BUMI MANUSIA

Hari Disabilitas Internasional, Membangun Kesadaran Baru Mencintai Sesama

FLORESGENUINE.com- Hari penyandang disabilitas internasonal yang diperingati setiap tanggal 3 Desember menjadi momentum penting bagi para penyandang disabilitas. Tak hanya sekedar sebuah perayaan, melainkan sebagai refleksi dalam menciptakan inklusivitas yang nyata.

Tulisan berikut ini hendak membahas seputar data jumlah penyandang disabilitas dan masalah-masalah yang dihadapi oleh para penyandang disabilitas serta membangun kesadaran baru di tengah masyarakat agar mencintai sesama teristimewa para penyandang disabilitas.

Data menunjukan bahwa jumlah penyandang disabilitas di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 38.650. Dengan klasifikasi berdasarkan jenis disabilitas yaitu cacat fisik 30.075 orang, cacat mental 7.267 orang dan cacat ganda (fisik dan mental) 1.308 orang.

Sedangkan klasifikasi berdasarkan umur sebagai berikut ; usia produktif (5-17) berjumlah 6.657 orang. Berumur 18-60 tahun 22.487 orang. Jumlah terendah pada usia anak-anak (0-4 tahun) sebanyak 1.053 anak. Data di atas merupakan gambaran umum kondisi penyandang disabilitas walaupun sesungguhnya, masih banyak penyandang cacat yang belum dicatat.

Jumlah ini tentu akan terus bertambah seiring perkembangan manusia. Setiap ada kelahiran, selalu ada kemungkinan anak lahir dengan kecacatan. Setiap waktu kehidupan manusia selalu ada kesempatan orang mengalami kecacatan, baik disebabkan oleh kecelakaan, bencana alam maupun akibat kelalaian manusia. Situasi ini mencakup beberapa aspek seperti budaya, sosial-ekonomi dan politik.

 Pertama, aspek Budaya. Masyarakat pada umumnya memandang kecacatan dari alam pikiran budaya tentang keharmonisan antara alam, manusia dan dunia adikodrati. Kecacatan merupakan akibat dari sikap atau perilaku manusia yang tidak menjaga keharmonisan. Sikap atau perilaku yang buruk kepada sesama. Alam dan kekuatan adikodrati dapat menimbulkan kerugian atau petaka yang bentuknya dapat berupa sakit, cacat bahkan kematian.

Dalam kebudayaan dan kepercayaan masyarakat Flores dan NTT umumnya, kecacatan masih dilihat sebagai sebuah aib, kutukan atau petaka akibat dosa manusia, sesama atau pun alam. Bila seorang anak lahir dengan kondisi cacat maka tetangga atau anggota masyarakat lainnya akan menilai dari apa yang mereka ketahui dari kehidupan orang tuanya atau keturunannya.

Jika kedua orang tuanya atau nenek moyangnya diketahui pernah berbuat dosa yang keji misalnya, maka anak yang lahir cacat itu akan segera dihubungkan dengan dosa-dosa yang telah dibuat oleh orang tuanya atau nenek moyangnya di masa lalu. Stigmatisasi seperti itu biasanya disampaikan oleh orang-orang yang dianggap memiliki ilmu hitam, yang telah bersekutu dengan setan untuk membunuh sesama.

Atau ditujukan kepada orang yang tidak menghargai orang tuanya sendiri. Pandangan yang sama biasa ditujukan kepada orang yang cacat setelah melahirkan, disebabkan oleh karena kecelakaan, jatuh dari pohon, tertindis batu atau bencana lainnya.

Dalam kepercayaan masyarakat Flores dan NTT pada umumnya, sejumlah hewan liar seperti: tokek, ular, katak dan kadal memiliki kekuatan gaib. Orang yang melukai binatang-bintanag tersebut dengan cara mematahkan kakinya atau merusak tubuh lainnya sehingga membuat binatang-binatang itu menderita maka orang tersebut akan mendapatkan balasan.

