
Mausui, nama salah satu tempat di Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT. Belakangan ini tempat tersebut digemari banyak warga. Bukan hanya penduduk sekitar tapi juga warga desa tetangga. Bukan hanya masyarakat ManggaraiTimur tapi juga orang Bajawa. Bukan hanya wisatawan domestic tetapi juga mancanegara.
Apalagi di hari raya. Jangan omong lagi. Manusia tumpah ruah berkunjung ke sana. Dentum musik memekakkan telinga. Deru kendaraan tak terbilang. Kampung Lekolembo hingga Mausui yang biasanya adem jadi hingar bingar.
Tujuan mereka menyambangi Mausui macam-macam. Umumnya bertamasya, rekreasi, foto-foto atau shooting pemandangan. Tak pelak juga jadi background prewedding. Mereka datang bukan hanya sebentar, tapi juga nginap satu atau dua malam. Jika nginap, setidaknya, ada tiga target yang ingin dinikmati.
Pertama merayakan lengkungan purnama dan “nyanyian” burung-burung di malam hari. Atau menikmati sunset di senja menjelang.
Kedua menyaksikan panorama sunrise dari balik kerucut Gunung Inerie. Moment tersebut sangat dinanti. Jika beruntung bakal membawa kepuasan tak terkatakan.
Ketiga, bekarang di pesisir laut untuk urusan lauk seperti ikan, gurita, cumi dan siput.
Mausui memang menarik, indah dan memesona. Menyihir salera, menggoda rasa dan memantik ingatan. Sebab savananya luas membentang sejauh mata memandang. Rata. Lekak-lekuk tak berarti hanya beberapa titik. Rumput hijau seperti permadani. Pohon-pohon tumbuh teratur mengitari rebis-rebis kali kering. Ternak kuda, kerbau, dan sapi berlari-lari kecil dan merumput manja.
Di bagian utara berdiri angkuh Gunung Komba. Gunung yang berselimutkan pohon dan dedaunan hijau lumut tua. Di bawah kaki gunung ada batu megalit peninggalan nenek moyang Suku Nggeli dan Suku Motu. Dua suku dari etnik Rongga ini memiliki jejak sejarah. Dan di tempat tersebut-batu megalit, setiap tahun selalu ada sesajian untuk leluhurnya. Beberapa penduduk Suku Nggeli berkebun di seputaran Batu Megalit. Memanfaatkan lahan yang ada itu.
Ada juga dua loh batu besar. Lazim disebut Watu Susu Rongga. Seturut kisah lisan batu tersebut berasal dari Watu Lajar, Todho, Kabupaten Manggarai. Oleh beberapa orang Suku Nggeli, batu tersebut sengaja didatangkan untuk menutup jalan masuk bagi sejumlah musuh yang hendak menyerang warga setempat di Palihoza.
Namun akibat kelalaian para pengangkut, batu dimaksud tidak diletakkan pada tempatnya. Padahal seturut petunjuk, batu tersebut harus diletakkan pada lokasi yang ditentukan sebelum mata hari terbit. Yang terjadi ketika mereka hendak ke lokasi sasaran, ujung batu menyentuh ‘bere”-jenis tas yang dirakit dari daun lontar, yang di dalamnya ada anak anjing. Seketika itu juga terjadi siang. Dua loh batu itupun tidak bisa diangkut lagi.
Sesuai petunjuk tetua Suku Nggeli, utusan yang ke Watu Lajar-Todo hanya untuk angkut dua loh batu yang dibutuhkan. Dua loh batu bisa dibawa ke Palihoza setelah tetua Suku Todo mengizinkannya. Dasarnya relasi kepentingan antara Suku Todo dengan Suku Nggeli. Dimana jagoan Suku Nggeli pernah membantu pasukan Todo ketika berperang melawan Suku Cibal.
Kepada utusan menuju Watu Lajar, tetua Suku Nggeli mengingatkan agar tidak ambil benda lain apapun bentuknya, selain dua loh batu yang dibutuhkan. Sayangnya diantara mereka ada yang mengkhianati pesan tersebut. Oknum dimaksud bukan warga asli Suku Nggeli, tetapi seorang penduduk asal Bajawa yang menawarkan diri untuk ikut ke Watu Lajar.
