OPINI

Orang Katolik Bukan Kanibal

Oleh : Arnoldus Nggorong*

Sepintas dan dalam arti harafiah, kata-kata Yesus,seturut penulis injil Yohanes 6:55 “Daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman”, menimbulkan masalah.Bagi orang yang bukan Katolik, bahkan juga sebagian orang Katolik, masih belum percaya, dan malah mendebatkan kata-kata Yesus tadi.

Pada zaman Yesus pun, sekelompok orang ‘pintar’ Yahudi sudah mempersoalkannya. Ini menyata dalam teks Yoh. 6:52 yang berbunyi: “Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan.”

Pertanyaan klasik yang acapkali diajukan adalah bagaimana mungkin makan daging dan minum darah manusia Yesus? Bahkan yang paling ekstrim, bukankah tindakan itu lebih tepat dilakukan oleh binatang? Jika memang itu terjadi, maka orang itu disebut kanibal! Konsekuensinya adalah segala sifat buruk diatribusikan pada si pemakan daging dan peminum darah manusia tadi. Dirumuskan dalam pertanyaan yang negatif, tajam dan menantang, apakah orang Katolik itu kanibal?

Selanjutnya yang lebih tidak masuk akal lagi, bagi mereka, adalah hostia (roti) dan anggur yang dikonsekrir dalam perayaan ekaristi adalah sungguh-sungguh tubuh dan darah Kristus, Yesus, sendiri.

Untuk memahami kata-kata Yesus di atas mesti dibaca dalam konteks perutusan Yesus dan alasan mendasar perutusan-Nya. Allah Bapa mengutus Putera-Nya, Yesus, untuk menyelamatkan manusia. Alasan paling mendasar perutusan Yesus adalah kasih-kerahiman Allah yang tidak terbatas dan tak terselami.

Kedua point tersebut terangkum dalam teks Yoh. 3:16 yakni “Karena begitu besar kasih Allah akandunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

Sekali lagi, kata mengaruniakan di sini memiliki makna yang amat mendalam yang merujuk pada belaskasih-kerahiman Allah sebagai semata-mata inisiatif Allah sendiri tanpa jasa dan perbuatan baik manusia.

Seturut Georg Krichberger dalam bukunya “Allah Menggugat”, penulis injil Yohanes menggunakan kata sarx yang sama artinya dengan “daging”. Kata “daging” yang dimaksudkan adalah seluruh pribadi Yesus sebagaimana tampak dalam teks Yoh. 6:57: “Barangsiapa memakan Aku, akan hidup oleh Aku.”

Selanjutnya Kirchberger menjelaskan, penggunaan kata sarx hendak menekankan kebadaniahan Yesus dalam eksistensi konkrit, yang lahir sebagai manusia dan wafat di kayu salib.Dengan kata lain, dalam hubungan dengan salib, daging dan darah menunjuk pada sengsara dan wafat Yesus di kayu salib sebagai pemberian diri yang paling radikal dan ketaatan yang paripurna pada kehendak Bapa-Nya demi menyelamatkan manusia.

Namun Kirchberger mewanti-wanti pembacaan terhadap aspek kebadaniahan konkrit Yesus agar tidak jatuh dalam pengertian yang magis-otomatis. Itulah sebabnya iman mandapat aksentuasi yang penting dan mendalam (lih. Yoh. 6:47).

Penjelasan di atas, menurut Kirchberger, tidak bisa dipisahkan dari pembacaan teks Yoh. 6:32-51b,dalamnya Yesus mewahyukan diri sebagai “Roti Surgawi”. Yesus dalam eksistensi-Nya yang konkrit badaniah adalah roti yang benar-benar turun dari surga. Dalam formula refleksi teologis-biblis Kirchberger, Yesus adalah pribadi historis-konkrit yang memperagakan ide “Roti Surgawi” secara benar.

Ekaristi

Penjelasan di atas mengantar kita untuk berbicara tentang sakramen ekaristi. Sebab “Roti Surgawi”, “Darah dan Daging Yesus” adalah bagian inti dalam perayaan ekaristi yang tampak dalam rupa roti dan anggur.

