
Pada musim dingin tahun 2013, sebuah perahu kayu yang rapuh karam di lepas pantai Lampedusa, Italia. Itu pulau kecil di perbatasan Afrika Utara dan Eropa.
Lebih dari 360 pengungsi dari Eritrea dan Somalia tenggelam dalam laut yang membeku. Mayat-mayat mereka ditemukan terapung, terbungkus selimut darurat aluminium, di antara puing-puing perahu dan doa yang tak sempat diselesaikan.
Beberapa hari kemudian, Paus Fransiskus datang ke Lampedusa. Tanpa prosesi megah. Tanpa singgasana emas. Ia hanya membawa salib kayu yang terbuat dari serpihan kapal karam. Di atas altar darurat, ia merayakan misa bagi jiwa-jiwa yang tak sempat disambut dunia.
Dengan suara gemetar, ia berdoa:
“Kami telah kehilangan rasa menangis. Kami telah membiarkan budaya kematian menjangkiti nurani kami. Ya Tuhan, ampunilah kami.”
Di hadapan laut biru yang menjelma makam tanpa nama, Paus melempar karangan bunga. Air mata para ibu dan doa-doa yatim piatu menggema bersama desir angin. Hari itu, Lampedusa menjadi tanah suci. Tempat duka dunia dijadikan altar cinta.
Wafatnya Paus Fransiskus pada awal 2025 bukan hanya meninggalkan duka bagi umat Katolik, melainkan bagi seluruh jiwa yang rindu akan agama yang lembut, membumi, dan penuh kasih. Ia adalah pelita di tengah dunia yang gelap dan terpolarisasi. Dua warisan utamanya menjelma cahaya: ekologi spiritual dan inklusivitas tak bersyarat.
Angin di Vatikan membawa pesan baru ketika ia memperkenalkan Laudato Si’. Sebuah ensiklik yang tak hanya mengguncang doktrin gereja, tetapi mengetuk hati umat manusia. Di dalamnya, bumi tidak lagi dipandang sebagai benda mati untuk dieksploitasi, melainkan sebagai tubuh hidup yang menderita—makhluk spiritual yang terluka karena keserakahan manusia.
“Tanah, air, udara dan semua makhluk adalah bagian dari keluarga kita,” tulisnya.
Kalimat sederhana, tapi memuat revolusi teologis dan ekologis yang dalam. Paus Fransiskus memutar arah agama: dari hanya memandang langit sebagai tujuan, menuju bumi sebagai amanah dan tanggung jawab.
Ia bukan hanya pemimpin Katolik; ia adalah nabi zaman krisis iklim. Di balik jubah putihnya, seorang pejalan sunyi mendengarkan rintih daun kering dan batuk sungai yang keruh. Ia membaca Injil bukan hanya dari kitab suci, tetapi juga dari retakan tanah, badai yang menerjang, dan es yang mencair di kutub.
Bagi Fransiskus, dosa ekologis bukan konsep abstrak-tapi luka nyata. Dalam dunia yang mengukur nilai dari laba dan pertumbuhan tak terbatas, ia berdiri sebagai suara sunyi yang berkata: cukup. Paus menyebut keserakahan industri telah melahirkan “kebudayaan sampah”-sebuah sistem yang menjadikan alam dan manusia sebagai barang pakai-buang.
Inilah krisis spiritual terbesar zaman ini: ketika bumi diperlakukan sebagai objek, bukan sebagai subjek yang suci. Paus Fransiskus menyerukan pertobatan ekologis. Bukan hanya perubahan cara hidup, tapi perubahan cara mencinta. Ia mengajak kita membumikan doa-bukan sekadar untuk keselamatan jiwa, tetapi juga untuk pemulihan tanah, air dan udara.
“Agama harus berhenti hanya membicarakan surga,” katanya, “jika ia membiarkan bumi menjadi neraka bagi generasi mendatang.”
Dan ini bukan retorika. Ia mendorong gereja-gereja memakai energi terbarukan, mendukung pertanian organic dan menolak proyek ekstraktif yang melukai ekosistem lokal. Ia memeluk para aktivis lingkungan seperti ia memeluk para pengungsi. Itu karena keduanya korban dari sistem yang sama: sistem yang mengeksploitasi dan memutus ikatan manusia dengan alam.
Bagi Fransiskus, spiritualitas tidak sah jika tak menyentuh tanah. Relasi dengan Tuhan tak bisa dipisahkan dari relasi dengan bumi. Kita tak bisa mencintai Pencipta sambil terus menyakiti ciptaan-Nya.