Dikisahkan, setibanya di Watu Lajar dia terpikat dengan seekor anak anjing. Diam-diam dia ambil anjing tersebut dan masukan dalam berenya. Itulah sebabnya mengapa dua loh batu yang kemudian dinamakan Watu Susu Rongga itu tidak bisa diletakan pada tempatnya. Dua loh batu itu melenggenda bagi orang Rongga umumnya dan Suku Nggeli khususnya.
Dulu dan Kini
Mausui bukan titik sentral kunjungan. Sebab padang savanna masih satu kilo meter arah barat dari Mausuai. Mausui hanya nama tempat sebelum memasuki kawasan savanna. Atau pintu masuk menuju padang savanna. Mausui jadi popular karena terlanjur menjadi sebutan umum. Ya, kemudahan sebutan. Atau arbitrasi-“genus” untuk hamparan savanna di pantai selatan, Kelurahan Watunggene. Lokasi padang savanna yang menjadi sasaran kunjungan wisatawan adalah Nunu Langgo, Kota Mbesi dan Alo Kewi.
Jika lebih rinci nama-nama tempat setelah melewati Mausui adalah Woi Jo, Nunu Langgo, Kota Mbesi, Wolo Nggoli, Alo Kewi. Itu nama titik yang sering dikunjungi wisatawan selama ini. Ada juga yang melintas hingga Tanjung Bendera.
Sementara nama tempat di bibir pantai adalah Atu Namo, Lia Laka, Ngalu Oto, Dhero, Lia Nggala dan Ngalu Sie. Bibir pantai ini melengkung, mengitari bentangan savanna Mausui. Jadi pantai dan savanna di lokasi itu jadi satu kesatuan. Tak terpisahkan. Para pengunjung, selain menikmati pemandangan alam dengan view laut yang aduhai indahnya, tak jarang pula mereka menepih ke bibir pantai.
Sebelum popular seperti sekarang ini, padang savanna yang terbentang di sepanjang bibir selatan dari Mausui hingga Wae Zee-Leko Ture itu hanya jadi lokasi peliharaan ternak bagi warga setempat. Para pemilik ternak membiarkan ternak-ternaknya. Tidak diikat. Tanda pada telinga jadi identitas pemilik ternak. Itu sebabnya tidak akan tertukar atau salah tangkap. Semuanya aman dan saling menjaga ternak-ternak yang ada itu.
Umumnya ternak yang di biarkan di padang savanna Mausui adalah ternak jenis besar seperti sapi, kerbau dan kuda. Ternak-ternak tersebut berkeliaran dengan bebasnya. Merumput hingga malam hari. Sedang siang hari berteduh di bawah rindangan pohon-pohon sekitar. Menjelang petang, ternak kerbau berbondong -bondong menuju sungai Mausui. Selain minum air, ternak itu merendam tubuhnya. Setelah puas ternak tersebut bergerombolan sesuai kelompoknya pulang menuju savanna untuk merumput.
Namun bencana panas panjang di tahun 2015 mengakibatkan ribuan ternak sapi kerbau dan kuda terkulai mati. Berbagai upaya untuk selamatkan ternak itu sia-sia. Hanya beberapa warga yang nekat dengan biaya besar pindahkan ternaknya ke kaki Gunung Inerie. Yang berkembang saat ini, umumnya berasal dari ternak yang diselamatkan itu.

Selain lokasi beternak, hamparan savanna itu juga jadi tempat berburu rusa atau babi hutan. Sesuai siklus penghitungan alam, warga akan berburu. Sebelumnya sembeli hewan persembahan untuk minta restu leluhur. Usai ritual adat, sebagian pemburu dibantu beberapa ekor anjing menyusuri hutan belantara di kaki Gunung Komba. Rusa atau babi hutan diusir menuju padang savanna. Di sana sudah siap beberapa penunggang kuda dengan tombak di tangan.
Hewan buruan itu ditombak. Hasil buruan dibagi secara adil kepada semua warga yang ikut berburu, apapun perannya. Kecuali pemilik anjing yang berhasil usir hewan buruan menuju savanna mendapat bagian lingkaran ekornya. Sedangkan yang menombak mendapat jatah bagian kepala. Isi dalam hewan buruan disantap bersama di lo’a-titik bertemu sebelum dan sesudah berburu.
Intervensi Pemerintah
Sebelum destinasi wisata Savanna Mausui segebiyar seperti saat ini, pemerintah daerah pernah memberi perhatian khusus untuk lokasi Batu Megalit dan Watu Susu Rongga di Palihoza. Formatnya menetapkan Palihoza sebagai destinasi cagar alam dan cagar budaya..
