BUMI MANUSIA

Napak Tilas Gereja Katolik Manggarai Barat, Berjalan Bersama Allah

FLORESGENUINE.com- Dalam rangka menyongsong kegiatan festival wisata religi, Golo Koe, media ini menayangkan artikel dengan judul: “ Napak Tilas Gereja Katolik Manggarai Barat, Berjalan Bersama Allah”.

Tulisan ini kiranya dapat menambah pengetahuan tentang sejarah awal penyebaran Agama Katolik di tanah Manggarai Barat, khususnya di wilayah Labuan Bajo dan sekitarnya. Tentu artikel ini belum sepenuhnya lengkap bahkan mungkin masih terdapat kekurangan sana – sini.

Namun demikian, tulisan sederhana ini dapat melengkapi referensi bagi para pembaca khususnya umat Katolik untuk mengetahui dan memahami sekilas kisah perjalanan Gereja Katolik di wilayah ini hingga memasuki era modern ini.

Selayang Pandang Situasi Awal Labuan Bajo dan Sekitarnya

Masyarakat Labuan Bajo dan sekitarnya merupakan masyarakat yang datang dari beragam suku bangsa di Indonesia. Jauh sebelum Indonesia merdeka, penduduk Labuan Bajo sudah ada. Banyak suku bangsa telah menetap di Labuan Bajo ini. Sebut missal, Suku Bajo, Bonerate, Butung, Selayar, Larantuka, Sumba, Bima, Jawa dan masih banyak lagi.

Meskipun berasal dari beragam suku bangsa dan agama dan kepercayaan yang berbeda-beda, namun penduduk Labuan Bajo dan sekitarnya hidup berdamping secara damai dalam semangat kekeluargaan. Mereka hidup dan berbaur dalam semangat kebersamaan sebagai sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Labuan Bajo dan sekitarnya, dulu dan kini adalah sebuah wilayah yang dianugerahi oleh Sang Pencipta, memiliki panorama alam yang indah baik di darat maupun di perairan/laut. Kekayaan dan keindahan alam telah menjadi magnet yang menarik banyak suku bangsa termasuk bangsa-bangsa asing untuk datang dan menetap di kawasan ini.

Mereka datang selain untuk mencari bafkah atau sekedar melancong. Mereka mengadu nasib demi berjuang menyambung hidup entah sebagai nelayan, petani, peramu atau sekedar melepas lelah. Namun dibalik mencari nafkah hidup, segelintir penduduk justru  terpanggil untuk mewartakan Allah dan terus berjuang berjalan bersama Allah.

Dalam catatan sejarah, orang-orang Katolik perdana di Labuan Bajo merupakan orang-orang yang berasal dari Larantuka, Flores Timur. Orang-orang Larantuka termasuk generasi awal yang menetap di Labuan Bajo sambil menyebarkan Agama Katolik. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang bekerja keras seperti menyelam, mengiris tuak dari pohon lontar, berburu dan meramu.

Awal Karya Misi Gereja Katolik di Labuan Bajo (1912-1920)

Dalam catatan sejarah, misionaris pertama yang mengunjungi orang-orang Katolik di Labuan Bajo asal Larantuka adalah Pastor Engbers, SJ. Selain merayakan Ekraristi Kudus bersama beberapa umat Katolik, sang misionaris ini berencana membuka Sekolah Rakyat (SR) sebagai tempat berkumpul sekaligus tempat belajar bagi anak-anak pada masa itu.

Pada hari Jumad tanggal 12 Januari 1912, Sekolah Rakyat secara resmi dibuka di Labuan Bajo. Sekolah Rakyat tersebut diberi nama Sekolah Rakyat Labuan Bajo. Kehadiran sekolah ini, menjadi langka awal karya misi di Labuan Bajo. Murid pertama adalah  anak-anak keturunan dalu dan gelarang dari Kempo, Bajo, Wontong, Welak, Boleng, Nggorang, Matawae dan Mburak.

Kapela Stella Maris Labuan Bajo. (foto : ist)

Maka dengan dibukanya Sekolah Rakyat ini, para guru pun didatangkan antara lain dari Larantuka seperti Guru Wolo, Guru Goris Fernandez. Guru-guru ini kemudian dibantu oleh guru-guru  agama atau yang lebih tepat disebut sebagai pemimpin doa seperti Bapak Begu, Bapak Klezang dan Bapak Yosef Ritha.

Pada tahun 1914, wilayah misi Manggarai mengalami perubahan yakni terjadi pengalihan tugas penggembalaan dari Serikat Jesuit kepada Serikat SVD. Maka pada tahun 1917, Pastor Willem Back, SVD selaku Inspaktur Sekolah Rakyat berkunjung ke Labuan Bajo dan mengadakan misa di sekolah rakyat tersebut bersama umat Katolik yang ada.

