BUMI MANUSIA

Mengatasi Permasalahan Rakyat

Oleh : Jacob J Herin *

Gereja di negara-negara Asia dan juga di Regio Nusa Tenggara saat ini sedang hidup dalam situasi ketidakadilan dan kemiskinan akibat banyak faktor, diantaranya politik, sosial dan budaya.

Perjuangan masyarakat menuju pembebasan dari kungkungan dosa pribadi dan dosa sosial demi kepenuhan hidup insani sangat sulit karena dihalangi globalisasi. Saat ini masyarakat seumumnya pun berada dalam situasi kungkungan kemiskinan yang sangat memengaruhi segi-segi kehidupan.

Jurang antara orang kaya dan orang miskin semakin hari semakin lebar. Ratusan juta orang terhalang untuk dapat mengakses sumber-sumber daya alam. Eksploitasi lingkungan telah merusak sumber-sumber yang sangat berharga. Dengan demikian rusak juga habitat spiritual dan materiil dari banyak masyarakat. Pola-pola diskriminatif tradisional terhadap perempuan tetap saja berlaku.

Situasi kemiskinan dan ketidakadilan mengakibatkan kaum perempuan paling menderita. Perusahaan-perusahaan turisme mengeksploitasi perempuan dengan menjebloskan mereka ke dalam pelacuran. Semua ini tentu saja bersinggungan dengan problem moralitas seksual dan juga ketidakadilan struktural.

Sebab-sebab pokok bagi permasalahan-permasalahan sosial di seluruh dunia memasuki era globalisasi atau lazim disebut milenium ketiga adalah nafsu untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan sesama manusia.

Ajaran-ajaran Gereja seperti Konstitusi Pastoral tentang Gereja Dalam Dunia Modern (Gaudium et Spes) dari Konsili Vatikan II dan ensiklik Paus Paulus VI tentang Pengembangan Manusia (Populorum Progressio) menekankan agar Gereja mesti memberi perhatian pada masyarakat dan pengembangan manusia dalam semua aspek. Gereja sebaiknya menekankan bidang pendidikan dengan ajaran sosial yang mampu membaca tanda-tanda zaman. Gereja mesti belajar melakukan analisis sosial atas apa yang sedang terjadi seperti krisis ekonomi dan globalisasi. Globalisasi telah membawa banyak dampak negatif. Kekuatan pasar bebas melakukan kontrol lewat deregulasi dan liberalisasi dan alhasil negara-negara miskin tidak dapat bersaing dengan negara-negara maju.

Keluarga-keluarga miskin di negara-negara berkembang semakin menderita. Dengan meningkatnya angka kemiskinan, jumlah pekerja migran di negara berkembang termasuk Indonesia meningkat pula. Dan ini akan menciptakan persoalan-persoalan internal menyangkut keterpisahaan dengan dan pendidikan yang kurang memadai bagi keluarga dan anak-anak yang ditinggalkan.

BACA JUGA:  Gereja Santo Petrus Sernaru Jadi Lokasi Thabisan Uskup Labuan Bajo

Selain itu, nilai-nilai materialistik dan sekular dari barat membanjir secara tak terbendung ke negara berkembang sehingga terjadi krisis nilai. Krisis itu memengaruhi tradisi, adat istiadat, cara berpikir dan cara berhubungan dalam keluarga. Yang langsung memengaruhi keluarga-keluarga adalah nilai-nilai yang berkenaan dengan seks dan seksualitas, hubungan manusia, perkawinan, kehamilan, anak, kehidupan dan kematian. Dengan begitu muncullah permasalahan bioetika, kontrasepsi, aborsi, hubungan seks pranikah, perkawinan homoseksual dan perceraian. Perceraian berdampak besar pada kemiskinan.

Dari analisis sepintas, gejala globalisasi telah membenturkan keluarga-keluarga yang sedang menghadapi persoalan kemiskinan dengan ihwal pembangunan, keadilan sosial serta nilai-nilai agama dan moral.