Sedangkan Savanna Mausui digelar festival pacuan kuda oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur. Kegiatan tersebut cukup menyedot perhatian, namun seiring berjalannya waktu tak ada lagi implikasi kegiatan lainnya. Hal itu disebabkan keterbatasan dana. Dinas Pariwisata tidak bisa berbuat lebih. Namun tetap optimis di masa pemerintahan ini pasti bisa intervensi lebih jauh.
Beruntung saja sejak awal festival itu, media massa cukup santer mempublikasi tentang Savanna Mausui. Bahkan dengan lugas permandikan Savanna Mausui sebagai surga tersembunyi di bibir Pantai Selatan. Atau “mutiara keramat” di tanah batas. Media lokal maupun nasional terus melansir dan mendorong agar Savanna Mausui jadi destinasi wisata allternatif melepas lelah bagi wisatawan domestik atau manca negara.
Keseringan publikasi itulah mengakibatkan Savanna Mausui kian tenar dan meroket. Menyihir perhatian wisatawan. Terus dimanja dan dikunjung mesra. Saat ini setiap hari selalu ada wisatawan berkunjung ke sana. Pokoknya tiada hari tanpa wisatawan menjejakkan langkah di Savanna Mausui.
Kini Savanna Mausui kian mengudara. Kian berkilau. Jadi rebutan dikunjungi. Berada di lokasi tersebut pasti puas. Tak ada penyesalan, apalagi meremas lara.
Rawatlah Habitatnya
Bentangan Savanna Mausui adalah harta batin kita bersama. Tugas kita nikmati arum aroma “tubuhnya” dan rawatlah habitatnya. Sebab habitat seputaran savanna itu merupakan lingkaran sirkulasi yang saling memberi dan menerima. Kesatuan utuh yang menguntungkan dan membebaskan.
Panorama savanna tersebut menjadi menarik dan mendebarkan karena kita tidak hanya merayakan deburan rasa yang menggigit alam bawa sadar kita. Melainkan serentak mengingatkan kita akan kuasa DIA yang mengadakannya. Mencidrai alam Savanna Mausui identik kita melukai hati sang empunya alam itu. Kita hadir di sana sebatas nikmati indahnya panorama dan rawat alamnya.
Berkunjung ke Savanna Mausui tidak rumit apalagi terancam sesat. Sepanjang lintasan jalan hingga Mausui ada pemukiman warga. Tak ada gangguan mencubit nyali. Tidak ada ancaman membahayakan raga. Penduduknya ramah, santun dan genggam erat adat dan budayanya. Warga sangat menghormati tamu. Kecuali kata-kata sengaja yang mengiris rasa dan ucap yang membuat warga setempat terluka.
Bagi pengunjung dari arah Barat-Borong atau Timur-Bajawa yang melintasi jalur Trans Flores, setibanya di jalan cabang Kajukaro-Waelengga, persis jalan masuk menuju Gereja St. Arnold Yansen Fraynademetz, kita akan melintasi jalan aspal hingga lokasi.
Jika berkendaran perjalanan sepanjang empat KM ditempuh 20 sampai 25 menit. Perjalanan sedikit terganggu ketika memasuki Kampung Jerekota dan mendaki rebis Woi Jo. Beberapa titik badan jalan di wilayah tersebut sudah rusak, tapi tidak membahayakan. Hanya butuh hati-hati agar tidak terperosok. Kita akan tiba dengan selamat di lokasi dan menikmati dawai-dawai alam yang aduhai nikmatnya.
Lebih menarik, eksotik, dan mendayu-dayu jika berwisata ke Savanna Mausui menunggang jasa-transportasi kuda. Dan biasanya wisatawan asing lebih memilih alternatif itu. Mula-mula mereka berselancar di Pantai Mbo Lata. Sepuasnya di sana mereka berkuda menuju Savana Mausui, Batu Megalit dan Watu Susu Rongga.
Sepanjang jalan di titik-titik wisata Savanna Mausui sangat mengasyikkan. Semilir angin pantai terus menerpa tubuh. Bentangan rumput hijau seperti dipotong pendek menggelorakan kepuasan tak bertepi.