BACA JUGA:  Menteri Pariwisata Targetkan Tambah Jumlah Destinasi Super Prioritas

Pada hari Rabu, tanggal 5 September 1917, usai perayaan misa, Pastor Willem Back membaptis 6 orang menjadi Katolik. Ke-6 orang inilah yang menjadi cikal bakal dan lahan perdana menyemaian benih iman Katolik di bumi Labuan Bajo. Ada pun ke-6 umat yang dibaptis adalah : Damianus Timosugi. Ia adalah seorang dewasa keturunan Jepang. Yoana Floris dan Rofinus Manuel yakni dua anak asal keluarga Larantuka, Andreas Hadania, Felicia dan Yosef adalah 3 anak dari keluarga Suku Bonerate.

Pada masa itu, Labuan Bajo merupakan bagian dari wilayah Misi Paroki Rekas. Maka ke-6 orang yang baru dibaptis tersebut terdaftar di buku stambook Paroki Rekas dengan nomor urut atau nomor induk masing-masing tercatat pada nomor:  5,6,7,8,9 dan 10.

Pembangunan Kapela (1920 – 1940)

Pada tahun 1923, Uskup dan Vikaris Apostolik Mgr. X. Verstralen, SVD mengunjungi wilayah misi Labuan Bajo. Pada tahun tersebut, jumlah umat mulai bertambah menjadi 32 orang. Rekas merupakan pusat wilayah misi Katolik sejak tahun 1924. Dalam rentangan waktu 1920-1940, mulai dirancang pembangunan kapela dan rumah doa di Labuan Bajo.

Untuk memperlancar pelayanan pastoral, sebanyak 11 pastor misionaris secara bergantian mengunjungi Labuan Bajo untuk melayani misi pastoral. Para pastor datang dari Rekas dengan berjalan kaki melewati Kampung Longgo, sebagai tempat persinggahan yang kemudian ke Labuan Bajo.

Benih-benih iman Katolik pun terus bertumbuh kembang dengan cepat. Fenomena ini tentu menyemangati para misonaris untuk terus berkarya di Labuan Bajo. Maka pada tahun 1925, Pastor Paroki Rekas kala itu, Pastor Frans Eickman, SVD mulai merencanakan pembangunan kapela di Labuan Bajo sebagai rumah doa. Pembangunan kapela ini ditangani langsung oleh Pastor Frans Eickman dan dibantu oleh beberapa tukang seperti Bruder Isfridus SVD, Bapak Balawa dan Bapak Yosef Ritha. Pada tahun 1930 akhirnya berdirilah Kapela Labuan Bajo yang kemudian dibaptis dengan nama perlindung Roh Kudus.

Nama pelindung Roh Kudus dipilih karena diyakini bahwa seluruh proses pembangunan kapela dan karya pewartaan iman Katolik di wilayah ini tak terlepaspisahkan dan didorong oleh kekuatan Roh Kudus melalui keluarga-keluarga Katolik perdana di Labuan Bajo.

Selanjutnya, pada tahun 1931, Pater Frans Eickman diganti oleh Pastor Theo Tolen, SVD. Pastor Theo membeli rumah milik Daeng Baso dan tanah milik Pua Siti untuk pembangunan pastoran sementara. Rumah tersebut adalah rumah warga yang sangat sederhana. Rumah berbentuk panggung tersebut berlokasi di jalan masuk pelabuhan feri.

Di kemudian hari, tepatnya tahun 1977, lokasi tanah tersebut diserahkan kepada Pemerintah Manggarai untuk dimanfaatkan sebagai daerah pelabuhan laut. Pastor Theo Tolen kemudian digantikan oleh Pater Jack Geeraeds SVD yang memimpin dari tahun 1938-1940. Pater Jack lalu diganti oleh Pater Yosef Van Hoef, SVD dan berturut-turut dipimpin oleh Pater Yan Djuang, SVD dan Pater Gabriel Mite, SVD hingga Pater Yeremias.

Dalam rentang waktu 1938-1940, wilayah misi Rekas mengalami krisis gembala umat akibat diinternirnya para misionaris asal Belanda ke Pare-Pare, Sulawesi. Para misionaris ditawan di sana hingga ada yang meninggal dunia. Situasi demikian, menggerakan hati misionaris pribumi dan awam Katolik untuk terus melanjutkan karya agung Allah dengan setai melayani umat antara lain melakukan pembabtisan dan pelayanan pernikahan secara adat yang kemudian dikukuhkan oleh Gereja Katolik melalui berkat imam.

