai momen untuk membersihkan diri, memperbaiki diri dan komunitas, mempersatukan, menguatkan dan rekonsiliasi atau perdamaian, juga sekaligus memohon ampunan dan berkat Tuhan dan leluhur untuk perjalanan hidup pada tahun-tahun mendatang.

BACA JUGA:  Isi Deklarasi Istiqlal yang Ditandatangani Paus Fransiskus dan Imam Besar Nasaruddin Umar

Tak hanya itu, dalam arti yang lebih luas, penti bertujuan untuk membersihkan tanah, meremajakan tanah, lingkungan agar tanah dan lingkungan alam sebagai sumber hidup dan penghidupan dapat memberikan hasil yang berlimpah. Itu sebabnya, orang dilarang menebang hutan, diimbau untuk selalu menjaga sumber mata air dan memelihara tanah atau lingko agar tanah, air dan hutan terus memberikan penghasilan dan menjadi sumber penghidupan bagi umat manusia.

Demikian pula, peso beo dilakukan guna ‘menajamkan’ dan ‘mengasa’ melalui cara yang elegan agar warga kampung atau komunitas dibersihkan dan dikuatkan kembali oleh karena adanya dosa atau kesahalan yang telah dilakukan oleh warga kampung. Penti peso beo juga bertujuan untuk membangun kembali relasi sosial yang retak, serentak memohon kerahiman Tuhan untuk mengampuni segala dosa yang telah dibuat.

Upacara penti dengan beragam ungkapan dan variasi, sesungguhnya merupakan perayaan tahun baru dan puncak dari seluruh perjalanan kehidupan teristimewa bagi para petani. Penti dirayakan untuk memuji Tuhan dan leluhur atas berkat dan perlindungan selama tahun yang telah lewat.

“Kita memohon syukur dan mohon perlindungan. Kita mohon berkat untuk pekerjaan dan perjalanan hidup kita di tahun baru dan tahun-tahun yang akan datang,” demikian Romo Laurens Saya, Pr dalam perayaan ekaristi di Kampung Rawuk, Jumad, 20 Oktober 2023.

Perayaan ekaristi merupakan puncak dari seluruh rangkaian kegiatan penti. Perayaan ekaristi bagi orang Katolik merupakan puncak sekaligus pusat kehidupan itu sendiri. Penti weki peso beo mengajak semua orang untuk memperbaiki diri, untuk hambor dan rekonsiliasi melalui sikap saling memaafkan diantara sesama.

Penti adalah juga pesta persatuan, persaudaraan baik dengan sesama, alam, dengan arwah orang-orang yang telah meninggal dunia dan dengan Tuhan sendiri. Melalui dan dengan penti diharapkan dapat membangun sosiliditas dengan sesama, alam lingkungan, baik secara pribadi maupun kolektif demi mempererat hubungan dengan diri sendiri dan dengan sesama.

BACA JUGA:  Kardinal Ignatius Suharyo : Thabisan Uskup, Peristiwa Iman yang Agung

Perayaan penti dan perayaan ekaristi mempunyai hubungan yang sangat erat lantaran kedua ritus ini memiliki nilai-nilai yang sama dan sejalan baik nilai sosial maupun spiritual. Dalam penti misalnya ada ritus pembagian makanan kepada masing-masing orang atau klen demikian pula dalam ekaristi, ada pemecahan roti dan pembagian sebagai kenangan memorial bagi Tuhan dan leluhur.

Upacara penti memiliki urutan dan tahapan-tahapan yang terstruktur dan jelas, demikian pula dalam ritus perayaan ekaristi kudus. Dalam ritus adat penti dan misa ekaristi juga memiliki pesan-pesan perutusan dan tanggung jawab yang mesti dibangun secara bersama.

Pastor Lorens Saya, Pr saat merayakan ekaristi pada acara puncak penti.(Foto:Kornelis Rahalaka/Floresgenuine)

“Karena itu, penti harus terus dilestarikan. Budaya penti harus dilestarikan karena merupakan sesuatu yang baik,”tambah Romo Laurens.

Meskipun penti adalah budaya khas etnis orang Manggarai, tetapi nilai-nilai penti bersifat universal atau umum. Untuk itu penti mesti terus dilakukan dan dilestarikan dari waktu ke waktu. Dan perayaan ekaristi juga harus tetap dijalankan sebagai puncak perayaan penti karena sebagian besar orang Manggarai beragama Katolik.

Perayaan adat penti dan ekaristi merupakan peristiwa inkulturasi. Hal ini sejalan dengan Sinode Antena yang dihadiri Uskup Ruteng, Mgr Van Bekum. Ia meletakan dasar budaya penti dan dere serani sebagai buku yang digunakan dalam perayaan-perayaan yang bernuansa inkulturasi di Manggarai.

Uskup Van Bekum telah meletakan dasar inkulturasi yang luar biasa dan pertama di bumi congka sae Manggarai raya. Itu sebabnya, tak heran, setiap perayaan penti, selalu diwarnai suasana kemeriahan seperti atraksi caci, dading, de’re, sanda agu mbata dan lagu-lagu tradisional lainnya.*

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button