Di dalam ekaristi, roti dan anggur yang dikonsekrir dalam Doa Syukur Agung (DSA) telah diubah berkat daya kuasa Roh Kudus menjadi sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus sendiri.Jadi roti dan anggur, yang awalnya bersifat lahiriah-simbolik, telah diubah hakekat dan substansinya menjadi sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus.

Penegasan tentang konsekrasi tampak jelas dan terang benderang dalam pengakuan iman seperti dikutip Georg Kirchberger sebagai berikut: “Setelah konsekrasi, roti dan anggur di atas altar tidak hanya merupakan sakramen, melainkan juga tubuh benar dan darah benar dari Tuhan kita Yesus Kristus, dan secara indrawi – tidak hanya dalam sakramen, melainkan dalam kebenaran – tubuh dan darah dipegang dan dipecah-pecahkan oleh tangan imam dan dikunyah oleh gigi orang beriman (DS 690)”.

BACA JUGA:  Mario Pranda: “Saatnya Mabar Butuh Perubahan Gaya Kepemimpinan”

Dalam nada yang sama perihal Roh Kudus yang memiliki daya mengubah dalam sakramen pembaptisan, St. Ambrosius mengatakan, “Tanpa Roh Kudus, air tidak membersihkan”. Dalam perspektif St. Ambrosius, kita dapat mengatakan, dengan daya-Nya, Roh Kudus mengubah roti dan anggur menjadi benar-benar Tubuh dan Darah Kristus pada saat konsekrasi.

Daya mengubah itu tampak jelas dalam kata-kata imam seraya memberi berkatdalam doa syukur agung: “Kuduskanlah persembahan ini dengan pencurahan Roh-Mu, agar bagi kami menjadi Tubuh (†) dan Darah Tuhan kami, Yesus Kristus.” (Lih. DSA II).

Makna Perayaan Tubuh-Darah Kristus

Berkaitan dengan perayaan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, Gereja (kaum beriman yang percaya kepada Kristus) benar-benar yakin dan percaya bahwa, lagi-lagi,roti dan anggur yang dipersembahkan dan dikonsekrir oleh kuasa Roh Kudus dalam perayaan ekaristi adalah sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus sendiri.

Keyakinan ini memiliki dasar pijaknya pada perkataan Yesus sendiri: “Akulah roti hidup yang telah turun dari Surga.” (Yoh. 6:51a). Selanjutnya Yesus sendiri pula memberikan jaminan akan hidup kekal bagi setiap orang yang makan roti itu. Yesus berkata: “Jika seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya.” (Yoh. 6:51b).

Hidup selama-lamanya yang dimaksudkan di sini adalah hidup bersama Yesus, Allah Putera, dan serentakpula hidup dalam kebersamaan dengan Allah Bapa dan Allah Roh Kudus. Kebersamaan dengan Ketiga Pribadi ini: Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus memperoleh kepenuhan dan keutuhannya dalam ekaristi. Dengan lain kata, dalam ekaristi Ketiga Pribadi ini hadir secara bersamaan dan berada dalam satu kesatuan. Jadi Ketiga Pribadi Allah Tritunggal Mahakudus bersatu dalam ekaristi.

Maka dari itu, bila kita menerima hosti Kudus (roti), kita menerima Tuhan Yesus, serentak dengan itu pula kita menerima Bapa dan Roh Kudus di dalam diri kita, dalam tubuh kita. Ketiga Pribadi ini bekerja secara bersamaan di dalam hidup kita.

Dengan demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa kita hanya menerima Tuhan Yesus dalam rupa roti, tanpa menerima Allah Bapa dan Allah Roh Kudus. Demikian pula, kita tidak bisa berkata, kita hanya menerima Allah Bapa, tanpa menerima Allah Putera dan Allah Roh Kudus. Atau juga mengatakan,kita cukup menerima Roh Kudus, tanpa menerima Allah Bapa dan Allah Putera.

