
Labuan Bajo, wajah Indonesia di mata dunia pariwisata semakin hari kian kehilangan martabatnya. Ditinggikan sebagai “destinasi super prioritas”, namun dalam kenyataan, kota ini hanya dijadikan tempat buangan dampak buruk industri pariwisata yang dikendalikan sepenuhnya dari pusat.
Dari Taman Nasional Komodo (TNK) hingga ke perairan pesisir, hotel, kapal-kapal wisata dan pelabuhan apung terus dibangun atas nama investasi dan kemajuan. Tapi siapa yang menikmati manfaatnya? Bukan rakyat Labuan Bajo. Bukan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Yang kami terima hanyalah tumpukan sampah, pencemaran laut, kemacetan dan harga tanah yang melambung tinggi mendorong masyarakat asli terusir dari ruang hidupnya sendiri.
UU No. 23 Tahun 2014 memotong habis kewenangan daerah. TNK dan kawasan pesisir bukan lagi tanggung jawab daerah, melainkan dikuasai langsung oleh kementerian di Jakarta. Tidak satu rupiah pun dari tiket masuk TNK atau izin operasional kapal wisata masuk ke kas Kabupaten Manggarai Barat. Padahal, segala risikonya kami yang tanggung.
Kami dijadikan penonton di tanah sendiri. Pemda tak bisa mengatur kuota kapal, tak bisa menarik retribusi bahkan tak bisa menolak jika dermaga apung dibangun di atas terumbu karang. Ini adalah bentuk kolonialisme baru eksploitasi sumber daya lokal atas nama nasionalisme dan pembangunan, tapi tanpa partisipasi lokal yang bermakna.
Lebih menyedihkan lagi, peraturan yang seharusnya melindungi lingkungan justru digunakan untuk menghalalkannya. UU No. 27 Tahun 2007 menyebutkan dengan tegas bahwa wilayah sepadan pantai tidak boleh dibangun, kecuali untuk konservasi dan fasilitas publik. Tapi aturan teknis seperti PP No. 21 Tahun 2021 dan Permen ATR/BPN No. 17 Tahun 2021 membuka celah bagi investor untuk membangun hotel, resort dan pelabuhan hanya dengan bermodal KKPRL dan AMDAL.
Inilah bentuk legalisasi kerusakan. Negara membiarkan kawasan paling rentan secara ekologis diubah menjadi objek wisata mewah, sementara nelayan lokal dilarang memasuki laut yang telah mereka jaga selama puluhan tahun. Hukum dibuat tidak untuk keadilan, tetapi untuk memfasilitasi kepentingan modal.
Ironi paling menyakitkan justru terjadi di Pulau Komodo. Di sana, masyarakat adat Komodo terus mengeluhkan tanah-tanah leluhur mereka yang kini telah dikapling dan diklaim sebagai kawasan investasi. Mereka tidak bisa lagi mengakses kebun, laut bahkan pekarangan rumah tanpa ancaman perizinan dan aparat.
Binatang komodo diberi ruang hidup seluas-luasnya, tetapi masyarakat yang telah hidup berdampingan dengan satwa itu selama ratusan tahun justru dikekang, dibatasi dan disingkirkan secara perlahan. Di kampung-kampung, komodo berkeliaran bebas, masuk ke halaman rumah, bahkan menggigit warga. Tapi siapa yang peduli?
Negara mengagungkan konservasi, tetapi mengabaikan kemanusiaan. Setiap tahun ada warga digigit komodo, namun tak ada fasilitas kesehatan yang memadai di pulau. Sekolah pun tidak disediakan oleh negara. Anak-anak dari Pulau Komodo terpaksa menumpang hidup di Labuan Bajo hanya untuk bisa bersekolah, membayar kos dan kebutuhan harian yang tak murah sementara wisatawan bisa masuk pulau dengan kapal mewah dan fasilitas eksklusif.
Apa arti pembangunan jika rakyat asli terusir dari tanahnya sendiri? Apa arti konservasi jika hanya digunakan untuk membungkam suara masyarakat adat? Kami tidak anti pariwisata, tapi kami menolak model pariwisata yang eksploitatif, diskriminatif dan tidak adil secara fiskal maupun ekologis.
Labuan Bajo dan Pulau Komodo tidak boleh hanya menjadi etalase dunia. Ia adalah ruang hidup rakyat Manggarai Barat dan seharusnya menjadi sumber kesejahteraan, bukan penderitaan. Jika pusat ingin tetap mengambil alih semua kewenangan, maka pusat juga harus bertanggung jawab atas kerusakan dan ketidakadilan yang timbul.
Tuntutan Kami Jelas
Pertama, hentikan pembangunan di wilayah pesisir dan sepadan pantai yang melanggar prinsip perlindungan ekosistem.
Kedua, adanya kerja sama resmi antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten dalam pengelolaan kawasan konservasi dan wisata.
Ketiga, mekanisme distribusi pendapatan yang adil dari sektor pariwisata konservasi kepada kabupaten.
Keempat, perlindungan hukum atas hak masyarakat adat dan masyarakat pesisir untuk tetap hidup dan mengakses laut, tanah dan ruang sosialnya.
Kelima, penyediaan layanan dasar pendidikan dan kesehatan di pulau-pulau konservasi sebagai bentuk kehadiran negara.
Jika suara kami terus diabaikan, maka jangan salahkan rakyat jika akhirnya bergerak. Karena ketidakadilan, jika dibiarkan terlalu lama akan berubah menjadi perlawanan.
Labuan Bajo bukan tempat buangan. Pulau Komodo bukan kandang konservasi semu. Keduanya adalah tanah rakyat dan kami akan menjaganya dengan segala daya yang kami punya. *[Kanisius Jehabut]