PARIWISATA

Pengembangan Pariwisata Flores, Mengurangi Ketimpangan di Nusa Tenggara

FLORESGENUINE.com- Pembangunan kepariwisataan Flores bertujuan mengurangi ketimpangan yang terjadi di kawasan Nusa Tenggara dalam berbagai dimensi, baik kemiskinan, indeks pembangunan ekonomi inklusif, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kesehatan, pendidikan dan berbagai indeks pembangunan lainnya.

Ditengarai bahwa hambatan pembangunan di Nusa Tenggara Timur (NTT) antara lain, masalah sumber daya manusia, ketenagakerjaan, infrastuktur dasar, kemandirian fiscal, kebencanaan, kemandirian pangan dan lain sebagainya. Hal ini terungkap dalam webinar series bertajuk: Potensi dan Strategi Pengembangan Wisata Religi Katolik di Pulau Flores yang di gelar, Jumad (17/5/2024).

Myra P Gunawan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) selaku salah satu pembicara menjelaskan, pengembangan pariwisata Flores diharapkan dapat menjadi entry point untuk mengurangi kesenjangan antara Bali – Nusa Tenggara, dengan mengangkat bukan hanya daya tarik wisata alam, namun juga berbagai potensi lainnya di kawasan ini.

Sebagaimana telah tertuang dalam beberapa regulasi antara lain PP Nomor 50 tahun 2011 tentang rencana pengembangan kepariwisataan nasional di 50 DPN dan 88 KSPN serta 5 DPN di NTT termasuk 3 DPN terdapat di Flores. Pembagian wilayah koridor pariwisata ini berdasarkan Perpres Nomor 32 tahun 2011 dan Perpres 48 tahun 2014 serta RPJP 2025-2045.

Pengembangan pariwisata ini makin penting, mengingat makin ke timur, masih minim. Konsentrasi pertumbuhan masih di sekitar Labuan Bajo. Menurut Myra,  pengembangan pariwisata Flores, NTT menjadi alternatif pembangunan yang ramah lingkungan, terutama bagi daerah-daerah yang kurang subur untuk pertanian.

Pariwisata berkelanjutan merupakan alternative pembangunan, ketimbang mengembangkan tambang mangan dan kapur /batu gamping. Pembangunan kepariwisataan ramah lingkungan, baik alam maupun budaya dapat menjadi platform bagi komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim dengan memanfaatkan berbagai keunikan secara bertanggung jawab.

Selain itu, Flores memiliki berbagai sumber daya pariwisata termasuk non leisure resources yang tidak dikaitkan dengan business, tetapi dengan sejarah dan religi yang masih banyak yang belum termanfaatkan secara optimal, baik di daratan maupun di perairan.

BACA JUGA:  Kemenparekraf Ajukan Tambahan Anggaran Rp. 3 Triliun

Pengembangan pariwisata Flores juga untuk mengurangi beban Pulau Komodo dan Labuan Bajo sebagai destinasi super prioritas. Demikian juga untuk mengatasi kesenjangan di koridor Bali – Nusa Tenggara, dimana berbagai sektor lain tidak mudah dikembangkan.

Pariwisata juga menjadi solusi alternative atas berbagai persoalan yang dihadapi di wilayah ini seperti dapat mengurangi arus TKI dan migrasi penduduk ke Pulau Jawa dan daerah lainnya serta untuk menciptakan peluang kerja. Labuan Bajo sebagai pintu gerbang pariwisata dapat dimanfaatkan sebagai simpul distribusi wisatawan ke arah timur dalam koridor Bali-Nusa Tenggara.

Selain potensi wisata alam, salah satu potensi yang perlu dikembangkan adalah pariwisata religi di Flores yang dapat menjadi contoh pembangunan kepariwisataan berbasis masyarakat dan pembangunan masyarakat berbasis pariwisata.

Sejarah dan Semana Santa di Larantuka misalnya, mempunyai potensi yang sangat potensial untuk dikembangkan. Demikian pula jika diinvemtarisasi, masih banyak tempat-tempat ziarah yang dibangun oleh para misionaris/biarawan yang tentu saja sudah sangat lekat dengan masyarakat.

Sebagai gambaran bahwa ada sekitar 8 juta umat katolik di tanah air yang memiliki minat wisata khusus dan sekitar 100 juta berasal dari negara tetangga seperti 85 juta dari Filipina, lebih dari 20 juta dari India dan sekitar 2 juta dari Singapura serta  3 juta dari Malaysia.