Gereja perlu meningkatkan pelayanan terhadap keluarga dan memahami kehidupan secara utuh, dalam dimensi sosial, ekonomi, politik, religius dan budaya. Selanjutnya, Gereja mesti memilih sikap pro-life (pro-kehidupan) demi keluarga. Gereja seharusnya melihat jauh melampaui keprihatinan pastoral tradisional seputar meminta sumbangan dari umat tapi tidak melaporkan semua pengeluaran keuangan sumbangan dari umat dan pemantapan perkawinan. Globalisasi secara harfiah telah memengaruhi semua aspek kehidupan manusia. Gereja sebaiknya merancang program pastoral yang utuh-menyeluruh.

BACA JUGA:  Natal, Pemiskinan Diri Allah yang Paling Radikal

Tahun 1996 Uskup Dili Mgr. Carlos Filipe Ximenez Belo SDB penerima Hadiah Nobel Perdamaian menganjurkan agar dalam ikhtiar memperjuangkan martabat manusia, Gereja wajib menelaah tanda-tanda zaman, lalu menafsirkannya di dalam terang Injil. Gereja harus membantu manusia agar mencapai perkembangan yang sempurna agar mewujudkan kepentingan umum, agar menjadi lebih manusiawi.

Gereja berkewajiban secara moral untuk mewujudkan keadilan, kedamaian, cinta kasih dan kebebasan, melalui wewenang mengajarnya, dalam kerja sama dengan semua orang yang berkemauan baik. Menaati perintah Sang Guru untuk mengajari semua bangsa maka Gereja berkewajiban untuk menyampaikan ajarannya tentang masyarakat manusia, mengajukan penilaian moral mengenai hal ihwal menyangkut tata politik, seturut tuntutan hak-hak asasi pribadi dan keselamatan jiwa-jiwa dan sesuai dengan kepentingan semua orang menurut keanekaan zaman dan suasana. Tugas yang diemban Gereja bagi masyarakat bercorak spiritual dan moral.

Dalam kehidupan sosial orang-orang Kristen harus diilhami Injil, ajaran Gereja dan norma-norma peradaban. Suri teladan terbaik ialah Yesus Kristus. Yesus selalu menghormati diri manusia. Yesus adalah guru dialog dan persaudaraan. Yesus adalah juru damai antara manusia dan Tuhan dan di antara manusia. Yesus adalah pangeran damai. Yesus memberikan kepada kita perintah cinta kasih dan kedermawaan. Yesus adalah guru dalam doa dan karya.

BACA JUGA:  Tanwir Kupang, Presiden Prabowo dan Jasa Besar Muhammadiyah

Hanya dengan mencontohi sikap Yesus, kita akan dapat bersama-sama mencapai keadilan, kedamaian dan kemajuan. Untuk menyelesaikan berbagai persoalan di wilayah ini, marilah kita memelihara dialog yang tulus, saling menghargai dan menghormati. Perlu adanya kesatuan dalam hal-hal yang diperlukan, kebebasan dalam hal-hal yang diragukan, dan cinta kasih dalam segalanya.

Untuk membangun perdamaian dan saling pengertian, sekali lagi kita perlu banyak berdoa. Hanya dengan doa kita akan mendapatkan keberanian, ketegasan dan kesabaran untuk mewujudkan rekonsiliasi di antara orang-orang di wilayah ini dan membangun suatu kedamaian yang langgeng.

Sudah sejak lama banyak orang buta matanya terhadap persoalan rakyat. Mereka buta bukan karena alasan fisik, tetapi dibutakan oleh kekuasaan yang memberi kenikmatan dan kenyamanan yang menghalangi mereka untuk mengalami realitas orang miskin yang sedang menderita. Praktik masa bodoh dengan alasan tidak campur urusan politik adalah juga menindas, kendati sering kali dianggap hal yang biasa-biasa saja.

Hak-hak rakyat menuntut keadilan tidak didengar para pemimpian mereka. Mereka yang buta matanya harus ditahirkan oleh kekuatan Roh Allah. Roh Allah datang melalui orang-orang yang mengulurkan tangannya, menyentuh, mendengar suara hati dan mencari jalan keluar sehingga para penderita dapat keluar dari lingkaran kemiskinan dan ketidakadilan.*

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button