Dunia menenun sudah ia geluti sejak masih berusia remaja. Meri Lamanele, perempuan murah senyum, kelahiran Lembata, 48 tahun lalu ini dikenal sebagai salah satu penenun handal sekaligus aktivis sosial yang bergerak dibidang Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan pemberdayaan perempuan.
Selain menjalani aktivitas keseharian sebagai penenun, ibu dua anak ini juga mendedikasikan diri dan sebagian waktunya untuk melatih ibu-ibu terutama para gadis remaja yang berminat di dunia tenun tangan.
Ibu Mery, demikian sulung dari empat bersaudara ini biasa disapa mengatakan bahwa menenun bukan sekedar untuk mendapatkan uang untuk memenuhi kehidupan keluarga dan meningkatkan ekonomi rumah tangga tetapi lebih dari itu, menenun adalah upaya kita melestarikan serentak mempertahankan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita secara turun temurun.
Kisah perjalanan hidup yang dilakoni oleh Ibu Mery boleh dibilang penuh onak dan duri. Setelah menikah dan melahirkan kedua anaknya, ia bersama suami sempat merantau ke Pulau Batam, di Kepulauan Riau guna mengadu nasib. Mereka habiskan belasan tahun untuk mengais rejeki di tanah rantauan, sebelum memutuskan untuk pulang ke kampung.
Suka dan duka datang silih berganti dihadapi dengan sikap tawakal oleh keluarga kecil selama mereka mencari nafkah di tanah perantauan. Namun, berkat ketekunan dan kerja keras akhirnya membuahkan hasil pula. Uang dari hasil jerih payah mereka, selain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga juga untuk membeli tanah dan membangun sebuah rumah sederhana.
Seiring perjalanan waktu, tantangan demi tantangan terus datang menerpa kehidupan keluarga mereka. Kondisi kian parah ketika bencana pandemi corona datang menghadang di awal tahun 2020 silam, ikut membuat kehidupan rumah tangga semakin terpuruk. Keadaan ini membuat ia dan keluarga memutuskan untuk pulang ke kampung halaman mereka di Desa Bobokerong, Kecamatan Nagawutung, Kabupaten Lembata.
Di kampung ini pula Ibu Mery dan keluarga mulai membangun usahanya dari bawah. Dengan sumberdaya yang sungguh amat terbatas ia memulai usahnya dengan berjualan pakaian keliling dan menenun. Usahanya mulai perlahan berkembang dan dengan modal seadanya, ia mulai membangun sebuah rumah makan sederhana yang terletak di tepi pantai, di pinggiran jalan trans Lewoleba-Loang.
Warung sederhana itu pun perlahan mulai ramai dikunjungi warga terutama tamu-tamu yang melakukan perjalanan. Di tempat ini, ia sajikan beragam masakan khas antara lain, kripik pisang, bakso, ubi rebus dan ikan bakar. Di lokasi yang berada hanya beberapa meter dari bibir pantai berpasir putih ini pula, ia bersama kelompok dampingan beraktivitas menenun sambil melayani para tamu yang datang.
Ketekunan dan kerja keras merupakan modal dasar demi meningkatkan pendapatan keluarga dan kemajuan usaha. Inilah prinsip yang selalu ia pegang teguh dalam menjalankan karya dan usahanya. Untuk meningkatkan omset penjualan dan agar produk jualan laku dipasaran, ia selalu mengedepankan kwalitas atau mutu tenunan. Ia tidak mau pelanggan kecewa atau tidak percaya lagi pada produk usahanya.Itu sebabnya, kualitas produk dan pelayanan sangat ia perhatikan.
Selain itu, dalam berusaha apa saja, komunikasi dan relasi menjadi hal yang penting dibangun. Relasi dengan banyak orang adalah kunci kesuksesan dalam berusaha. Apalagi, di era teknologi digital seperti selarang ini, Ibu Mery mengaku, dunia terasa kecil sekali karena orang begitu mudah dan cepat berhubungan dengan orang lain pada waktu dan tempat yang berbeda.
“Saya tidak pernah malu berjualan apalagi berkomunikasi dengan orang lain,”ujar Ibu Meri yang merasa dimudahkan oleh kehadiran teknologi komunikasi seperti facebook, WhatsApp dan jejaring media sosial lainnya.
Bagi Ibu Meri, memiliki banyak teman itu sangat baik. Apalagi, ketika seorang harus terjun di dunia bisnis. Kita bisa mempromosikan produk-produk kita dengan sangat mudah. Kita bisa menjual produk kita tanpa kita harus ke pasar atau bertemu muka dengan orang lain. Kita bisa bertransaksi lewat internet atau situs-situs yang tersedia di media sosial.
Ia mengaku, usahanya mulai berkembang berkat kerjasama dengan banyak pihak. Selain melayani pelanggan, ia bersama kelompok dampingan sering mengikuti iven-iven pameran di beberapa daerah baik ditingkat daerah maupun di luar daerah. Seperti pada ajang Fetival Golokoe di Labuan Bajo, Agustus 2023 lalu, ia bersama kelompok dampingan ikut mengambil bagian mempromosikan tenun ikat khas Lembata.
Bersama kelompok tenun ikat dampingannya, ia bertekad terus melestarikan dan memajukan tenun ikat di Lembata. Disadari bahwa menenun apalagi menenun dengan cara tradisional atau yang lasim disebut tenun ikat hampir mulai ditinggalkan oleh generasi masa kini dan masa mendatang.
Itu sebabnya, ia bertekad untuk terus membantu mendidik dan memberikan pelatihan kepada para generasi muda terutama kaum remaja agar terus menenun demi melestarikan salah satu warisan budaya leluhur. Ia berharap, perempuan-perempuan muda yang telah mendapatkan pendidikan dan palatihan mampu meneruskan karya agung ini hingga mewariskannya kepada anak cucu.
“Saya bangga bisa membantu teman-teman untuk terus mewariskan karya agung ini. Satu hal yang juga sangat penting adalah suatu waktu nanti mereka bisa berusaha sendiri dan mampu mandiri,” ujar dia dengan penuh harap.
Di sini, peran pemerintah dan lembaga swasta tentu sangat ia harapkan guna mendukung karya dan usaha yang telah mereka rintis dengan susah payah. Kerjasama dan dukungan semua pihak sangat diharapkan demi meningkatkan taraf hidup dan untuk meneruskan karya agung warisan para leluhur.*