FLORESIANA

Mengenal Max Regus, Uskup Perdana Dioses Labuan Bajo

Oleh : Stefanus Wolo*

Saya mengenal Max Regus bulan September 1993. Ya, tiga puluh satu tahun lalu. Ketika itu menjelang pesta keluarga Seminari Tinggi Ritapiret Maumere. Max dan teman-temannya baru saja menyelesaikan Tahun Orientasi Rohani di Lela.

Mereka menjadi warga tingkat satu rumah Rita. Sekaligus mahasiswa semester satu STFK Ledalero. Saya sendiri berada di tingkat empat dan smester tujuh. Meski berbeda tiga tahun, kami merasa dekat dalam pergaulan. Max selalu menyapa saya KA’E atau kakak. Sapaan khas para junior kepada senior-senior rumah Rita.

Max sering berteman dengan dua adik dari Bajawa. Polikarpus Sola Ngete asal Rakateda dan Jack Huik dari kota Bajawa. Mereka akrab dan sering guyon santai dwi bahasa: Bajawa – Manggarai. Ketiganya tamatan Seminari Kisol dan selama di sana “sering bolos” ke kampung Kambe. Kambe adalah markas karyawan Seminari Kisol asal Ngada. Beberapa dari mereka berasal dari Wolorowa- Sarasedu. Sebut saja Bene Buku, Hendy Mite dan Karel Mite. Max suka meniru dialek mereka di depan saya.

Jack Huik pemuda ganteng, tenang, murah senyum dan anggun di lapangan bola kaki. Sementara Max dan Poly punya talenta sama: lawak, musik dan tulis menulis. Tentang lawak, sepertinya Max dan Poly hanya melawak saat tingkat satu. Setelah itu mereka “bertobat”. Rupanya karena aksi mogok tertawa para penonton saat lomba lawak. Penonton baru akan tertawa lucu beberapa hari kemudian. Warga Rita menamainya “Lawak Eskatologis”.

BACA JUGA:  Flores A Beautiful Island

Max dan Poly juga pemain Band angkatan. Max pemain gitar bas dan Poly gitar pengiring. Mereka bermain sangat tenang. Tanpa banyak gara gara dan improvisasi berlebihan. Rupanya mereka menganut prinsip gitaris Spanyol, Pepe Romero: “Gitar adalah alat meditasi untuk menyentuh Tuhan dan menemukan cinta di dalam dirimu”.

Ada satu hal yang lebih mengagumkan saya. Max sangat telaten mengembangkan intelektualnya. Dia banyak membaca dan suka berdiskusi. Max rajin menulis. Baik di majalah dinding, buletin Keuskupan, majalah rumah kita, Biduk dan majalah kampus STFK Ledalero. Sejak mahasiswa Max sudah sangat produktif. Saya suka membaca tulisan-tulisannya.

Setelah tahbisan imam tahun 1997 kami berpisah. Max menuju tempat TOP dan beberapa tahun kemudian ditahbiskan menjadi imam dioses Ruteng. Karena Keuskupan yang berbeda, kami jarang bertemu. Tapi saya setia menikmati gagasan-gagasan bernasnya di koran-koran lokal dan regional seperti Flores Pos dan Pos Kupang. Dan tak lupa karya tulisnya menembus koran nasional: Media Indonesia dan Kompas.

BACA JUGA:  Empo Mberong

Max juga menulis banyak buku. Sebut saja: Sketsa Nurani Anak Bangsa, Diskursus Politik Lokal, Republik Sialan, Leo Perik: Jembatan Peradaban, Omnia in Caritate dan Human Rights Culture in Indonesia: Attacks on the Ahmadiyya Minority Group. Max juga menulis di Jurnal-Jurnal internasional. Dan tak lupa disertasinya dari Tilburg Belanda: “Understanding Human Rights Culture in Indonesia”.

Melalui membaca Max mengenal dunia. Tapi dengan menulis dunia mengenal Max. Bagi saya, Max adalah salah seorang imam gereja lokal yang paling produktif. Di tengah keengganan menulis banyak doktor jebolan dalam dan luar negeri, Max hadir dan memberi nuansa baru yang memperkaya kasanah intelektual gereja kita. Sesuatu yang membanggakan! Saya ingat kata-kata Stephen King: “Jika kamu ingin menjadi penulis, kamu harus melakukan dua hal di atas segalanya: banyak membaca dan banyak menulis”.

Setelah lama tak berjumpa, kami kembali bertemu di benua biru Eropa. Musim panas 2014 kami dua bertemu di Seminari Tinggi SVD Sankt Agustin Jerman. Max kaget saya ada di sana. “Aehhhh, EJA-KAE ada di sinikah.  Oleee datang buat apa eeee?”

Saya menjawabnya: “Bapa Uskup Sensi minta saya jadi misionaris di Keuskupan Basel Swiss eee. Enam belas tahun keluar masuk kampung, turun naik bukit dan lembah. Sekarang harus belajar bahasa Jerman di sini. Napas satu satu eee. Jao malu ko kalau harus dikirim atau ditarik pulang”.

BACA JUGA:  Mungkinkah Sejarah akan Tercipta?

“Tidak apa apa eee eja-kae. Maju terus, pasti bisa. Atur saat serius dan santai secara seimbang. Saya tahu kae jago pesiar. Istilah Yossy Erot, selisih detik sudah menghilang ha ha”, kata Max pada saya. Saya heran karena sejak itu Max menyapa saya EJA-KAE.

“Biasanya ase Max menyapa saya kae Stef. Tapi mulai hari ini EJA- KAE. Kenapa ko”, tanya saya penasaran. Max menjawab: “Saudari saya menikah dengan orang Ngada-Nagekeo. Namanya Piter Daeng Parani(adik kandung Rm. Alex Dhae Laba, kebetulan ade kelas di Boawae dulu).

Semua yang datang dari arah Bajawa Nagekeo saya panggil Eja-Ka’e. Eja artinya ipar laki-laki dan ka’e artinya kakak. Biar cepat tergerak beli tuak dan bir bila saya butuh. Sesekali minum bir bersama yang dibeli oleh EJA-KA’E to. Bahasa Jerman pasti lancar, lulus ujian dan segera “lengkung” ke Swiss ha ha ha”. (Bersambung!)

Penulis adalah misonaris tinggal di Eiken AG Swiss, (Malam Jumat 21 Juni 2024).

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button