Lebih jenaka lagi, bila kuda tunggang kita kencangkan pacunya. Atau sekadar lari-lari kecil, sambil menatap birunya laut dan ternak-ternak yang berseliweran di sepanjang bentangan savanna itu. Pokoknya berada di Savanna Mausui sangat menggetarkan emosi, menghayutkan rasa dan menguap kepuasan tiada tara. Itu sebabnya, belakangan ini Savanna Mausui jadi idola baru berwisata.
Selama ini, sejak Savanna Mausui digandrungi wisatawan lokal lebih sering menggunakan kendaraan. Baik kendaraan roda dua, roda empat pun roda enam. Baik pengunjung dari seputaran Kota Komba pun dari Bajawa. Atau pengunjung dari daerah lain. Umumnya mereka menikmati Savanna Mausui hingga petang lalu meninggalkan tempat itu. Tak jarang pula para mengunjung ke Savana Mausui untuk bermalam. Menikmati hawa padang yang dihembusi angin laut dan siulan burung.
Meski di satu sisi Savanna Mausui menggoda dan merangsang daya sedot perhatian. Sering dikunjungi. Tetapi di sisi lain menyisahkan persoalan. Utamanya sampah sisa-sisa makanan, botol aqua dibiarkan begitu saja. Atau berserakkan di seputaran lokasi wisatawan berteduh.
Lebih menafikan lagi perilaku tak terpuji dari oknum-oknum tertentu. Mereka tidak hanya menikmati indahnya bentangan Savanna Mausui dengan view laut yang mendebarkan raga, tetapi juga menembak burung-burung di malam hari. Sebab malam hari jadi tempat yang ramah bagi aneka burung bertengger pada dahan-dahan pohon di sepanjang Savanna Mausui. Namun tak jarang kenyaman mereka terusik dan nyawa mereka terancam.
Selain itu perilaku tak terkontrol yakni menyalakan api dekat asal tumbuh pohon. Wisatawan pergi meninggalkan luka bagi pohon tersebut. Warga setempat menyadari hal itu, namun enggan menegur atau mengingatkan para pengunjung. Karena itu diharapkan pengunjung untuk turut terlibat merawat habitat alam di sana. Sebab Savanna Mausui adalah harta batin kita bersama. Harapannya kebiasan buruk menembak burung di malam hari dihentikan. Jika tidak maka warga setempat bakal bertindak tegas terhadap oknum-oknum tak bertanggung jawab itu.
Menydari hal itu sekaligus menjamin lestarinya Savana Mausui, maka pada Sabtu (1/3/2025) tetua adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, masyarakat dan pemilik ternak mengadakan rapat bersama. Hasil rapat menetapkan poin-poin penting bagi pengunjung dan masyarakat lokal.
Pertama, merawat kebersihan lingkungan.Sisa-sisa makanan, botol kemasan dan sampah dibuang pada tempatnya.Warga setempat sedang mengadakan kotak sampah di setiap titik perhentian kunjungan pun titik mengaso para pengunjung.
Kedua, dilarang menyalahkan api dekat pohon sekitar.
Ketiga, dilarang menebang pohon dan menembak burung.
Keempat dilarang mengusir atau mengejar ternak-ternak di sekitar lokasi hanya untuk kepentingan foto dan shooting.Biarkan ternak-ternak itu tetap merumput di seputaran alamnya.
Kelima, dilarang melakukan perbuatan tak senonoh atau hubungan seksual di seputar lokasi. Apabila hal itu terjadi bakal mendapat sanksi sosial yang amat berat dari lelulur setempat pun dari pemilik ulayat.
Selain itu warga setempat sepakat setiap hari Sabtu dalam pekan gotong royong membersihan rumput-rumput liar di sepanjang jalan menuju lokasi wisata. Mulai dari Sengga Sulu, Jerekota, Woi jo hingga Savanna Mausia. Masyarakat setempat menjamin kebersihan dan keamanan wisatawan agar Savana Mausui menjadi tempat aman bagi wisatawan.
Mudah-mudahan, spirit ini menjadi aliran energi baru kita bersama. Terutama para pengunjung agar tidak menodai genitnya permadani hijau di sepanjang bentangan Savanna Mausui. Tidak melukai teduhnya pohon. Tidak “membasmi” populasi aneka burung di sana. Sebab siklus dan sirkulasi kehidupan mereka membawa ‘berkat” bagi kita penikmat alam di sana itu. Semoga. *