BACA JUGA:  BLU PPKK dan BPOLBF Perkuat Kerjasama Berkelanjutan

Ada pun beberapa “rasul awam” yang diberi kuasa untuk menjalankan perayaan iman dan sakramen pernikahan antara lain Bapak Yosef Djandu, Bapak Yosef Kolong, Bapak Bato Beribe dan Bapak Alo Abur. Sedangkan untuk pelayanan sakramen permandian dikuasakan kepada Bapak Mikael Ndaka, Bapak Mateus Solo, Bapak Anton Antong dan Bapak Yosef Rumpa.

Sesuai catatan dalam buku catalogus 2000, Labuan Bajo sebenarnya telah berdiri sebagai paroki sejak tahun 1955 bersamaan dengn Paroki Wangkung di Boleng. Hanya persoalan pokok pada masa itu yakni kekurangan tenaga imam. Sehingga Labuan Bajo masih dilayani oleh Pastor Paroki Wangkung. Kondisi ini dibuktikan dari adanya buku stambook tersendiri wilayah Nggorang, wilayah Mburak yang masih tersimpan rapih di Patoki Wangkung hingga tahun 1977.

Pada tahun 1949, ada upaya dari Pastor Theo Tolen, SVD untuk mengajak orang Nuri, Rekas dan Senge agar bertransmigrasi ke Labuan Bajo. Ajakan ini berhasil, sehingga orang Rekas dan Nuri kemudian bersedia bertransmigrasi lokal ke Duli yakni pada tahun 1957 dan selanjutnya pindah ke kampung Lancang dan menetap di sana sampai sekarang.

Transmigrasi lokal dan bersifat spontan ini berdampak pada semakin bertambahnya jumlah umat Katolik di Labuan Bajo. Maka setiap hari minggu, jika ada kunjungan pastor ke Labuan Bajo, umat berkumpul untuk merayakan ekaristi bersama.

Persiapan Pembentukan Paroki Roh Kudus Labuan Bajo (1955-1977)

Dalam periode 1955-1977, Labuan Bajo masih dilayani oleh Pastor Paroki Wangkung. Kunjungan pastor diatur sesuai wilayah Hamente yakni wilayah Hamente Nggorang untuk Stasi Labuan Bajo, Hamente Mburak di Sokrutung, wilayah Hamente Warloka di Kenari. Sedangkan Hamente Longgo merupakan wilayah penghubung antara Paroki Rekas dengan ketiga wilayah Hamente lainnya.

Pastor Paroki Wangkung secara berkala mengadakan kunjungan ke Labuan Bajo. Mereka adalah Pastor Jack Geeraeds, SVD, Pater Victor Stevko, SVD sedang dari Paroki Rekas, Pastor Yosef Van Hoef, SVD. Umat Katolik di Labuan Bajo dan sekitarnya terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Sebagian besar umat berasal dari berbagai wilayah seperti Kempo, Mburak, Nuri, Rekas, Tebedo, Ranggawatu, Warloka, Mbuhung, Mejer, Roe, Langgo dan Matawae.

Perkembangan Gereja Katolik yang signifikan ini terus mendapat dukungan baik dari hirarkis Gereja maupun umat awam. Beberapa lembaga pendidikan pun dibangun di beberapa tempat. Demikian pula para guru baik guru swasta maupun negeri disebarkan ke sekolah-sekolah untuk mengajar dan menyebarkan iman Katolik.

Agar penyebaran Agama Katolik semakin lebih terencana dan terkoordinasi dengan baik maka dibangun Sekolah Rakyat (SR) di Longgo pada tahun 1951. Disusul SDK Kenari, SDK Waemedu tahun 1967, SDK Sok Rutung dan SMP swasta dibawah naungan yayasan awam Katolik yakni SMP Tanjung Harapan yang dikemudian hari berubah menjadi SMP Negeri Labuan Bajo.

Pada tahun 1975, Majelis Gereja Katolik berubah menjadi Dewan Pastoral Gereja dengan mengemban tugas pastoral yakni melakukan koordinasi dengan para guru dan umat Katolik. Pada tahun 1973-1977 adalah rentang waktu persiapan Labuan Bajo menuju paroki mandiri.

Semua kebutuhan pastoral seperti air, anggur, lilin, hostia dan lain-lain untuk kepentingan liturgis gereja dibelanjakan oleh umat secara mandiri melalui hasil kolekte atau sumbangan sukarela lainnya.

