Pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara Timur yang ditumbuhi hutan savana cenderung kering. Posisinya yang dekat dengan Australia membuat NTT semakin rentan terhadap berbagai bencana hydrometerologi dan oceanography, seperti banjir bandang, kekeringan, badai, longsor serta bencana lainnya yang dipicu oleh perubahan angin, udara dan air.
Realitas tersebut di atas mengemuka dalam diskusi pada kegiatan lokakarya yang mengangkat tema pembangunan berketahanan iklim di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang berlangsung di Ruang Kelimutu, Neo by Aston Hotel Kupang, 3 Oktober 2023.
Sejumlah nara sumber dihadirkan dalam diskusi ini antaranya Climate Specialist Program VICRA yang juga akademisi Universitas Mataram Dr. M. Taqiudin dan Kepala Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Provinsi NTT Ambrosius Kodo S.Sos, M.M.Hadir pula Andwi Joko dari PATIRO Jakarta sebagai Project Manager Program VICRA sekaligus mewakili PATIRO selaku lembaga non pemerintah yang menjadi simpul coordinator pelaksanaan program di Indonesia dalam kerja sama dengan Kedutaan Belanda sejak tahun 2021.
Aneka Bencana di NTT
Dalam lokakarya yang dipimpin LSM Bengkel APPeK (Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung), salah satu mitra progam VICRA (Voice Inclusivenes Climate Resiliance Action) ini, terungkap berbagai ancaman bencana di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Sejarah kebencanaan yang diperlihatkan BPBD Provinsi NTT bahwa 75% bencana yang pernah terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah bencana-bencana hydrometeorology. Badai Seroja adalah bencana paling akhir dan menjadi bencana yang terparah sepanjang sejarah.
Thresia Ratunubi, staf senior Bengkel APPeK menarasikan kelumpuhan seluruh kota Kupang dalam durasi cukup panjang paska badai seroja mengguncang NTT tahun 2021 lalu. Ia menyebutkan, jaringan listrik putus total lebih dari seminggu. Jaringan telepon dan internet juga mengalami nasib serupa.
Dua hari setelah badai seroja, harga bahan bangunan di Kota Kupang melonjak melampaui dua ratus prosen dari harga normal. Hal ini akibat badai seroja yang meluluhlantakan bangunan-bangunan publik dan perumahan warga.
“Akibatnya, kebutuhan bahan bangunan melonjak, sehingga harga di pasarpun ikut meroket,”ungkap dia.
Perbaikan jaringan air bersih, listrik dan telepon mendapat hambatan paling serius karena lingkungan kota porak poranda. Pohon-pohon dalam kota tubang bergelimpangan dihantam badai seroja sehingga menyulitkan proses pemulihan kembali secara cepat terhadap berbagai sarana dan prasarana vital tersebut.
Sementara itu, Climate Specialist program VICRA, Dr. M. Taqiudin dalam diskusi secara virtual dari kota Mataram, NTB menjelaskan, bencana-bencana tersebut berasal dari masalah hulu. Menurut dia, bencana-bencan hydrometeorology dan oceanography merupakan dampak dari perubahan iklim karena pemanasan global.
Selain bencana-bencana alam seperti gempa bumi dan letusan gunung api, banjir dan longsor, perubahan iklim juga memicu kekeringan ekstrim di Nusa Tenggara Timur. Salah satu diantaranya yakni bencana hydrometerologi.
Menurut Taqiudin yang juga Direktur LSM KONSEPSI Mataram, bencana kekeringan seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Timur menyebabkan nilai kerugian ekonimi dan sosial sangat besar.
Ia menyebutkan, pihaknya pernah menganalisis PDRB Provinsi Nusa Tenggara Timur dan tiga kabupaten di NTT sebagai kabupaten lokasi program VICRA yakni Kabupaten TTS (Timor Tengah Selatan), Manggarai Timur dan Flores Timur. Analisis ini memperlihatkan bahwa struktur ekonomi di tiga kabupaten tersebut sebagai berikut:
Level Provinsi Nusa Tenggara Timur, tahun 2018, 2020 dan 2022, struktur ekonomi didominasi sektor tersier (59,14:2018, 60,32:2020 dan 59,49:2022). Menyusul sektor primer yang bergerak antar 28-29%) dan terakhir sektor sekunder berkisar antara 11 hingga 12% untuk ketiga tahun anggaran tersebut.
Hal yang sama berlaku untuk kabupaten Flores Timur, Manggarai Timur dan Timor Tengah Selatan. Sektor tersier bergerak antara 45-47%. Flores Timur tertinggi untuk sektor tersier yang mencapai di atas 65% dan sektor primer 28,15%, terendah di dua kabupaten lainnya di NTT.
Dari analisis ini, terbaca bahwa sektor primer yang di dalamnya termasuk pertanian, peternakan dan nelayan tangkap, menempati posisi yang paling rendah. Hal ini menjadi refleksi terkait paparan perubahan iklim, secara khusus kekeringan daratan dan meningkatnya suhu permukaan air laut di wilayah ini.
Kesepakatan Kerja Sama
Lokakarya yang menjadi bagian dari upaya-upaya advokasi kebijakan berketahanan iklim di NTT oleh Bengek APPeK Kupang, Yayasan Ayo Indonesia di Ruteng dan Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) di Flores Timur itu diakhiri dengan penandatanganan kerja sama untuk aksi-aksi berketahanan iklim.
Direktur Bengkel APPek Kupang, Vinsensius Bureni menyatakan bahwa kerja sama memungkinkan terjadinya sharing suberdaya di antara mitra-mitra pembangunan di NTT yang meliputi pemerintah, NGO/LSM, perguruan tinggi, sektor swasta dan media.
Dari perguruan tinggi hadir utusan Politani Negeri Kupang. Kerja sama dapat dilakukan dalam sektor lainnya seperti kelautan dan peternakan.Harapannya,bersama-sama dapat mengembanghkan inovasi-inovasi ketangguhan iklim di sektor-sektor tersebut. Hadir pula utusan BMKG Kupang dan Transmart Kupang dari perwakilan sektor swasta.*