Esai pendek ini meluap begitu saja usai membaca buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan karya Ignas Kleden, (Pustaka Utama Grafiti, 2004-kerja sama dengan Freedom Institute, Jakarta).
Pertama kali membaca buku ini ketika mendapat tugas liputan di Garuda Wisnu Kencana-Denpasar, Juli 2007. Meski demikian, saya sering baca ulang buku ini. Bukan karena keterbatasan buku-buku lain di rak buku saya, melainkan karena narasi-narasi yang disajikan dalam buku ini sungguh memikat, hidup dan meletupkan kesadaran dan inspirasi-inspirasi baru.
Usai baca salah satu artikel dalam buku ini, pikiran saya ngelangsa ke sana ke mari yang akhirnya hinggap pada salah satu ruang jumpa dengan salah seorang warga di Manggarai Timur. Ya seorang pejabat penting di kabupaten yang diresmikan 27 Nopember 2007 lalu.
Sosok dimaksud adalah Boni Hasudungan. Putera Batak yang sudah lama mengabdi di Manggarai Timur. Sudah cukup lama saya kenal sosok ini. Bahkan sejak awal-awal dirinya merintis karir ASN di Manggarai. Jadi sesungguhnya bukanlah perjumpaan yang asing dan kaku.
Tetapi perjumpaan di suatu siang yang agak lengang itu beda rasanya. Sebab banyak hal ditumpahkan begitu saja. Penulis bersama Ketua PPMN Manggarai Timur, Leo Jafar, mendengarkan dengan penuh hormat. Sesekali ada tukar gagas. Melintas akrab dan hangat. Kepada kami berdua ditularkan realitas penghayatan kehidupannya sebagai abdi negera. Terutama dalam kapasitasnya sebagai orang nomor satu di Manggarai Timur saat ini.
Banyak kisah dituturkan dengan lugasnya. Beragam pengalaman ditumpahkan tanpa berlebih-lebihan. Tuturnya jernih tanpa balutan interpretasi. Semuanya lurus, apa adanya. Sesuai penghayatan dan amal abdianya. Luar biasa. Menarik penuh penghayatan.
Sekian banyak kisah bernas, ada satu kisah yang membekas, meninggalkan ajaran yang kuat. Hal itu berkaitan erat dengan penilaian orang terhadap diri kita, pelayanan kita pun sikap hidup kita sehari-hari. Tidak semua orang senang dengan kita dan tidak semua juga tidak suka dengan kita. Jadi tak perlu habiskan energi untuk pikirkan hal-hal negatif. Sejauh kita berguna bagi banyak orang, sebanyak itu pula penilaian miring terhadap kita.
Lebih jauh beliau mengisahkan dalam bentuk perumpamaan. Di suatu kesempatan, katanya. ada seorang bapak hendak menjual seekor kuda ke kota. Maka berangkatlah bapak itu bersama seorang anak lakinya. Bedanya sang bapak berjalan kaki sambil mengeret kuda. Sedangkan anaknya tunggang-duduk di atas punggung kuda. Maklumlah perjalanan ke kota cukup jauh dari kampung halaman sang bapak.
Di tengah perjalanan banyak orang tegur bapak itu. Kata mereka-mereka itu, seharusnya yang tunggang itu bapaknya bukan anaknya. Sebab anaknya masih energik. Masih bertenaga. Dia seharusnya yang eret kuda tersebut. Sedangkan sang bapak sudah sangat tua. Sudah uzur, seharusnya yang tunggang kuda itu.
Mendengar hal itu, sang bapak pun minta anaknya untuk turun dari punggung kuda. Selanjutnya giliran sang bapak yang tunggang kuda. Sedangkan anaknya bertugas mengeret kuda. Namun tak lama berselang orang-orang di kampung lain menegur sang bapak. Mereka menilai sang bapak tidak mencintai anaknya. Membiarkan anak jalan kaki sambil eret kuda. Sementara bapak duduk manis di atas punggung kuda.
Tegur-ucapan orang-orang tersebut membuat sang bapak tersinggung. Diapun serta merta minta anaknya untuk tunggang kuda juga. Mereka tunggang berdua. Dalam perjalanan orang-orang berteriak karena mereka menilai sang bapak dan anak itu tidak sayang ternaknya. Keduanya pun turun dari panggung kuda dan jalan kaki lagi sambil eret kuda.
Sedang lelah berjalan kaki orang-orang meneriaki mereka karena tidak memanfaatkan ternak itu untuk menghemat tenaganya. Mendengar hal itu bapak tadi menjadi bingung. Jadi serba salah.
Menurut Boni, kisah ini menarik. Identik dengan realitas penilaian orang-orang terhadap kita. Apalagi dalam posisi jabatan tertentu. Sikap yang tepat adalah membiarkan-mengabaikan penilaian negatif orang-orang terhadap kita. Tidak perlu larut atau berlama-lama memikirkan sesuatu yang tidak berguna.
Sebab sudat pandang orang berbeda-beda satu dengan yang lain berdasarkan kepentingannya. Dan itu hak mereka. Kita tidak bisa membatasinya. Otoritas tetap menjadi miliknya. Jika kita terprovokasi dengan penilaian orang-orang terhadap kita, maka energi negatif akan mewarnai seluruh bentuk pelayanan kita. Karena itu sejauh benar dan membantu banyak orang, mengapa harus terusik dengan suara-suara minor yang tidak berguna ?
Tetaplah berjalan pada hal-hal positip untuk kebaikan banyak orang. Di sanalah jati diri pelayanan kita menunjukkan eksistensinya. Dan sejauh ini saya sudah sampai ke titik itu. Jadi, “Tetaplah berbuat baik,” ajaknya. (*)
Penulis jurnalis, tinggal di Satar Peot-Borong, Manggarai Timur