BACA JUGA:  Charles Perkenalkan Produk Para Petani Mabar di Hadapan Konjen RRT dan Pengusaha asal Tiongkok di Bali
Pastor Yan Djuang, SVD, Pastor Paroki Roh Kudus Labuan Bajo pertama. (foto : ist)

Maka pada akhir tahun 1977, tepatnya pada Bulan Februari 1977, Pater Yohanes Djuang, SVD ditetapkan oleh Uskup Vitalis Jebarus, SVD sebagai Pastor Paroki Roh Kudus Labuan Bajo. Penunjukkan pastor paroki Labuan Bajo  sebagai pastor paroki perdana tentu menjadi titik awal karya pelayanan pastoral di paroki ini sekaligus dapat meringankan beban pelayanan yang sebelumnya ditangani oleh pastor Paroki Wangkung dan Paroki Rekas.

Pertumbuhan Umat Katolik Hingga Sekarang

Jejak Roh Kudus dalam perjuangan bersama Allah terus mengalami perkembangan yang pesat. Semula Roh Kudus adalah nama pelindung Kapela Labuan Bajo yang dibangun tahun 1930 atau yang lebih akrab dikenal sebagai Kapela Stella Maris. Kapela Stella Maris menjadi cikal bakal berdirinya Paroki Roh Kudus Labuan Bajo.

Sebagai pastor paroki Roh Kudus Labuan Bajo perdana, Pastor Yohanes Djuang, SVD mulai menata kehidupan berparoki dan umat Katolik Labuan Bajo. Dia menerapkan beberapa program seperti gereja mandiri yang kemudian dijabarkan dalam bentuk program-program mandiri, baik dalam bidang finansial, pembangunan fisik, pendidikan mauun pengembangan iman umat.

Tenaga-tenaga awam pun dipotimalkan. Berbagai pelatihan, pendidikan dan karya-karya pastoral lainnya terus dihidupkan. Peran awam mendapat perhatian serius kala itu. Dalam bidang finansial, digalakan peningkatan kewajiban umat berupa derma tahunan dan kolekte. Sistem pelayanan akomodasi seperti makan minum untuk pastor paroki ditanggung secara bergilir oleh umat melalui rantangan dari masing-masing kelompk umat basis.

Bidang pembangunan fisik pun tak kalah dilakukan dengan semangat keswadayaan yang tinggi dari umat Katolik. Beberapa gedung gereja mulai dibangun di beberapa stasi. Kapela sederhana yang dibangun kala itu antara lain Mrombok dan Sok Rutung. Sementara itu, dibidang pendidikan, beberapa sekolah dibangun seperti SDK Waemedu, SMAK Ignasius Loyola pada tahun 1983 dan beberapa sekolah katolik lainnya yang tersebar di sejumlah wilayah.

Pater Yohanes DJuang kemudian digantikan oleh Pater Agus Wathu yang memimpin dari tahun 1984-1997. Pater Agus melanjutkan program-program yang telah dirintis oleh Pastor paroki sebelumnya. Seperti peningkatan program pembinaan iman umat, pelayanan pastoral dan lain sebagainya.

Pastor Stanis Wyparlo,SVD, Pastor Paroki Roh Kudus Labuan Bajo yang gencar melakukan pembangunan beberapa gereja di Labuan Bajo dan sekitarnya. (foto : ist)

Pada tahun 1997, Pastor Agus Wathu, SVD diganti oleh Pater Stanis Wyparlo. SVD. Selain melanjutkan program-program pastoral terdahulu, dalam masa kepemimpinan Pastor Stanis Wyparlo, banyak gebrakan dilakukan antara lain merenovasi pembangunan gedung pastoran, pembangunan Aula Youth Center, pembangunan Kapela Merombok, Gereja Sok Rutung, Kapela Stasi Nggorang, Rehap Kapela Melo, Pembangunan Gua Maria Wae Lia, Gua Firdaus Labuan Bajo, renovasi gedung SDK Waemedu dan SDK Sok Rutung serta beberapa pembangunan  lainnya.

Dunia terus berputar dan berkembang maju, Gereja Katolik pun terus melebur dan berjuang melibatkan diri di dalamnya. Gereja Katolik terus memperbarui diri melalui sikap tobat dan mengembangkan diri kea rah gereja yang semakin mandiri dan menjadi tanda kehadiran Allah di bumi.

Gereja kini dan ke depan adalah gereja yang harus terus memperbaharui diri, semper reformanda, terutama dalam menghadapi derasnya arus konsumerisme dan kapitalisme yang terkadang dapat memporakporandakan iman umat Allah.

Kita berharap, kini, di sini dan ke depan, Gereja Katolik dapat hadir sebagai pembawa berkat kedamaian, keadilan dan kesejahtraan bagi umat manusia di bumi dan di surga. [Kornelis Rahalaka/dari berbagai sumber]

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button