Orang yang mematahkan kaki, punggung atau tubuh binatang kerapkali mendapatkan penderitaan yang sama yakni menderita sakit pada tubuh yang sama. Jika kaki atau punggung binatang itu sakit atau patah,  orang yang membuatnya juga akan mendapatkan sakit yang sama di bagian kaki atau punggung. Bahkan, jika binatang itu mati, orang yang membuatnya juga akan meninggal. Dalam bahasa Manggarai disebut dengan istilah nggete. Nggete artinya, kekuatan dari suatu binatang untuk melindungi dirinya dengan cara membalas penderitaan yang dideritanya kepada kekuatan yang membuatnya menderita.

Kecacatan juga sering dipandang sebagai akibat dari melanggar beberapa ritual tertentu. Misalnya, membuka kebun baru tetapi lalai melakukan upacara adat meminta ijin kepada pemilik hutan (roh-roh yang mendiami hutan) maka ia akan dapat mengalami peristiwa yang menyebabkan terjadinya sakit, cacat bahkan meninggal. Orang yang melanggar ritual pembukaan kebun dapat saja mengalami peristiwa jatuh dari pohon, sakit yang tidak diketahui penyebabnya, tergelincir, tertindis oleh batu dan terluka karena barang tajam dan digigit oleh binatang berbisa.

 Kedua, aspek ekonomi dan sosial.  Banyak penyandang cacat datang dari keluarga miskin dan tinggal di pedesaan. Mereka menghadapi berbagai tantangan seperti rendahnya pendapatan keluarga, jumlah tanggungan (biaya kehidupan) banyak. Mereka lebih banyak bergantung pada satu sektor utama yakni dari usaha pertanian. Situasi ini diperparah dengan tidak memiliki lahan yang cukup dan rendahnya kemampuan (skill) dan sedikitnya alternatif sumber pendapatan.

Kemiskinan adalah penyebab dan sekaligus akibat dari kecacatan. Kemiskinan dan kecacatan merupakan dua faktor yang saling mempengaruhi dalam memberi kontrtibusi meningkatnya kerentanan dan kekucilan terhadap penyandang cacat. Penyandang cacat pada umumnya menemukan situasi yang sulit dalam berjuang mempengaruhi perubahan dalam hidupnya, seperti untuk mendapatkan pendidikan di satuan pendidikan, mencari pekerjaan, menikmati kehidupan untuk berkeluarga dan kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan sosial.

BACA JUGA:  Pesona Buriwutun, Menikmati Keunikan Budaya dan Keindahan Panorama Alam

Keluarga miskin yang mempunyai penyandang cacat tidak dapat memenuhi gizi dan perawatan kesehatan kepada anaknya yang cacat. Para penyandang cacat seringkali menemui hambatan dalam keluarga, dimana anak-anak yang tidak cacat sedikit diberikan perhatian oleh orang tuanya sedangkan perhatian pada anak cacat sangat kurang. Anak yang cacat masih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan baju yang baru, sandal baru atau kebutuhan yang lainnya. Begitu pula ketika anak yang tidak cacat itu  mengalami sakit. Orang tua segera membawanya untuk berobat. Sedangkan pada anak penyandang cacat sedikit sulit untuk mendapatkan perhatian seperti itu. Bahkan anak penyandang cacat dikurung di dalam rumah. Banyak anak penyandang cacat tidak mendapatkan perawatan medis akan kecacatannya.

Para penyandang cacat sering mendapatkan diskriminasi baik dalam ruang lingkup keluarga dan masyarakat. Mereka terpinggirkan dan hak-hak mereka seringkali tidak diakui. Mereka dianggap sebagai beban dalam keluarga. Diskriminasi seperti ini lebih berat lagi ketika yang cacat itu adalah perempuan. Perempuan penyandang cacat mendaptkan dampak ganda. Menghadapi diskriminasi karena perempuan ditambah lagi dengan kecacatan yang dialaminya. Perempuan penyandang sering tidak mendapatkan perhatian serius tentang kehidupannya termasuk kesehatan reproduksi. Lebih tepat dikatakan perempuan penyandang seringkali diabaikan.