BACA JUGA:  Pengembangan Destinasi Wisata Parapuar, Adopsi Filosofi Gendang One Lingko Pe’ang

Pariwisata religi merupakan salah satu jenis produk wisata yang dapat dikembangkan di Flores yang jika dikaitkan dengan budaya dalam arti yang lebih luas maka pariwisata budaya menyangkut berbagai objek religi yang dapat digolongkan sebagai pusaka budaya. Pariwisata budaya dalam kaitan dengan sejarah pariwisata budaya yang hidup saat kini dikaitkan dengan berbagai sisi kehidupan.

Pariwisata religi juga adalah bentuk pendidikan bagi wisatawan maupun bagi penduduk. Wisata edukasi terkait lingkungan alam, wisata edukasi terkait budaya, situs matamenge (manusia purba) , wisata edukasi untuk bidang teknologi pertanian dan lain sebagaimnya.

Peserta festival wisata religi Golo Koe di Labuan Bajo. (Foto : Kornelis Rahalaka/Floresgenuine)

Sementara itu, RD. Dr. Martin Chen, Pr memaparkan secara singkat tonggak sejarah Gereja Katolik di Flores yang dimulai dari kedatangan 3 misionaris Dominikan ke Solor pada tahun 1561 yang selanjutnya para tahun 1665 ditemukannya Bunda Maria Ranha Rosari menjadi ratu Larantuka. Selanjutnya tahun 1566 dua misionaris Dominikan tiba di Baga dan Sikka, Maumere.

Kemudian para tahun 1914, Pater Peter Petrus Noyen,SVD tiba di Ndona dan pada 27 Juni 1914 Flores masuk wilayah Prefektur Apostolik Kepulauan Sunda Kecil. Kemudian pada 17 Mei 1912, sejumlah 5 orang Manggarai dibaptis di Jengkalang, Reo, Manggarai. Selanjutnya,tahun 1951 Pusat Misi Flores di Larantuka, Ende Ndona dan Ruteng.

Adapun beberapa karya agung para yang dikembangkan oleh para misionaris di bumi Flores antara lain iman yang inkulturatif, iman katolik yang berakar dalam budaya lokal flores, dialog dan integrasi timbal balik yakni iman meresapi budaya dan budaya meresapi iman. Selain itu, berdasarkan pada sSpiritualitas Kekatolikan Flores, SDM Flores yang berkualitas, misi Gereja adalah misi kemanusiaan yang didasarkan pada peristiwa inkarnasi Yesus Kristus.

BACA JUGA:  Jelajah Taman Wisata Alam Laut “Tujuh Belas Pulau” Riung

Selain itu, dibidang pendidikan, dibangun Sekolah Rakyat, SDK dan Sekolah Guru OVO ( Opleidingsschool Voor Volks- onderwijzer, Larantuka 1913, Misi Manggarai yang diawali dengan pembangunan SDK tahun 1911 di Reo dan Labuan Bajo. Selanjutnya, pendidikan imam pribumi yakni Seminari di Sikka tahun 1926, di Mataloko tahun 1929, di Seminari Ledalero tahun 1937, Seminari Ritapiret tahun 1955, Seminari Hokeng tahun 1950 dan Kisol tahun 1955. Ada pun pendidikan vokasi yakni Ambachtschool dan sekolah pertukangan.

Dibidang kesehatan, disiapkan misionaris dan tenaga medis, pengadaan sarana prasarana medisseperti klinik, rumah sakit dan obat-obatan. Sekolah Perawat dibuka di Lela tahun 1952. Sementara dibidang kesejahtraan social ekonomi, gereja Katolik mengembangkan karya pertanian dan peternakan, pengadaan bibit dan ternak serta sarana prasarana dasar seperti air, irigasi, jalan, sekolah pertaniandan peternakan.

Sementara itu, terkait situs dan seni budaya religi terdapat Katedral, Gereja, Seminari, Gua Maria. Ritus prosesi devosi, ibadat inkulturatif seperti upacara penti demikian pula sarana dan perlengkapan lainnya seperti teks lagu, peralatan kultural religi.

Menurut Romo Chen, orientasi pengembangan pariwisata religi bercirikan holistic bukan hanya situs, ritus dan even tapi juga dengan penguatan nilai-nilai kekatolikan yang unik dan berkelanjutan. Di mana pariwisata yang berakar dalam kearifan local. [kis/fg]

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button