Kebersatuan, kebersamaan dengan Ketiga Pribadi ilahi terungkap dalam kesaksian St. Faustina sebagai berikut: “Ketika aku bersatu dengan pribadi yang satu, aku juga bersatu dengan Pribadi yang kedua dan dengan Pribadi yang ketiga sedemikian rupa sehingga ketika kita bersatu dengan yang pertama, kita juga bersatu dengan kedua Pribadi yang lain sama seperti dengan yang pertama.” (BH. 911). (lihat tulisan saya “Menjadi Sahabat Roh Kudus” Poskupang.com 19/5/2024)

Di samping itu, dengan memberi perhatian secara istimewa terhadap Tubuh dan Darah Kristus pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, Gereja hendak mengajak setiap umat beriman untuk mencintai ekaristi. Sebab bila sudah mencintai ekaristi, maka dengan sendirinya ekaristidijadikan sebagai pusat hidup kaum beriman. Lagipula para Bapa Gereja melalui dokumen Konsili Vatikan II mengatakan,ekaristi adalah sumber dan puncak kehidupan kristiani (bdk. LG 11; SC 10).

Lebih dari itu, di dalam ekaristi Yesus sungguh hadir. Tentang kehadiran Yesus yang nyata di dalam ekaristi Paus Urbanus IV dengan tegas mengatakan: “Dalam Ekaristi, Kristus di dalam hakekat-Nya sendiri ada bersama kita.”Sebab ketika mengatakan kepada para rasul-Nya bahwa Ia akan naik ke Surga, Ia berkata, “Lihatlah, Aku akan menyertaimu selamanya, bahkan sampai akhir zaman” dan dengan demikian menghibur mereka dengan janji yang besar bahwa Ia akan tetap ada dan bersama-sama dengan mereka bahkan dengan kehadiran secara jasmani.” (Paus Urbanus IV, Transiturus de hoc mundo, 11 Agustus 1264).

Beberapa Kesaksian

Saya akan menceritakan beberapa kesaksianuntuk menunjukkan bahwa roti dan anggur dalam ekaristi adalah sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus.

BACA JUGA:  Kampanye Pangan Lokal

Pertama, kesaksian tiga anak saksi penampakan di Fatima, Portugal yakni Lucia, Fransisco, dan Jacinta.Ketika Malaikat Perdamaian menampakkan diri ketiga kalinya kepada tiga anak kecil itu, anak-anak sedang berlutut dan membungkukkan badan hingga kepala menyentuh tanah. Mereka mendoakan doa mohon pengampunan yang telah diajarkan oleh Malaikat Perdamaian.

Setelah mereka mendoakannya beberapa kali, seberkas cahaya yang luar biasa menyinari mereka. Ketika mereka menengadah, mereka melihat seorang malaikat. Dia membawa piala di tangan kiri, dan di atasnya terdapat Hosti Kudus. Tetes-tetes darah mulia Yesus dari Hosti Kudus jatuh ke dalam piala.

Lalu malaikat itu membiarkan piala dan Hosti Kudus melayang di udara dan ia berlutut di samping anak-anak itu. Mereka semua bersembah sujud di hadapan Yesus dalam Sakramen Mahakudus dengan dahi sampai menyentuh tanah.

Selanjutnya malaikat itu mengajarkan kepada mereka sebuah doa berikut ini: “Tritunggal Mahakudus, Bapa, Putera, dan Roh Kudus, aku bersembah sujud kepada-Mu dan mempersembahkan kepada-Mu, Tubuh, Darah, Jiwa dan Keilahian Yesus Kristus yang mahamulia, yang kini hadir dalam tabernakel di seluruh dunia, sebagai silih atas segala penghinaan, sakrilegi, dan sikap acuh tak acuh terhadap-Nya. Karena jasa-jasa yang tak terbatas dari Hati-Nya yang Mahakudus dan Hati Maria yang Tak Bernoda, aku memohon kepada-Mu pertobatan orang-orang berdosa yang malang.”

Dalam doa ini kita bukan hanya sekadar mengetahui, tapi lebih dari itu, kita menjadi sadar bahwa Yesus benar-benar hadir di dalam tabernakel. Jadi di mana ada tabernakel pasti di situ Yesus hadir.

