BUMI MANUSIA

Lo’i Glete Lewo: Ritual Adat “Pendinginan” Desa Boru Pasca Erupsi Gunung Lewotobi

FLORES GENUINE – Erupsi dahsyat gunung api Lewotobi Laki-laki pada Minggu, 3 November 2024 lalu menimbulkan luka dan duka yang mendalam. Lontaran material gunung api kembar ini menghancurkan atap-atap rumah warga. Merusak lahan pertanian dan tanaman-tanaman pangan, bahkan menelan korban jiwa.

Nyaris tak ada warga di seputaran Gunung Lewotobi yang luput dari amukan gunung api dengan ketinggian 1.585 kilometer di atas permukaan laut ini. Desa Boru merupakan salah satu wilayah yang terkena dampak. Erupsi memaksa masyarakat Desa Boru melarikan diri, mengungsi ke tempat yang aman. Masyarakat tepaksa harus tinggal di tempat pengungsian. Ada yang tinggal di posko-posko pengungsian yang disiapkan pemerintah dan sebagian ditampung di rumah-rumah keluarga.

Erupsi besar tanpa ada perkiraan sebelumnya membuat masyarakat berlari tanpa komando. Apalagi ledakan eksplosif itu terjadi di malam yang gelap. Dalam suasana yang mencekam, setiap orang berusaha mencari jalan masing-masing. Melarikan diri dari Boru untuk mencari tempat yang aman demi menyelamatkan diri dan keluarga.

Dua bulan lebih setelah ledakan dahsyat itu, kondisi Gunung Lewotobi Laki-laki kini berangsur-angsur pulih. Saat ini, status gunung sudah turun dari level IV (awas) ke level III (siaga). Radius zona aman pun diperpendek, dari 9 km saat erupsi, kini menjadi 5 km.

Walau belum sepenuhnya normal, masyarakat perlahan-lahan kembali ke rumah masing-masing. Satu per satu warga mulai pulang untuk memperbaiki dan menata rumah mereka yang rusak. Di Boru, saat ini, walau masih ada warga yang bertahan di tempat pengungsian, sebagian masyarakat telah pulang tinggal di rumah mereka.

Karena ketika lari saat erupsi Lewotobi dalam keadaan panik dan meninggalkan lewo tanpa ”pamit”, untuk kembali lagi ke lewo tidak boleh secara diam-diam. Sebagai masyarakat yang masih memegang teguh adat dan budaya, harus dilakukan acara adat ”pendinginan” kampung agar warga yang kembali bisa tinggal dengan aman di lewo Boru. Ritual adat ini dinamakan lo’i glete lewo.

Sabtu (11/1/2025) ritual adat pendinginan kampung Boru dilaksanakan di kampung lama Boru. Pagi itu, masyarakat yang telah kembali ke Boru berkumpul di kantor kepala desa Boru. Lalu bersama-sama Kepala Desa Boru, anggota BPD, tokoh adat, tokoh masyarakat menuju ke kampung lama Boru.

BACA JUGA:  Mgr Maksimus Regus : “Manusia Sedang Kehilangan Hati”

Perjalanan ke kampung lama Boru sangat menantang. Jalan yang menanjak cukup menguras stamina. Apalagi jalannya sangat licin karena diguyur hujan sehari sebelumnya. Perjalanan menjadi semakin lama karena harus hati-hati melangkah. Satu jam lebh menempuh perjalanan, akhirnya rombongan tiba di kampung lama Boru.

Suasana di kampung lama Boru sangat adem. Udaranya begitu sejuk. Di sini, di atas tanah lapang yang tidak terlalu luas, berdiri rumah adat lewo Boru. Di sekelilingi rumah adat ditumbuhi pohon-pohon besar yang rimbun. Di tempat ini semua ritual adat lewo Boru dilaksanakan.

Rumah adat ini berbentuk loteng dengan atap daun alang-alang. Bagian bawah berlantai semen kasar. Dindingnya dibiarkan terbuka. Lantai atas, tingginya satu meter lebih dan berlantai papan. Ruangannya dibagi dua bagian. Bagian depan berbentuk los dan dindingnya dibiarkan terbuka. Bagian belakang dibagi dalam dua bilik dan berdinding bambu.

Dalam acara adat pendinginan kampung Boru, setiap warga yang datang membawa satu buah kelapa muda dan sebutir telur sebagai bahan ritual. Selain itu, ritual ini memerlukan satu ekor babi. Ritual adat ini dipimpin oleh tua adat Desa Boru, Bapak Dak Iri.