Apa yang disuarakan Paus Fransiskus melampaui Katolik. Ia merangkul kosmologi spiritual dari banyak tradisi. Dalam Islam, bumi adalah hamparan kasih sayang Allah, dan manusia adalah khalifah yang bertanggung jawab. Dalam Hindu, alam adalah manifestasi dari Brahman yang ilahi. Dalam kearifan pribumi, tanah adalah ibu dan sungai adalah darah kehidupan.
Ia menghidupkan kembali semangat St. Fransiskus dari Assisi—yang menyapa matahari sebagai saudara dan bulan sebagai saudari. Laudato Si’ bukan sekadar dokumen keagamaan. Ia adalah puisi cinta untuk planet ini.
Bumi, kata Paus, adalah bagian dari tubuh spiritual manusia. Apa yang dirasakan bumi, dirasakan pula oleh jiwa kita. Ketika hutan dibakar, kita kehilangan nafas. Ketika laut tercemar, batin kita menjadi keruh. Bumi adalah tubuh bersama—our common home. Sebagaimana kita merawat tubuh sendiri, kita juga harus merawat planet ini: dengan gaya hidup berkelanjutan, energi bersih dan rasa syukur atas secukupnya.
Ia mengingatkan: manusia bukan penguasa bumi, tetapi saudara tua dari ciptaan lainnya. Peran kita bukan menaklukkan, tapi memelihara. Bukan mengambil tanpa batas, tapi memberi dalam diam yang hormat.
Kini, dunia berkabung. Tapi lebih dari itu: dunia terinspirasi. Ia tak memberi solusi instan, tapi menanam benih kesadaran yang akan tumbuh dalam tindakan-tindakan kecil: menanam pohon, mengurangi sampah, mencintai cahaya pagi dan udara bersih. Ia membukakan jalan bahwa religiusitas bukan hanya misa atau salat, tapi juga tidak membuang sampah di sungai.
Ia ajarkan bahwa spiritualitas tak selalu ke langit. Kadang ia justru terletak di tanah dan dalam air mata makhluk hidup yang kita abaikan. Dalam kepergiannya, Paus Fransiskus meninggalkan pesan: Jika engkau ingin menemukan Tuhan, pergilah ke hutan. Dengarkan suara daun. Di sana, semesta sedang berdoa.
Filosofi spiritual Paus Fransiskus yang paling agung: Cinta adalah hukum tertinggi. Bukan cinta yang pasif dan manis, melainkan cinta yang membasuh kaki yang kotor, yang menjahit luka bumi, yang memulangkan mereka yang terbuang ke pelukan Tuhan. Baginya, agama bukan menara gading bagi para suci, tetapi tenda terbuka bagi para pendosa, pengungsi, pecinta bumi, dan pencari makna.
Ia buka pintu bagi yang tertolak: imigran lelah yang mengangkut duka, LGBT yang rindu dipeluk surga dan iman lain yang haus cahaya. Mereka diundang semua duduk setara di meja cinta. Ketika kabar wafatnya Paus menggema, lonceng berdentang di Basilika Santo Petrus. Namun gema cintanya terdengar jauh lebih luas: di kamp pengungsi, di hutan yang dibakar, di pelukan pasangan yang dulu tersembunyi dari altar.
Ia bukan sekadar gembala Katolik. Ia adalah imam dunia, yang menyatukan doa dalam berbagai bahasa dan air mata dalam segala warna. Di Jakarta punya kenangan sendiri soal Paus Fransiskus. Itu malam 4 September 2024, di depan Galeri Nasional. Mobil Paus melambat. Jendela terbuka. Seorang perempuan mendekat, membawa lukisan saya: Paus membasuh kaki rakyat Indonesia.
Perempuan itu Pendeta Sylvana Maria Apituley, dari Papua. Dengan gemetar, ia serahkan lukisan itu. Paus memberkatinya— dan Jalan Merdeka menjadi altar jalanan. Lukisan itu, yang dulu hanya kanvas dan warna, kini menjadi relik. Sylvana menulis keesokan harinya: “Aku menangis bahagia… tak mau cuci tangan.”
Kini, tugas kita bukan sekadar mengenang. Tapi meneruskan. Menyiram tanah dengan kasih. Merawat sesama dengan kelembutan. Menerima yang berbeda seperti tubuh kita sendiri. Karena, sebagaimana Paus Fransiskus wariskan: Cinta adalah satu-satunya doktrin yang tak pernah mati.
Jakarta, 21 April 2025