
FLORES GENUINE – Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Kehutanan, Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) program bioregion Wallacea, Senin (23/6/2025) di Jakarta.
Program Bioregion Wallacea merupakan program perlindungan biodiversitas dan penggunaan lahan secara berkelanjutan pada lima lanskap di tiga provinsi yaitu Gorontalo, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Program yang akan berlangsung selama tujuh tahun itu didanai oleh GEF (Global Environmental Fund) dan dilaksanakan secara bersama-sama oleh UNEP (United Nations Environmental Programme) dan Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal KSDAE.
Penandatanganan PKS dilakukan bersama Ketua Yayasan Bambu Lingkungan Lestari (YBLL) Monica Tanuhandaru. Dalam Program Bioregion Wallacea, YBLL akan berperan sebagai pelaksana di tingkat tapak.
Tujuan utama program adalah melindungi keunikan biodiversitas dan mendorong penggunaan lahan secara berkelanjutan di lima lanskap utama. Kelima lanskap ini sedang mengalami berbagai tekanan terhadap kelestarian biodiversitas, mulai dari perambahan wilayah hutan, pembalakan liar, perburuan ilegal, hingga hilangnya habitat karena perluasan lahan pertanian dan perkebunan.
Dua lanskap pertama adalah Wilayah Biodiversitas Kunci Popayato-Paguat di Gorontalo dan kawasan Gunung Lompobattang di Sulawesi Selatan. Tiga lanskap program lainnya terletak di NTT, yaitu Wilayah Biodiversitas Kunci Todo-Repok di Kabupaten Manggarai, kawasan pegunungan Alor di Kabupaten Alor serta kawasan Sumba Timur di Kabupaten Sumba Timur.
“ Keberadaan lahan kritis serta praktik-praktik penggunaan lahan secara merusak merupakan salah satu penyebab utama perubahan habitat yang kemudian mengancam kelestarian biodiversitas, “ ujar Monica Tanuhandaru.
Masalah ini akan ditangani dengan memperkenalkan bambu agroekologi yang menyandingkan bambu dengan berbagai tanaman pangan dan tanaman komersial. Selain sebagai sarana rehabilitasi lahan dan perluasan habitat, bambu agroekologi juga akan menghasilkan produk-produk HHBK (hasil hutan bukan kayu) yang dapat memberikan insentif ekonomi bagi warga di sekitar wilayah perlindungan habitat.
“ Insentif ekonomi ini akan mendorong warga lokal dan komunitas adat untuk lebih giat lagi dalam menjaga hutan dan habitat. Kemiskinan merupakan salah satu penggerak utama kerusakan lahan dan habitat,” tambah Monica.
Program juga akan mendorong dan membantu pendirian inisiatif-inisiatif ekonomi ramah biodiversitas dan berbasis komunitas. Usaha-usaha bisnis ini akan memberikan nilai tambah pada HHBK sekaligus menjadi landasan bagi terciptanya ekonomi restoratif, sebuah sistem ekonomi yang menyejahterakan manusia tanpa merusak alam.
Lima lanskap lokasi program merupakan habitat sejumlah satwa dan flora endemik khas Bioregion Wallacea dan tidak dapat ditemui di daerah lainnya di dunia. Sejumlah spesies ini sudah berada dalam klasifikasi kritis (critically endangered/CR) maupun genting (Endangered/EN), sehingga berpeluang besar untuk punah jika tidak ada langkah-langkah perbaikan.
Satwa dan flora unik itu antara lain adalah Anoa Gunung (Bubalus quarlesi), burung Maleo (Macrocephalon maleo), dan pohon Angsana (Pterocarpus indicus) di Gorontalo; Tikus Lompobattang (Bunomys coelestis) dan burung Sikatan Lompobattang (Ficedula bonthaina) di Sulawesi Selatan.
Di NTT ada burung Celepuk Flores (Otus alfredi) dan Elang Flores (Nisaetus floris) di Manggarai; pohon Ampupu (Eucalyptus urophylla), burung Tiong Nusatenggara (Gracula venerata), dan burung Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) di Alor; pohon Cendana (Santalum album), burung Julang Sumba (Rhyticeros everetti) dan burung Kakatua Sumba/Jambul Jingga (Cacatua citrinocristata) di Sumba Timur.
Penyebab kerusakan lahan dan biodiversitas di tiga lanskap di NTT sangat beragam, mulai dari perambahan dan pembalakan liar, pengumpulan kayu bakar dan kebakaran semak, hingga perburuan liar karena tingginya permintaan pasar akan hewan langka dan telur burung Kakatua Jambul Kuning.
Untungnya, NTT juga memiliki potensi besar bagi pengembangan usaha-usaha ekonomi yang ramah biodiversitas dan berbasis komunitas. Termasuk diantaranya tenun dengan pewarna alam, single origin kopi, kenari, vanilli, aren, bambu, cendana, gaharu dan madu.
Program Bioregion Wallacea akan mendorong pengembangan potensi-potensi ini sehingga masyarakat lokal dan komunitas adat akan berperan aktif dalam melindungi alam dan habitat.
YBLL merupakan organisasi nirlaba yang mengkampanyekan bambu agroekologi sebagai solusi dalam mengatasi masalah ekologi (degradasi lahan, konservasi air, penyerapan karbon, mitigasi perubahan iklim), masalah ekonomi (kemiskinan pedesaan, energi terbarukan), maupun masalah sosial-budaya (keadilan gender, penguatan masyarakat adat, pelestarian kebudayaan lokal).
Saat ini YBLL bekerja di 287 desa di empat provinsi (Jawa Timur, Kalimantan Barat, Bali, NTT) bersama 9.112 penerima manfaat, termasuk 1.600 perempuan desa. Program YBLL telah menghasilkan 3,6 juta bibit bambu dan menanam 2,2 juta pohon bambu di lahan kritis dan sekitar sumber air. Impak ekologis penanaman ini diperkirakan mencapai 7 miliar liter air tersimpan dan 6,4 juta megaton CO2 eq. karbon terserap, setara dengan serapan karbon 246.000 hektar hutan tropis. *[red/fgc]