Lebih dari itu, sikap yang ditunjukkan malaikan dan ketiga anak saksi penampakan itu di hadapan sakramen Mahakudus adalah sembah sujudhingga dahi menyentuh tanah, dan bukan sekadar sikap hormat.

Kedua, ketika Lucia sudah menjadi seorang suster, dia mendapatsebuah penampakan Allah Tritunggal Mahakudus yang luar biasa di kapela biara di Tuy, Spanyol. Suster Lucia menulis: “Tiba-tiba seluruh kapel diterangi oleh sebuah cahaya supernatural, dan di atas altar tampak sebuah salib dari cahaya, mencapai langit-langit. Dalam cahaya yang lebih terang pada bagian atas salib bisa dilihat wajah seorang pria dan sebagian tubuhnya hingga pinggang; di dadanya terdapat merpati bercahaya; pada salib itu terpaku tubuh manusia lain. Sedikit di bawah pinggang, saya bisa melihat sebuah piala dan sebuah hosti besar yang melayang di udara, yang padanya jatuh tetasan darah dari wajah Yesus tersalib dan dari luka pada lambung-Nya. Tetesan-tetesan tersebut mengalir turun melalui hosti dan masuk ke dalam piala.

Ketiga, kesaksian St. Faustina.Berikut kisahnya: “Pada misa tengah malam (25 Desember 1934 pukul 00.00), begitu misa dimulai, serta merta aku merasakan permenungan batin yang sangat mendalam; sukacita memenuhi jiwaku. Pada waktu persiapan persembahan, aku melihat Yesus di altar, tak tertandingi indahnya. Sepanjang waktu itu Sang Bayi Yesus terus memandang setiap orang, sambil merentangkan tangan-tangan-Nya yang mungil. Pada waktu Hosti diangkat, Kanak-kanak Yesus tidak memandang ke ruang kapel tetapi menengadah ke surga. Sesudah pengangkatan, Ia memandang kami lagi, tetapi hanya waktu yang singkat sebab Ia dipatahka dan dimakan oleh imam seperti biasanya” (BH 347).

Di bagian lain St. Faustina memberi kesaksian berikut: “Ketika aku membenamkan diri dalam doa, dalam roh aku dibawa ke kapel. Di sana aku melihat Tuhan Yesus bertakhta dalam monstrans. Pada tempat monstrans itu berada, aku melihat wajah Tuhan yang mulia, dan Dia berkata kepadaku, “Apa yang engaku lihat secara nyata, itulah yang dilihat jiwa-jiwa ini dalam iman. Oh, betapa menyenangkan Hati-Ku iman mereka yang begitu teguh! Meskipun tampaknya tidak ada tanda-tanda kehidupan-Ku di dalam Hosti Kudus, engaku tahu bahwa pada kenyataannya Aku hadir secara penuh dalam setiap dan masing-masing Hosti. Tetapi supaya Aku dapat berkarya pada jiwa, jiwa itu harus memiliki iman. O betapa menyenangkan Hati-Ku iman yang hidup!” (BH 1420).

BACA JUGA:  Kawasan Parapuar : Pusat Kreatif Hub Indonesia Timur Bagian Selatan

Selanjutnya St. Faustina menulis: “Dalam misa kudus, yang dipimpin oleh Pastor Andrasz, aku melihat Kanak-Kanak Yesus. Kedua tangan-Nya terulur ke arah kami, sementara Dia duduk di dalam piala yang digunakan dalam misa kudus itu. Sesudah menatap aku dengan tajam, Dia mengucapkan kata-kata berikut: “Sebagaiman engkau melihat Aku di dalam piala ini, demikianlah Aku tinggal di dalam hatimu.” (BH. 1346)

Penutup

Apakah di antara kita masih juga tetap belum percaya bahwa Hosti Kudus yang kita sambut dan makan dalam ekaristi sungguh-sungguh adalah Tubuh Tuhan Yesus sendiri? Apakah benar kita, orang katolik kanibal?Pertanyaan retoris-refleksif ini mengantar kita untuk menukik lebih dalam ke sanubari agar kita membaharui sikap dan perilaku serta cara pandang kita tentang ekaristi.

