Floresiana

Toleransi Receh, Persaudaraan Kokoh : Kisah dari Ende Hingga Bandung

Kota Ende, sebuah nama yang tak asing karena pernah menjadi tempat pengasingan Soekarno, merupakan kepingan berharga dari masa kecil saya. Di sanalah, saya merasakan indahnya persaudaraan lintas agama yang terjalin erat. Rumah kami, dikelilingi enam keluarga Muslim dan dua keluarga Katolik, menciptakan lingkungan yang kaya akan keberagaman sejak dini. Sejak kecil, saya telah diajarkan tentang harmoni, bukan sekadar teori, melainkan melalui pengalaman langsung yang autentik.

Seperti anak-anak pada umumnya, kami memiliki ruang temu yang akrab dan sederhana. Musim kemarau dihiasi warna-warni layangan yang kami adu dengan riang di langit kampung. Ada pula momen unik saat kami bermain bola bersama di pantai setelah Subuh di bulan Ramadan. Lucu memang, membayangkan bermain bola dalam remangnya dini hari!

Di lain waktu, lapangan gereja menjadi saksi bisu keakraban kami saat bermain sepak bola merayakan hari raya umat Kristiani. Kedekatan ini diperkuat oleh fakta bahwa rumah kami hanya sepelemparan batu dari empat lokasi bersejarah terkait Soekarno: rumah pengasingannya, Pohon Renungan, Serambi Soekarno di Biara SVD, dan Gedung Imaculata. Kedekatan ini menanamkan kebanggaan akan warisan sejarah kota kami, sebuah kebanggaan yang mungkin sama lazimnya dengan kenangan masa kecil siapapun.

Setiap hari raya tiba, tradisi saling mengunjungi adalah momen yang selalu kami nantikan. Sebagai anak-anak, tentu saja bukan murni silaturahmi yang menjadi motivasi utama. Natal atau Lebaran, kue-kue lezat dan minuman segar menjadi incaran utama kami. Maklum saja, sebagai anak kampung yang jarang jajan, momen hari raya adalah kesempatan istimewa untuk menikmati berbagai hidangan.

Ini adalah kenangan manis yang tak pernah lekang dari ingatan kami. Bahkan, momen tak terlupakan juga terjadi ketika saya diajak berbuka puasa, sering kali karena lupa waktu bermain hingga larut. Menikmati ubi cincang khas Ende dengan kuah ikan yang gurih selalu menjadi hidangan yang saya rindukan. Bagi kami orang Ende, hal ini adalah toleransi receh yang biasa, sebuah cerminan keakraban dan persahabatan yang tulus, tanpa perlu didramatisir.

Selepas SMA, saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Bandung, memilih Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Di sana, selain belajar di kelas, kami juga mendapatkan program mentoring keagamaan yang semakin memperkaya pemahaman. Di momen ini, banyak nilai-nilai agama diajarkan, yang menurut saya sangat baik karena masing-masing agama berlomba untuk menjadikan mahasiswa sebagai pribadi teladan. Namun, kadang kala ada beberapa hal yang terasa sedikit berlebihan, mengingat kampus sejatinya adalah ruang akademik; terkadang porsi belajar agama terasa lebih menonjol daripada akademiknya.

Selama masa kuliah, saya menjalin persahabatan erat dengan teman-teman dari berbagai daerah, seperti Jawa Barat, Medan, dan lainnya. Sebagai satu-satunya mahasiswa dari NTT di fakultas pertanian, kebiasaan bergaul sejak kecil di Ende membuat saya mudah beradaptasi dan berteman dengan siapa saja, tanpa memandang perbedaan agama. Periode ini juga bertepatan dengan maraknya kejadian yang memecah kebinekaan bangsa, seperti reformasi ’98, ajaran yang berkaitan dengan narasi negara agama, dan kerusuhan di beberapa wilayah, termasuk di Ende.

BACA JUGA:  NTT Menyambut Pemimpin Baru

 

Di tengah kondisi tersebut, pada suatu masa liburan tahun 1997, saya memilih untuk mendaftar sebagai anggota Resimen Mahasiswa (Menwa). Melalui Menwa, saya bahkan mendapatkan “gelar” kedua di kampus hingga tingkat provinsi Jawa Barat. Bagi saya, Menwa adalah representasi lingkungan masa kecil saya, sebuah miniatur Nusa Tenggara Timur, atau setidaknya Kota Ende, yang kaya akan keberagaman dan semangat persaudaraan yang kuat.

Semasa kuliah, ada suatu momen menarik ketika saya sering menghabiskan waktu di masjid kampus, menjumpai teman laki-laki yang biasanya setelah salat memilih beristirahat di sana. Karena sering terlihat di masjid, suatu hari seorang teman beragama Kristen mengajak kami pulang bersama. Jurusan kami terletak di ujung kampus, dan kami harus berjalan kaki sekitar 15 menit untuk mencapai gerbang.