Para penyandang cacat, keluarga maupun masyarakat yang tinggal di pedesaan kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang kecacatan, khususnya yang berkaitan dengan penyebab, usaha pencegahan dan perawatan kecacatan (medis dan rehabilitasi). Kecacatan masih banyak dipahami dari aspek budaya seperti yang dijelaskan di atas. Pada umumnya mereka tidak mengetahui apa itu kecacatan, bagaimana cara mencegah dan tindakan-tindakan apa yang harus dilakukan untuk mengurangi resiko kecacatan.

Ketiga, kurang tersedianya sarana  dan akses ke pelayanan kecacatan. Masih banyak sarana dan prasarana umun yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan penyandang cacat seperti sarana pendidikan, ketrampilan dan rehabilitasi kecacatan. Di Propinsi Nusa Tenggara Timur sudah memiliki sekolah luar biasa, sekolah untuk anak autis, tempat-tempat fisioterapi dan rehabilitasi, klinik-klinik alternatif  yang banyak dibangun oleh pemerintah maupun swasta (kaum biarawan dan biarawati) namun masih belum dikenal secara luas dikalangan masyarakat pedesaan.

Menurut data survey yang dilakukan oleh seorang Volunteer Skills Share (VSO) Rosalien Rutten asal Belanda yang pernah bertugas di St. Damian Cancar menunjukan data, sebanyak 25 tempat rehabilitasi yang menyebar di beberapa kabupaten di NTT. Kabupaten Manggarai memiliki satu tempat rehabilitasi yakni St. Damian Cancar. Kabupaten Ngada ada 4 buah (semuanya milik susteran) ; Centrum Rehabilitasi Bajawa, Centrum Rehabilitasi Boawae, Cenrum Rehabilitasi MUNDEMI, Centrum Rehabilitasi Baonio (susteran). Kabupaten Ende, tidak memiliki tempat rehabilitasi. Kabupaten Maumere ada 5 tempat ; Panti Asuhan Maria Stella Maris, Mama Belgi, Centrum Rehabilitasi Wairklau, St. Dymphna/ Yayasan Yasbida, Centrum Rehabilitasi Nita. Kabupaten Flores Timur ; Sr Hendrina PRR. Kabupaten Lembata ; RS Beato Damian (CIJ)-Kusta. Kabupaten Alor; Ibu Gizela Borowka. Kupang; RS Merdeka (SSpS), The Leprosy Mission International (CBR NTT), Centrum Rehabilitasi Kupang, Pusat Rehabilitasi Kusta NAOB, Centrum Rehabilitasi Atambua. Di Waingapu ; Centrum Rehabilitasi Waingapu, Centrum Rehabilitasi Waikabubak, Waitabula.

Sekolah luar biasa (SLB) berjumlah 17 buah. 12 diantaranya sekolah negeri. Masih banyak daerah yang belum membangun sekolah bagi para penyandang cacat. Kabupaten Manggarai ada dua SLB yaitu ; SLB A/B Karya Murni Ruteng dan SDLBN (sekolah dasar luar biasa negeri), Kabupaten Manggarai Timur dan Manggarai Barat belum ada. Kabupaten Ngada; SDLBN Bajawa. Kabupaten Ende ; SDLBN Ende. Kabupaten Sika; SLB C (cacat mental) Bakti Luhur, SDLBN Beru, SLB C Maumer. Kabupaten Flores Timur; SDLBN Weri Flores Timur. Kabupaten Alor; SDLBN Mebung Alor, Kupang; SDLBN Kupang, ,SLB Asuhan Kasih, SLBN Kupang, SD Inpres Perumnas III kelas ekslusif C Kupang. Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS); SDLBN Nunumeu. Kabupaten Timor Tengah Utara; SDLBN Benpasi Kefamenanu. Kabupaten Belu; SDLBN Tenubot Belu. Di Sumba; SDLBN Waingapu dan SDLBN Waekabubak.

Keberadaan tempat pelayanan baik itu pendidikan maupun rehabilitasi para penyandang cacat tersebut berada di kota, sehingga belum dapat dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat, khususnya penyandang cacat yang tinggal di pedesaan. Para penyandang cacat yang tinggal di pedesaan tidak mendapatkan informasi keberadaan dari tempat-tempat pelayanan tersebut.

