MBG dan Produk Lokal: Menghidupkan Dapur Sekolah, Menggerakkan Ekonomi Desa
Oleh: Kanisius Jehabut*

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah peluang langka bagi daerah seperti Manggarai Barat. Tapi peluang ini bisa hilang begitu saja jika tidak segera diikat dengan kebijakan yang berpihak pada pelaku ekonomi lokal petani, nelayan, peternak dan UMKM desa.
Jika dapur sekolah dibiarkan menjadi pangsa pasar bagi korporasi katering dari luar, maka MBG hanya akan jadi proyek rutin, bukan transformasi ekonomi. Sebaliknya, bila kita berani mendesain rantai pasok MBG yang berbasis produk lokal, maka setiap piring makan anak sekolah menjadi alat untuk menghidupkan ekonomi rakyat. Dapur sekolah bisa menjadi pasar tetap bagi hasil bumi Manggarai Barat. Ini bukan utopia, ini soal kemauan politik dan keberanian menata ulang sistem.
Produk lokal bukan hanya yang ditanam atau ditangkap di Manggarai Barat. Produk lokal adalah yang dihasilkan oleh tangan-tangan rakyat kita sendiri. Sayur dari Macang Tanggar, ikan dari Soknar dan Desa Kepulauan, telur ayam dari peternak kecil di Lembor, bahkan olahan pangan seperti abon, keripik pisang, dan susu jagung yang bisa diproduksi oleh UMKM perempuan desa. Semua ini bisa dan harus masuk ke dapur sekolah.
Produk lokal berarti sirkulasi uang publik tetap berputar di dalam kampung. Harga buah yang dibeli pengelola dapur MBG menjadi pendapatan petani. Telur rebus yang dimakan siswa menjadi penghasilan kelompok ternak. Singkatnya, MBG bisa menjadi stimulus ekonomi harian bagi desa.
Karena tanpa intervensi, MBG sangat rawan dibajak. Jika pengadaan bahan pangan MBG dilepas ke pasar bebas, maka pemenangnya adalah mereka yang punya modal besar, kendaraan logistik, dan jaringan penyimpanan bukan petani kecil, bukan nelayan, bukan UMKM lokal.
Itulah sebabnya, pemerintah daerah wajib membuat desain sistem pengadaan yang pro-rakyat. Pengadaan berbasis klaster desa atau kecamatan, sistem kontrak langsung ke kelompok tani dan nelayan, serta pendampingan standar mutu pangan ini semua adalah langkah-langkah nyata agar produk lokal tidak tersingkir. Kalau tidak dari sekarang, kapan lagi? Kalau bukan dari Manggarai Barat, dari mana lagi kita mulai?
Strategi menghubungkan dapur MBG dengan Kampung:
Pertama, Data Pangan Lokal. Pemda harus punya data, berapa kapasitas produksi telur di setiap desa. Berapa pasokan ikan segar mingguan dari nelayan? Tanpa data ini, sulit menyusun rantai pasok yang stabil.
Kedua, kemitraan langsung dapur MBG – Produsen. Pengelola MBG perlu didorong bermitra langsung dengan kelompok tani, koperasi nelayan dan UMKM pengolah makanan. Ini memotong mata rantai tengkulak dan memperbesar margin produsen lokal.
Ketiga, pelatihan dan standarisasi. Bukan hanya soal harga murah, tapi juga kualitas. Pemerintah perlu menyediakan pelatihan dan sertifikasi sederhana bagi produsen lokal agar produk mereka memenuhi standar gizi MBG.
Keempat, sirkuit ekonomi desa. Rantai pasok MBG harus memperkuat ekosistem desa, dari petani, pengolah, transporter, hingga penyedia kemasan. Jangan ada ruang bagi mafia proyek atau broker-broker yang mengambil untung di tengah jalan.
Kita jangan berhenti pada slogan “makan gratis untuk anak-anak sekolah.” Kita harus dorong agar setiap piring makan menjadi simbol kedaulatan rakyat atas tanah dan lautnya sendiri. MBG adalah pintu masuk. Tapi isi dan arah program ini tergantung pada siapa yang kita beri ruang, petani lokal, atau pengusaha katering ?
Sebagai anggota DPRD, saya akan mendorong agar Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat tidak hanya menjalankan MBG sebagai kewajiban pusat, tetapi juga sebagai strategi ekonomi daerah. Kita tidak butuh proyek baru, kita butuh cara pandang baru.
Penulis adalah anggota Fraksi Gerindra DPRD Kabupaten Manggarai Barat