Patut diakui bahwa umumnya, orang katolik mengetahui,roti dan anggur adalah Tubuh dan Darah Kristus lewat ajaran-ajaran guru agama, katekis, kotbah dan buku-buku.Pengetahuan itu hanya sampai di situ. Jadi masih sebatas sebagai sebuah pengetahuan. Dengan kata lain, pengetahuan saja belumlah cukup untuk mengerti sepenuhnya tentang misteri ekaristi.

Itulah sebabnya dibutuhkan iman. Iman memunculkan kesadaran baru akan pemahaman yang mendalam akan misteri ekaristi. Aksioma St. Anselmus Canterbury: fides quarens intelectum, beriman agar mengerti, mengafirmasi pentingnya iman dengan tidak mengabaikan peran pengatahuan.

Senada dengan St. Anselmus, St. Agustinus merumuskan dalam bahasa filosofis-teologis soal pentinya iman demi mengatasi keterbatasan pengetahuan. “Dari waktu ke waktu kita tergagap ketika berbicara tentang Wujud Yang Kekal, sebab pengertian kita tidak sanggup menampung realitas Yang Kekal, kecuali jika kita dituntun oleh tangan-Nya selama kita berziarah di bumi,” demikan St. Agustinus.

Kesadaran baruberkat imanmenuntun kita untuk menaruh hormat dan lebih dari itu bersujud sembah kepada Yesus dalam sakramen Mahakudus yang hadir dalam tabernakel. Sebab tabernakel adalah takhta kerahiman Allah di bumi, tulis St. Faustina.

Bentuk penghormatan yang paling sederhana, yang dapat disebutkan di sini dan yang paling mudah dilaksanakan, salah satunya adalah sikap dan perilaku selama mengikuti perayaan ekaristi, sikap dan perilaku selama berada di dalam Gereja  yang di dalamnya terdapat sakramen Mahakudus, yang ditakhtakan di dalam tabernakel.

Dengan memilih bentuk penghormatan yang sederhana ini, saya tidak bermaksud mengabaikan bentuk penghormatan yang paling radikal sebagaimana tuntutan etis-injili yakni kesaksian seluruh hidup dan ini jauh lebih penting.

Sebab ini adalah tuntutan tertinggi yang diminta oleh Yesus sendiri yang tampak dalam kata-kata-Nya: “haruslah kamu sempurna sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna.” (Mat. 5:48). Patut diakui bahwa tidak semua orang kristiani mampu menjawabi tuntutan ini secara murni dan konsekuen.

Dengan ini hendak mengatakan bahwa tuntutan etis-injili yang paling radikal ini dapat dilaksanakan oleh setiap orang Kristiani. Dengan lain perkataan, setiap umat beriman memiliki potensi di dalam dirinya untuk mewujudkan tuntutan etis-injili ini di dalam kesaksian seluruh hidupnya.

Untuk dapat mewujudkan tuntutan ini, satu-satunya sumber kekuatan adalah Komuni Kudus.Di dalamnya terdapat banyak rahmat yang mampu menopang hidup kita.Tentang rahmat ini, Yesus sendiri mengatakannya kepada St. Faustina sebagai berikut: “Aku ingin menyatukan diri-Ku dengan jiwa-jiwa manusia; kesukaan-Ku yang paling besar adalah menyatukan diri-Ku dengan jiwa-jiwa.Ketahuilah, putri-Ku, ketika Aku masuk ke dalam hati manusia lewat komuni kudus, Aku membawa serta segala macam rahmat yang ingin Kuberikan kepada jiwa itu. Tetapi jiwa-jiwa itu bahkan tidak memperhatikan Aku; mereka meninggalkan Aku dan menyibukkan diri dengan hal-hal lain. Oh, betapa sedihnya Aku karena jiwa-jiwa itu tidak mengenali Sang Kasih! Mereka memperlakukan Aku sebagai benda mati.” (BH. 1385).

Selamat merayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus bagi segenap umat Katolik.

Penulis adalah alumnus STFK Ledalero, tinggal di Labuan Bajo

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button