Selain kurangya informasi akibat sulitnya akses dan miskinnya infrastruktur transportasi seperti jalan dan pengangkutan, masih banyak daerah yang belum memiliki akses jalan raya. Mobilitas ke tempat pelayanan sangat sulit. Masyarakat pedesaan harus berjalan kaki sampai ke jalan umum untuk mendapatkan kendaraan. Mereka pun harus mengeluarkan biaya cukup besar untuk membayar transportasi atau logistic makanan. Situasi ini tentu lebih sulit lagi bila dihadapkan kepada para penyandang disabilitas.

BACA JUGA:  LPEI dan PT BCA Kucurkan Rp1,05 Triliun Bangun Marina Labuan Bajo

Situasi di atas berdampak bagi para penyandang cacat seperti mereka terlambat mendapatkan pelayanan atau pendidikan. Kecacatan dianggap sebagai masalah private (pribadi) dari penyandang cacat dan keluarganya. Masyarakat di NTT dalam mencari tempat perawatan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, informasi, biaya dan jarak ke tempat pelayanan. Kurangnya pengetahuan kecacatan menyebabkan para penyandang cacat atau keluarganya terlambat dalam mendeteksi kecacatan. Mereka terlambat memutuskan untuk pergi meminta perawatan di tempat perawatan atau terlambat mendapatkan intervensi dini. Situasi ini mengakibatkan dampak cacat fungsional relatif berlangsung dalam waktu yang lama, juga sangat sulit untuk dirubah.

Kuatnya kepercayaan kecacatan adalah hasil dari dosa atau korban dari ilmu sihir (santet) membuat keluarga atau penyandang cacat mencari perawatan di dukun kampung. Dukun dianggap sebagai orang yang memiliki kekuatan supranatural  untuk merawat sakit atau masalah-masalah kesehatan, dipercaya mampu melihat kasus-kasus secara keseluruhan dan memiliki ramuan tradisional yang menyembuhkan.

Dukun kampong adalah tempat pertama kali bagi warga untuk mendapatkan perawatan. Hal ini juga dipermudah karena dukun berada di sekitar mereka dan pelayanan yang diberikan oleh dukun tidak menuntut bayaran. Jika perawatan yang dilakukan oleh dukun tidak membawa hasil, pilihan lain yang diambil adalah mencari dukun lain. Setelah banyak dukun dilewati dengan tidak ada hasil kemudian baru diputuskan untuk mencari perawatan di rumah sakit atau di tempat rehabilitasi. Proses seperti ini membutuhkan waktu yang sangat panjang.

Keterlambatan dalam mendapatkan pelayanan perawatan kecacatan sangat kompleks karena di dalamnya mencakup masalah ekonomi dan jarak yang jauh. Kemiskinan menyebabkan orang tidak dapat pergi mendapatkan perawatan kecacatannya. Jarak yang jauh menyebabkan biaya yang sangat tinggi yang sudah tentu sangat sulit dijangkau oleh mereka yang tidak memiliki dana yang cukup.

Situasi seperti ini juga terjadi pada saat orang mencari tempat pendidikan. Kita temukan fakta dimana banyak penyandang cacat yang tidak mendapatkan pelayanan terapi, operasi kecacatan (bibir sumbing dan kaki bengkok), alat-alat bantu kecacatan dan banyak pula yang tidak mendapatkan pendidikan.

The United Nations Departemen For International Development, Disability, Poverty and Development (DFID) mengatakan bahwa sebanyak lima puluh persen kecacatan dapat dicegah dan secara langsung berkaitan dengan lingkaran kemiskinan.

Pada negara-negara berkembang, kecacatan sering dipandang oleh mereka yang tidak menyandang cacat (orang normal) sebagai sebuah tragedi, atau kehilangan atau kekurangan. Orang pada umumnya berpikir bawha kecacatan itu adalah masalah pribadi dari para penyandang cacat dan keluarganya sendiri. Warga masyarakat lain tidak ingin mengambil peran untuk terlibat mencari jalan keluar bersama dan pada umumnya mereka menunjukan sikap negatif terhadap kecacatan sebagai prasangka dan menakutkan.

