FLORESGENUINE.com- Khasana bahasa Manggarai ada berapa onomatope (ungkapan yang berasal dari bunyi – bunyi tertentu ) itulah sastra alam.
Batu, karang, laut, tanah, tumpukkan tanah, kayu, gunung, ngarai, hutan belantara mempunyai sastranya sendiri, secara linguistik kita mengejanya bersadasarkan bunyi – bunyian, kebiasaan sebutan dimanapun kita berada pada kolom langit ini.
“Golo” dalam sebutan Manggarai pada umumnya di artikulasikan: Gunung, (baca: kata Manggarai) dan dialek sebutan itu sama mengandung pengertian tetap sama.
Sedangkan “Mori”, apakah bisa diartikan Tuhan ketika dipadat maknakan dalam sebutan “Golo Mori “.
Secara bentuk gunung identik dengan ketinggian pada umumnya, hanya berbeda pada puncak “Golo Mori” mempunyai model lekukan batu semirip sedang melakukan sesembahan menghadap barat.
Dan itu bukanlah Tuhan.
Hari yang teranyar adalah hari pemilik ritual yang rutin bagi sebagian penghuni pelanet ini. Minum kopi sambil membaca sejarah yang diperdebatkan.
Dari secangkir hitam pekat, mengalir sejarah panjang dan cerita yang juga terdiri dari kisah – kisah kusut sebutan “Mori” atau “Muri” dan layak dipadankan dari kata “Golo Mori”.
Golo Mori yang berada pada wilayah adat ” Lo’ok” dan kata Lo’ok abjad dipakai setelah huruf L adalah huruf O yang ada pada 5 huruf vokal. Lo’ok berarti pelabuhan sekaligus tempat persembunyian suku – suku Lo’ok mulai pada zaman rempa – rempa dan perang hingga imaji berpelukan.
Huruf ‘O’ persis lingkaran sebagai tempat persembunyian bagi suku Lo’ok dari malahbahaya akibat sebuah peperangan agar terselamatkan.
Demikian juga huruf yang dipakai dalam kata ‘Mori’ setelah huruf M huruf yang dipakai adalah O. ‘O’ dapat di identikkan orang yang sedang miditasi melakukan persembahan di puncak Golo Mori agar menyelamatkan kehidupan yang ada di sekelilingnya. Itulah orang Lo’ok.
Franz Kafka seorang penulis Jerman pernah berkata ” berikanlah kepadaku sebuah bacaan yang menghancurkan kebekuan di dada “. Bacaan itu adalah mencabik kata “Golo Mori” menjadi “Tana Mori”. Seperti yang terpampang pada penamaan Puskesmas Plus yang telah dibangun di Golo Mori.
Mencabik tulisan yang sudah dinarasikan panjang dalam sebuah peradaban adalah sama persis membuat suku Lo’ok yang dahulu dan sekarang Golo Mori punah dan tidak diakui lagi keberadaanya.
Kota adalah biangnya sebuah permasalahan, dan kalau sudah tau rasanya kentaki hidup latah naik gengsi. Genre ketenaran pingin merubah segalanya dan cenderung mengambil dari apa yang miliki.
Pemerintah juga dalam hal ini cenderung tidak melindungi kepunahan pranata sosial, tulisan – tulisan yang sudah menjadi baku dipakai orang Manggarai dari masa pra sejarah hingga kini.* [Syukur Abdulah]