
FLORES GENUINE – Manggarai Barat sudah menjadi destinasi pariwisata internasional yang akan terus menjadi incaran investasi besar, terutama di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun, seiring derasnya arus pembangunan, semakin banyak muncul masalah yang berkaitan dengan tata ruang, kewenangan pengawasan terhadap kawasan pantai dan laut mulai dikuasai oleh para investor.
Fenaomena ini memunculkan berbagai pertanyaan penting di tengah masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan itu mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPRD Manggarai Barat dengan sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang digelar di gedung DPRD Manggarai Barat, Rabu (9/4/2025), kemarin.
Salah satu temuan yang terungkap dalam pertemuan itu adalah banyaknya bangunan hotel di kawasan pesisir pantai Labuan Bajo atas izin pemerintah pusat atau provinsi namun kini menuai masalah lantaran berhubungan dengan akses masyarakat terhadap ruang public, pemanfaatan ruang public khususnya di kawasan sepandan pantai dan lingkungan.
“ Apakah karena sudah mendapat izin dari pemerintah pusat maka pemerintah daerah tidak punya kewenangan untuk melakukan kontrol dan pengawasan terhadap pembangunan yang menyimpang dari tata ruang dan melanggar peraturan perundang-undangan?” ungkap Bernadus Ambat, anggota DPRD dari Fraksi Harapan Baru.
Menurut Bernadus, DPRD menghormati semua pihak yang telah menanamkan investasi di daerah ini karena investasi yang sah dan bertanggung jawab merupakan mitra penting dalam pembangunan daerah. Namun, kontrol dan pengawasan terhadap pemanfaatan ruang, terutama kawasan pesisir adalah bentuk nyata dari komitmen DPRD untuk menghadirkan kepastian hukum bagi semua pihak tak kecuali bagi investor.
Dengan pengawasan yang baik, tidak ada ruang untuk ketidakpastian, konflik sosial atau sengketa hukum di kemudian hari. DPRD dan masyarakat memberikan ruang dan menyambut baik setiap rencana investasi baru tetapi harus mematuhi aturan tata ruang, lingkungan hidup, dan menjaga hak masyarakat local atas akses ruang publik.
“ Manggarai Barat bukanlah ruang kosong, melainkan ruang hidup bersama yang telah memiliki sistem sosial, budaya dan hukum yang wajib dihormati,” tegas anggota Fraksi Harapan Baru ini.
Menurut dia, perizinan usaha memang dilakukan melalui sistem daring OSS. Sistem ini menentukan kewenangan pemberi izin berdasarkan jenis usaha dan skala bangunan. Misalnya, untuk hotel dengan bangunan lebih dari 10.000 meter persegi, izinnya menjadi kewenangan pusat. Tapi hal ini hanya soal penerbitan izin, bukan soal pengawasan teknis di lapangan dan seluruh izin yang dikeluarkan juga sudah tentu melalui prosedur dari bawah atau daerah.
Apalagi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang lingkungan hidup secara tegas dinyatakan bahwa pengawasan dilakukan oleh pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota sesuai kewenangan masing-masing.
“ Jadi, pemerintah daerah tetap punya tanggung jawab dan dasar hukum untuk mengawasi, menegur bahkan merekomendasikan pencabutan izin usaha bila ditemukan pelanggaran di lapangan,” tandasnya.
Kemudian, sesuai Peraturan Presiden (PP) Nomor 51 Tahun 2016 telah menetapkan bahwa batas sepadan pantai minimal 100 meter dari garis pasang tertinggi ke arah darat. Ketentuan ini bukan sekadar aturan teknis, melainkan pengakuan bahwa pantai bukan milik investor, melainkan ruang hidup bersama masyarakat.

Senada diungkapkan Hasanudin, anggota DPRD lainnya. Ia menyatakan bahwa PP tersebut sudah dijabarkan dalam Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 17 Tahun 2024 tentang RDTR Kawasan Labuan Bajo.
Dari hasil rapat dengar pendapat menunjukkan bahwa masih banyak bangunan hotel yang tidak memberi akses publik ke pantai, bahkan berdiri di zona sempadan tanpa mempertimbangkan fungsi lindung kawasan pesisir.
Meskipun pemerintah menyatakan bahwa semua izin sudah dilakukan secara daring dan transparan melalui OSS namun bagi masyarakat tentu tidak membutuhkan sistem yang hanya rapi di atas kertas.
“ Yang dibutuhkan adalah pengawasan nyata di lapangan. Apakah jalur pedestrian sudah tersedia? Apakah warga masih bisa ke pantai? Apakah izin lingkungan dan kesesuaian tata ruang benar-benar dihormati?” tanya Hasan retoris.
Menurut Hasan, sistem OSS dapat memberikan sinyal bahwa semakin canggih sistemnya, maka semakin penting pengawasan yang harus dilakukan secara aktif. Pasalnya, data yang diinput bisa saja tidak sesuai dengan kondisi lapangan atau izin-izin yang diberikan tanpa pengecekan terhadap kondisi riil di lapangan, baik aspek social, budaya dan lingkungan.
Bernadus dan Hasanudin menegaskan, meskipun pemerintah daerah bukan penerbit izin, namun pemerintah daerah bertanggung jawab atas tanah dan laut di wilayahnya. Pembangunan tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan hukum dan hak-hak public untuk memanfaatkan ruang demi kepentingan kehidupan dan penghidupan masyarakat. [red/fgc]