OPINI

Media Sosial: Jembatan atau Jurang Generasi?

Oleh: Sandrianus Kasiman*

Media sosial telah menjadi fenomena yang mengubah cara kita berkomunikasi, berinteraksi, dan memahami lingkungan di sekitar kita. Namun, pertanyaan kunci yang muncul adalah apakah platform digital ini menjadi penghubung antara generasi yang berbeda atau justru menciptakan pemisahan yang lebih dalam di antara mereka? Menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah, karena media sosial memiliki sifat paradoks yang bisa berfungsi sebagai keduanya sekaligus.

Dalam fungsi sebagai penghubung, media sosial memungkinkan terjadinya komunikasi antar generasi yang sebelumnya sulit dilakukan. Platform seperti whatsApp, facebook dan instagram telah menjadi ruang digital di mana kakek-nenek bisa melihat foto cucu mereka secara langsung, orang tua dapat mengikuti kegiatan anak-anak mereka yang sudah dewasa, dan keluarga yang terpisah jarak tetap bisa saling terhubung dengan baik.

Fenomena ini menciptakan kedekatan emosional yang melampaui batas fisik dan waktu. Aspek pendidikan dari media sosial juga berperan penting dalam mengatasi kesenjangan pengetahuan antara generasi. Generasi muda sering kali menjadi “guru teknologi” bagi orang tua serta kakek-nenek mereka, membantu mereka memahami cara menggunakan berbagai aplikasi dan fitur.

Di sisi lain, generasi yang lebih tua dapat berbagi pengalaman hidup, kebijaksanaan dan perspektif sejarah melalui platform yang sama. Proses berbagi pengetahuan ini menciptakan dinamika yang memperkaya pemahaman kedua belah pihak. Media sosial juga telah mendorong kolaborasi lintas generasi dalam berbagai sektor. Dari proyek bisnis yang melibatkan mentor senior dengan pengusaha muda, hingga gerakan sosial yang menggabungkan semangat anak muda dengan pengalaman generasi sebelumnya.

BACA JUGA:  Menjadi Guru Idaman

Platform ini menyediakan ruang netral di mana ide-ide dapat bercampur tanpa terhalang oleh hierarki usia yang tradisional. Namun, di sisi lain, media sosial juga telah menciptakan perpecahan yang signifikan di antara generasi. Perbedaan dalam tingkat literasi digital merupakan salah satu faktor yang memisahkan generasi.

Sementara generasi digital natives (yang lahir di era digital) mudah dalam menavigasi kompleksitas media sosial, generasi yang lebih tua sering mengalami kesulitan dan merasa tertekan oleh kemajuan teknologi yang cepat. Perbedaan dalam cara berkomunikasi juga menyebabkan kesenjangan.

Generasi Z dan milenial cenderung menggunakan bahasa singkat, emoji, meme dan referensi budaya pop yang mungkin tidak selalu dipahami oleh generasi sebelumnya. Komunikasi yang tidak teratur ini bisa menimbulkan kesalahpahaman dan ambigu yang membuat jurang pemisah semakin lebar. Lebih serius lagi, adanya fenomena echochamber dan filter bubble dalam media sosial dapat memperkuat perbedaan pandangan antar generasi.

BACA JUGA:  Mitreka Satata Spirit Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan

Algoritma pada platform media sosial cenderung menampilkan konten yang sejalan dengan preferensi dan keyakinan pengguna, sehingga setiap generasi dapat terjebak dalam gelembung informasi mereka sendiri. Hal ini dapat memperkuat stereotip dan prasangka terhadap generasi lain, menciptakan polarisasi yang semakin tajam.

Realitas media sosial tidaklah sederhana. Platform yang sama bisa berfungsi sebagai jembatan dan jurang pada waktu yang bersamaan, tergantung pada cara penggunaannya dan oleh siapa. Faktor-faktor yang menentukan peran media sosial mencakup literasi digital, pendekatan dalam penggunaannya, tujuan interaksi dan konteks sosial-budaya di mana platform digunakan.

Generasi Baby Boomers yang aktif belajar dan beradaptasi dengan teknologi dapat memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk terhubung dengan generasi yang lebih muda. Sebaliknya, generasi muda yang menggunakan media sosial secara eksklusif dan tidak inklusif dapat memperparah pemisahan dengan generasi sebelumnya.

Media sosial juga  memberikan efek psikologis yang bervariasi di setiap generasi. Individu yang lebih tua mungkin merasakan kecemasan terkait teknologi dan perasaan ketinggalan, sedangkan generasi muda sering menghadapi fomo (ketakutan akan ketinggalan) serta tekanan untuk selalu tampil sempurna di dunia maya.

BACA JUGA:  Menteri Meutya Hafid : Perpres Publisher Rights, Langkah Melindungi Jurnalisme Profesional

Perbedaan ini dapat menyebabkan kurangnya saling pengertian antara generasi. Masalah seperti cyber bullying dan ujaran kebencian juga berimbas pada pandangan antar generasi terhadap media sosial. Generasi tua cenderung menganggap platform digital sebagai tempat yang berisiko dan tidak aman, sedangkan generasi muda mungkin merasa kekhawatiran ini berlebihan dan kurang memahami kondisi di dunia digital.

Untuk memanfaatkan media sosial sebagai penghubung antar generasi, perlu ada kesadaran dan upaya dari semua pihak. Pendidikan mengenai literasi digital yang menyeluruh dapat membantu generasi tua merasa lebih nyaman saat menggunakan teknologi. Inisiatif seperti “cucu mengajari kakek” atau pelatihan teknologi lintas generasi bisa menjadi alternatif yang bermanfaat.

Penting pula untuk menghasilkan konten yang dapat dinikmati oleh semua kelompok usia. Platform media sosial harus merancang antarmuka yang lebih mudah digunakan dan diakses oleh orang dari berbagai umur. Di samping itu, mempromosikan interaksi yang positif antar generasi melalui kampanye atau fitur khusus dapat mendorong penggunaan yang lebih konstruktif.

Penulis adalah Mahasiswa PGSD semester 4 Unika St. Paulus Ruteng

 

 

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button