BACA JUGA:  Ceritra Johni Asadoma, Jadi Kapolda NTT Hingga Gelar Event Internasional

Dalam perjalanan itu, saya mendapat “ceramah” tentang ajaran Kristen. Awalnya, saya mengira ini adalah sebuah pencerahan baru. Namun, lama-kelamaan saya merasa sedikit tersinggung karena dari apa yang disampaikan, seolah-olah saya tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali.

Saya kemudian bertanya mengapa dia melakukan itu. Dengan spontan, teman menjawab karena dia sering melihat saya berada di masjid. Saya terkejut. Hal ini menyentuh tradisi iman dalam keluarga kami. Lalu saya menjelaskan bahwa saya berasal dari keluarga Katolik yang taat dan dekat dengan gereja, namun juga memiliki kedekatan yang sama dengan keluarga Muslim sejak kecil.

Teman saya itu kemudian tersenyum malu, menyadari bahwa apa yang dia lihat berbeda dengan kesimpulannya. Pengalaman ini membuat saya menyadari bahwa di beberapa wilayah Indonesia, identitas agama masih menjadi perhatian yang cukup sensitif, berbeda dengan nuansa persaudaraan yang saya alami di Ende.

Cerita lain dari kampus, banyak teman yang pada masa itu akhirnya terpengaruh oleh pemahaman agama yang terlalu sempit. Beberapa aktivitas di kampus terkadang menimbulkan perdebatan sesama keyakinan, bahkan untuk hal-hal sepele seperti aturan dalam kelas. Saya sendiri tidak bisa berkomentar banyak, hanya teman-teman mereka yang seiman yang ikut berdebat. Memang agak geli, hanya untuk membahas hal-hal semacam itu.

Waktu berlalu, kami semua tetap menjalin pertemanan, namun dengan batasan yang lebih jelas. Ada yang berubah dan mulai jarang berinteraksi, sementara yang lain tetap berteman seperti biasa. Bagi saya, hal itu bukanlah masalah besar.

Masa kuliah pun berlalu dan bertahun-tahun kemudian, kami, teman-teman seangkatan, mengadakan reuni. Beberapa teman yang dulunya bersikap berbeda mengakui bahwa mereka kini telah kembali pada pemahaman yang lebih moderat, tidak lagi seperti saat masih muda. Bagi saya, perubahan sikap adalah hal yang wajar dalam perjalanan hidup seseorang. Namun, saya menyadari bahwa hal ini bisa menjadi berbahaya jika ada faktor pemicu yang tepat, seperti tekanan ekonomi, kepentingan politik, atau pemahaman keliru tentang ajaran agama lain. Dalam masyarakat yang kompleks, kita menjadi lebih rentan terhadap provokasi.

BACA JUGA:  Ketum PKN Anas Urbaningrum Safari Politik di NTT

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, nilai-nilai kekuatan apa yang tumbuh di masyarakat kita sehingga mampu menjadi perekat kebhinekaan ini? Saya percaya, meskipun iman seseorang bisa goyah karena faktor eksternal, namun apa yang dilakukan oleh para imam (pastor/romo) di NTT adalah pengalaman receh penuh nilai. Mereka senantiasa merangkul keluarga Muslim dengan berbagai cara. Meskipun mungkin terlihat sederhana, ketulusan hati mereka terasa begitu mendalam.

Kami orang NTT adalah orang-orang yang sederhana, menjunjung tinggi semangat persaudaraan. Mungkin kesulitan hidup di NTT telah mengajarkan kami arti pentingnya persatuan dan bagaimana kami bisa bangkit bersama. Seperti yang dikatakan Nelson Mandela, “Ketika kita bersatu, kita bisa mengalahkan kemiskinan. Ketika kita berbagi tanggung jawab, kita bisa menciptakan masa depan yang lebih cerah untuk semua.”

Kami di NTT memiliki semangat yang sama untuk keluar dari kemiskinan. Keteladanan para pastor ini menjadi contoh nyata bagi kami, anak-anak kampung dalam membangun dan memperkuat semangat persaudaraan kami.

Sebagai akhir cerita singkat ini, saya berharap persahabatan yang pernah saya rasakan di Bandung juga dapat dirasakan oleh teman-teman semasa di kampus kala itu. Mereka seperti saudara saya: Rojak, Yanyan dan Ramdhan sang pencinta Metallica, serta teman-teman lainnya. Semoga ruang temu itu terus ada tanpa sekat, khususnya bagi generasi anak-anak kita di masa depan.* [ Yakobus Stefanus Muda)

 

 

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button