FLORESIANA

Kius dan Bunga Kopi

Oleh : Margaretha Maria Muda Amahurit

Takdir menyatukanku dengan seorang pria Manggarai Barat, tepatnya dari Rego, Wontong Kecamatan Macang Pacar. Selanjutnya, aku bisa mengenal Kius, seorang opa yang sudah beruban, keriput sekali, sudah bungkuk punggungnya, namun masih semangat sekali bekerja. Ia akrab disapa Kius yang adalah bapa mantuku sendiri.

Setiap pagi ia ke ladang membersihkan rumput sembari menggali dan memetik hasil ladang. Ia selalu menjaga semangat dengan secangkir kopi dan sebatang sigaret. Tak perlu makanan mewah karena baginya itu makanan aneh karena tidak terbiasa karena dari kecil ia selalu menaklukan alam guna mendapatkan hewan, hewan hutan buat santapan.

Sayuran hutan segar dan peliharaan selalu menjadi santapan sehari hari. Meski usianya sudah sangat uzur, ia masih kuat menebang, memotong, menggali. Ia penakluk  alam sejati, perawat tanah serta petani tulen.

Aku selalu menyimpan rapi kumpulan cerita petualangannya, dimana di setiap akhir cerita, ia selalu menyebutkan ‘kami ata lengge’ artinya kami orang miskin sekali. Namun, aku tak pernah percaya bahwa ‘lengge’ melekat dibenaknya dan menemani pertarungan hidupnya karena di setiap pagi, ketika pulang kampung, ia selalu membakar ubi jalar, pisang, di tungku kayu lalu menyuguhkan special untukku.

Ubi bakar dan pisang bakar hasil kebunnya disuguhkan dengan segelas kopi tuk yang juga hasil kebun. Nikmat sekali di santap di pagi hari mengusir dingin di samping perapian.

Aku merasa kaku awalnya, karena opa yang sudah sangat renta, seorang bapa mantuku, melayaniku, namun dengan kelakar khasnya, ia mengatakan,’ Oa, ini kasih seperti di sungai. Kamu dengar tidak, lagu gereja, Kasih Nya seperti di sungai…” kamipun sama-sama terkekeh.

Sejak saat itu, aku sungguh mengasihinya seperti ayahku sendiri dan tidak pernah kulihat kami menyantap nasi kosong. Setiap hari pasti ada sayur ubi atau pisang. Soal ikan, nomor ke berikut, tetapi kalau daging ayam kampung, telur ayam kampung pasti selalu tersedia. Begitulah keluarga ‘lengge’ menyambut tamu-tamu kota yang datang atau anaknya yang sudah sedikit berpangkat tiba. Hasil kebun dihidangkan semuanya, Tak pernah ditahan-tahan untuk besok besok atau minggu depannya.

BACA JUGA:  Festival Wolobobo Ngada 2024, Tampilkan Keanekaragaman Budaya

Pribadi bapa mantuku sangat sederhana, jika tertawa atau terkekeh, tersembul gigi tuanya yang cuma satu di depan. Lucu sekali. Selama 12 tahun aku menjadi anak mantunya, saya tidak pernah melihatnya marah. Sukanya, yang rileks-rileks seperti menyanyi dan guyon bersama anak-anak serta cucunya. Kius menjadi pembawa kegembiraan ketika guyonnya sudah mulai membias.

Di suatu senja, sembari menyeruput segelas kopi Manggarai, aku merayunya. “Opa, kapan ulang tahunnya opa? Kita rayakan eee.” Spontan ia terkekeh, sekali lagi giginya yang tinggal satu tersembul. Akupun ikut tertawa karena merasa lucu. Lalu aku menyambung, “opa, saya serius. Kali ini, kita potong ayam kampungnya saya, saya buat kue dan kita menyanyi selamat ulang tahun dengan anak anak serta cucu opa”. Kali ini, ia semakin menyembulkan rokoknya, asapnya terbang tertiup angin.

