FLORESGENUINE.com- Konflik Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang meliputi lima desa di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menuai polemik di tengah masyarakat.
Kasus HPL seluas 3.662 hektar di lima desa dimulai sejak tahun 1990-an. Kala itu, dua dalu, masing-masing Dalu Mburak dan Dalu Nggorang bersama lima Kepala desa (Kades) yaitu Desa Labuan Bajo, Desa Macang Tanggar, Desa Golo Bilas, Desa Warloka dan Desa Watu Nggelek menyerahkan tanah ribuan hektar kepada Pemerintah Dati II Kabupaten Manggarai untuk dibangun saluran irigasi.
Proses penyerahan ribuan lahan tersebut disaksikan oleh 35 orang. Para saksi berasal dari setiap anak kampung dari kelima desa tersebut. Penyerahan HPL ini diperkuat melalui Surat Keputusan Bupati Manggarai antara tahun 1991-1992 yang mana keputusan itu pada intinya mengatur tentang peruntukan lahan-lahan tersebut.
Pada tahun 1997, Gubernur NTT menerbitkan Surat Keputusan (SK) HPL. Namun, keputusan tersebut kontradiktif dengan tujuan penyerahan HPL yang dilakukan pada tahun 1990, 1991 dan 1992. Yang intinya HPL menjadi wilayah transmigrasi. Anehnya, meskipun adanya pertentangan namun pada tahun 1997 BPN tetap menerbitkan sertifikat HPL 001.
Sejak saat itu, HPL terus menjadi polemic di tengah masyarakat. Persoalan ini terus berlanjut dan tak kunjung terselesaikan oleh pemimpin sebelumnya. Hingga pada tahun 2012 ditemukan sejumlah masalah baik terkait administratif maupun fakta di lapangan. Terdapat ratusan sertifikat HPL yang sudah diterbitkan oleh BPN namun di lapangan tidak ditemukan adanya lahan sebagaimana tercantum di sertifikat.
Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi yang juga Calon Bupati petahana dalam kampanye politik di Kampung Mbrata menjelaskan, kasus HPL sebenarnya sudah berlangsung lama, setidaknya sejak tahun 1990-an.
Lalu, pada tahun 2012, Kepala Dinas Sosial (Kadisos) Thomas Subino (alm) turun ke lokasi untuk membagi-bagi sertifikat tanah kepada masyarakat. Saat itu, sebut Endi, ada tiga jenis sertifikat yang hendak dibagikan kepada masing-masing warga yakni jenis sertifikat lahan pekarangan, sertifikat lahan sawah dan sertifikat lahan seluas datu hektar untuk masing-masing warga sebagai lahan usaha.
Untuk sertifikat lahan pekarangan dan lahan usaha tidak bermasalah, namun untuk sertifikat lahan masing-masing satu hektar terjadi masalah. Di mana sertifikatnya ada tetapi lahannya tidak ada. Akibat ketidakjelasan dan ketidakpastian terkait lahan maka pembagian sertifikat kala itu dihentikan termasuk untuk jenis sertifikat pekarangan dan lahan usaha. Sedikitnya sebanyak 200 sertifikat tanpa lahan tersebut lalu dikembalikan ke kantor pertanahan.
“Ada dua ratus sertifikat dikembalikan ke pertanahan karena sertifikatnya ada tapi tidak ada lahannya. Jadi, kalau ada yang mendengar bahwa selama ini bupati gadai sertifikatnya, ya Tuhan, untuk apa? Tanahnya saja tidak ada, siapa yang terima?,” tegas Endi dihadapan ratusan warga Kampung Mbrata.
Endi menyatakan bahwa persoalan HPL bukan hanya terkait sertifikat lahan tetapi juga jenis sertifikat ditemukan juga adanya ketidaksesuaian antara sertifikat dengan fakta di lapangan. Dia menyebutkan, ada perbedaan penempatan lahan oleh warga yang tidak sesuai dengan yang tertera dalam sertifikat, termasuk adanya tuntutan dari para ahli waris agar sertifikat-sertifikat itu diterbitkan atas nama anak-anak mereka.
Endi mencontohkan, ada warga yang seharusnya mendapatkan lokasi di Blok A tetapi yang bersangkutan tinggalnya di Blok D. Demikian pula ada warga yang saat sertifikat mau dibagikan, anak-anak mereka minta agar sertifikat harus atas nama anak-anak mereka. Padahal, mestinya orang tua dari anak-anak tersebut yang harus mengurusnya bukan pemerintah.
Menurut Endi, kasus-kasus seperti ini mestinya menjadi tanggungjawab orang tua karena terkait dengan hak atas warisan. Masalah HPL pun terus berlanjut hingga tahun 2022 saat Edi-Weng memimpin Manggarai Barat. Saat itu sejumlah kelompok masyarakat dari Translok datang ke kantor bupati untuk menyampaikan aspirasi terkait penyelesaian kasus ini.
Endi mengaku, dalam rapat itu pemerintah dan warga sudah membicarakan secara terbuka tentang persoalan HPL dan menurut Endi, warga sendiri mengakui jika lahan seluas 200 hektar lebih tersebut sesungguhnya tidak ada.
“ Kalau tidak ada, kenapa dibicarakan? Tidak usah dibicarakan yang 200 itu, yang penting clear-kan 65 bidang tanah yang belum disertifikatkan. Tentu, kita tidak hanya mengurus yang 65. Lalu kita juga temukan masalah HPL secara keseluruhan,” ujarnya.
Menurut Endi, pemerintah Manggarai Barat dibawah kepemimpinan Edi-Weng telah mengambil langkah konkrit berupa pendekatan dengan pihak kementerian terkait agar masalah HPL seluas sekitar 3.660 hektar segera terselesaikan. Pemerintah Manggarai Barat sudah bersurat sebanyak lima kali ke kementrian.
“ Saya punya dokumennya, surat terakhir itu di bulan April 2024 dan menteri sudah emerintahkan dirjennya untuk turun cek lokasi pada bulan Juni 2023. Pihak kementerian sudah mengabarkan pula bahwa HPL akan dicabut,” ujar Endi.
Jadi, kata Endi, polemic terkait HPL sesungguhnya sudah ada titik terang penyelesaiannya. Edi-Weng telah berjuang keras agar persoalan HPL segera dituntaskan. Endi bahkan menyebutkan bahwa persoalan HPL akan segera dituntaskan dan ia berjanji Edi-Weng akan terus mengawal proses ini agar benar-benar terselesaikan dengan tuntas dalam waktu dekat.
“ Saya yakin dalam waktu dekat menteri akan menandatangani dan menyelesaikan masalah HPL ini. HPL akan segera dicabut, tinggal menunggu dokumen tertulisnya,” ungkap Endi. *[kis/fg]