BACA JUGA:  Uskup Agung Ende Pimpin Misa Syukur Dies Natalis Uniflor

Ritual pertama dilaksanakan di lantai bawah rumah adat di tiang kanan bagian depan. Ritual selanjutnya dilaksanakan di lantai atas rumah adat bagian depan. Sebelum ritual di dalam rumah adat dilakukan, kelapa-kelapa yang dibawa dibelah untuk diambil airnya dan ditampung dalam sebuah baskom.

Setelah itu dilakukan ritual adat di depan rumah adat. Di sini seekor babi dikorbankan dengan sekali tebas. Darah dari kepala babi yang terpotong dicampur dengan air kelapa.

Menurut tokoh adat Desa Boru, Bapak Ben Liwu, ritual adat lo’i glete lewo dimaksud sebagai permintaan maaf kepada leluhur dan lewo Boru karena ketika gunung erupsi, masyarakat lari meninggalkan lewo Boru tanpa pamit.

Rumah adat, tempat masyarakat adat Boru melaksanakan ritual memberi makan kepada leluhur. (foto : Gerardus Kuma Apeutung)

Selain itu, ritual adat ini sebagai bentuk penyucian diri atas kesalahan pribadi, kesalahan dengan anggota keluarga dan dengan tetangga dan masyarakat sekitar.

”Melalui ritus ini, kita mengakui kesalahan atas alam atau Gunung Lewotobi dan memohon agar Lewotobi tidak meletus lagi,” Ben Liwu menerangkan.

Lebih jauh mantan kepala desa Boru ini menjelaskan bahwa ritual adat ini dilakukan dalam upaya berdamai dengan alam, terutama Gunung Lewotobi. Ritual ini juga untuk meminta leluhur agar selalu menjaga lewo Boru, masyarakat yang tinggal di Boru, lingkungan dan fasilitas publik yang ada di Boru.

Di akhir ritus lo’i glete lewo, Bapak Dak Iri berpesan agar masyarakat harus menjaga dan memelihara alam, terutama Gunung Lewotobi. Meletusnya gunung Lewotobi juga disebabkan oleh ulah orang yang tidak bertanggungjawab sehingga merusak hubungan baik dengan alam atau gunung.

BACA JUGA:  Gunung Lewotobi Kembali Muntahkan Abu Vulkanik Sejauh 9 Kilometer

” Kalau ke gunung dengan tangan kosong, pulang juga harus dengan tangan kosong. Jangan mengambil barang-barang yang ada di gunung untuk dibawa pulang. Kalau kita bawa pulang barang-barang dari gunung, dia marah dan meletus seperti sekarang ini,” kata Bapak Dak Iri.

Sebelum pulang, masyarakat yang mengikuti ritual adat makan bersama di dalam rumah adat. Hari sudah mulai beranjak sore saatnya rombongan turun dari kampung lama Boru. Setiap warga membawa pulang air kelapa untuk direciki di rumah dan halaman sekitar sebagai tanda ”pendinginan” dan ”pembersihan” diri dan lingkungan.

Erupsi Gunung Lewotobi, selain sebagai bencana alam, juga merupakan bencana budaya. Erupsi ini terjadi karena adanya pelanggaran terhadap tantanan adat dan budaya yang diyakini masyarakat setempat. Tatanan budaya tersebut berupa imperatif untuk menjaga relasi dengan makrokosmos.

Dalam lingkungan masyarakat, ada keariftan-kearifan lokal yang berhubungan dengan alam. Larangan tidak menebang pohon sembarangan, tidak boleh mengambil material dari gunung secara berlebihan adalah contoh kearifan lokal dalam membangun relasi yang baik dengan alam.

Pengabaian atas larangan tersebut, dapat membuat hubungan manusia dengan alam terganggu. Alam akan marah. Bencana alam adalah bentuk kemarahan alam itu.

Apabila bencana terjadi, upaya untuk memulihkan relasi dengan alam harus dilakukan. Ritual adat lo’I glete lewo dalam kepercayaan masyarakat Boru merupakan cara memulihkan relasi manusia dengan alam yang rusak. Ritual perdamaian Io’i glete lewo yang telah dilakukan masyarakat Boru diharapkan bisa mendamaikan gunung sehingga badai erupsi ini segera berakhir. [Gerardus Kuma Apeutung]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button