“Anak, saya tidak tau tanggal ulang tahunnya saya… Dulu orang tua kami tidak pernah mencatat dan mengingatnya..Dia hanya ingat musim tanam dan musim panen saja anak…”

Dahiku berkerut, lalu aku mencari tahu, “memangnya kenapa dengan musim opa??” Ia tertawa lucu lagi…… ” Begini anak, jadi, ketika kami lahir dulu, orang tua hanya ingat jam kelahiran kami dengan musim yang sedang terjadi di luar sana…”

BACA JUGA:  Lambang Tikus Korupsi Hilang, Diganti Bunga Kamboja di Tepi Kubur

Aku penasaran…. “terus, opa lahir di musim apa?” tanyaku..

“ Heheheeeee….anak, musim bagus waktu itu..” katanya sambil terkekeh lagi.

“Ia ka opa, musim anjing sedang kawin ka opa? hahahaaa candakuu…

Kami berduapun tertawa lepas….

“Anak,pokoknya saat saya lahir itu, semua senang dan alam juga senang terutama kopi,” tambahnya… saya mengangguk angguk..

” Anak, saat itu cerita nenekmu, saya lahir di musim bagus, musim rejeki sehingga saya ganteng tak jemu jemu ia berkelakar..” Saat itu musim, dimana kopi kopi Sewontong Raya sedang berbunga…bunganya putih menghiasi dahan dahannya, bunganya putih, mekar indah dipandang, bunganya putih memberi harapan kepada petani kopi bahwa sebentar lagi panenan kopi melimpah…” saya menjadi bisu mendadak mendengarnya…

Opa Kius

“Saat itu anak, sekitar bulan mei, juni, juli, bunga-bunga kopi mulai bermekaran… begitu saja, orang tua dulu mengabadikan hari saya dilahirkan…tambahnya sambil terkekeh lagi, merasa lucu karena tidak tepat mengingat tanggal lahirnya.

Lalu ia menambahkan… “sekarang ini, beberapa kebun kopi ditebas dan ditanami porang. Kopi yang sedari dulu dicintai, dirawat, dijaga, dibabat habis lalu porang-porang hidup subur menguasai perkebunan. Menanam porang menjamur ke mana mana. Tidak salah anak. Kopi, hanya tinggal kenangan. Harga porang bagus namun harga kopi kini semakin melangit. Ketika hendak minum kopi, terpaksa harus menjual porang dan membeli kopi yang harganya sudah 5 kali lipat harga sebelumnya.

Kopi, digemari, disukai namun minim dilestarikan tunas tunasnya… Sudah mulai susah melihat pohon kopi anak”. Bagi saya anak, lanjutnya, setiap kali menatap bunga kopi, setiap kali itu juga saya merayakan ulang tahun saya. Setiap kali saya melihat pohon kopi subur dan berbuah, setiap itu juga saya mensyukuri kesehatan dan hidup yang diberikan Tuhan. Dan setiap kali menyeruput kopi panas dengan sebatang rokok, menyembulkan asapnya tinggi tinggi, setiap itu juga saya merasa puas dan menang atas pengembaraan ini. Saat kopi membelai tenggorokan. Saya merasa sempurna sekali atas hidup yang dianugerahkan Tuhan ini. Anak, kami orang “lengge” kami juga menanam porang, tapi untuk beli ikan, tapi kami tidak menjual porang untuk membeli kopi.

BACA JUGA:  Mari Berpelukan Dalam Bingkai Cinta

Kopi itu hidup saya, panen kopi itu pestanya saya. Pesta ulang tahunnya saya. Setiap kali kopi tersedia, setiap itu juga hidupku jaya. Aku mendengar, kebijaksanaan “ata lengge” ini. Yang pertama bahwa ia tidak termakan rayuan pasar. Yang kedua, ia fanatik kopi, tanpa kopi opa jadi galau. Yang ketiga ia mensyukuri, mengabadikan dan menikmati semua yang sudah ditanamnya terutama kopi karena dengan melestarikan bunga kopi, itulah cara bagaimana opa merayakan ulang tahunnya.

Akhirnya, dari pada anak anak dan cucu bingung ketika opa hendak berangkat ke Kupang dengan pesawat, mengunjungi cucunya maka kami memutuskan untuk membuat KTP dengan tanggal lahir yang sama dengan oma 1 Juni 1950 hahahahahahahhh. Namun dirayakan di setiap musim kopi sedang berbunga. Dan diterima negara……Sahhh! Opa Kius, sehat selalu bersama semangatmu [Kaper, 28 Maret 2025. malam tanpa purnama)*

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button