Sikap-sikap negatif sering menghalangi usaha para penyandang cacat untuk mencapai pemenuhan potensi yang ada dalam dirinya. Stigma yang ada di lingkungan sekitar juga mempengaruhi proses pembentukan kebijakan dan inclusivisme pada semua tingkatan lingkungan masyarakat.

Tantangan terbesar bagi penyandang cacat datangnya bukan dari keterbatasan fungsi tubuh tetapi prasangka dan penolakan dari lingkungan teman-teman, masyarakat dan keluarga.  Prasangka, takut dan sikap negatif menimbulkan sebuah masalah dan tugas kita adalah bagaimana memahami mengapa sikap itu ada dan bagaimana hal tersebut dirubah. Usaha tersebut harus dimulai dari orang cacat itu sendiri.

 Membangun Kesadaran Baru, Mencintai Sesama

Hal yang paling penting dalam membangun upaya untuk membantu para penyandang cacat adalah membangun kesadaran (awareness).Membangun kesadaran bagi seluruh masyarakat bertujuan untuk mengubah cara pandang (mindset) masyarakat tentang kecacatan. Kecacatan selama ini terlanjur dipandang sebagai sesuatu hal yang menyedihkan, dosa, aib bagi keluarga dan juga dipandang sebagai suatu penyakit. Pandangan seperti ini mengakibatkan penanganan terhadap kecacatan yang ada dilakukan dengan dua model, yakni model belas kasihan dan medis.

Model belas kasihan memandang kecacatan terletak pada penyandang cacat itu sendiri. Tidak dapat berjalan tanpa tongkat, tidak dapat melihat, tidak dapat mendengar tanpa alat bantu. Dengan kondisi seperti ini diasumsikan kebutuhan utama penyandang cacat adalah orang yang merawatnya dan membantu, perlindungan, perawatan, belas kasihan, sekolah khusus dan bantuan dana.

Model medis memandang kecacatan berdasarkan hasil diagnosa, apa yang salah dengan orang tersebut. Penyandang cacat dipandang sebagai seorang pasien yang membutuhkan perawatan medis. Dalam model medis, kebutuhan utama penyandang cacat adalah pelayanan medis (rumah sakit), dokter spesialis, perawat dan terapis. Karena penyandang cacat dianggap berbeda dari apa yang dianggap normal, maka mereka pun dianggap membutuhkan pelayanan khusus walaupn pelayanan khusus itu masih dirasa sangat sulit.

BACA JUGA:  Penjabat Gubernur : Prospek Investasi di NTT Sangat Terbuka

Membangun kesadaran tentang kecacatan di tengah masyarakat dapat dilakukan oleh berbagai pihak, seperti pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan yayasan-yayasan yang menangani kecacatan. Yang terjadi selama ini, masing-masing pihak bekerja sendiri-sendiri berdasarkan konsepnya masing-masing. Pemerintah melalui dinas sosialnya membantu penyandang cacat dengan sumbangan uang, beras dan alat bantu lainnya. Yayasan, seperti panti asuhan membantu penyandang cacat dengan mengambil para penyandang cacat dari tengah masyarakat untuk tinggal di dalam panti. Lembaga swadaya masyarakat lebih banyak melakukan kegiatan membantu penyandang cacat dengan pemberian alat bantu, bantuan operasi dan advokasi, sementara di satu sisi tidak memiliki tenaga dan dana yang cukup.

Maka sangat penting dilakukan ke depan adalah bagaimana membangun jaringan kerja sama yang saling melengkapi dan membutuhkan. Semua stakeholder harus duduk bersama untuk mendiskusikan bagaimana kecacatan itu semestinya dilihat dan bagaimana membangun kesadaran masyarakat agar mereka memahami tentang kecacatan. Tidak perlu berpikir siapa yang lebih berperan. Dalam duduk bersama akan mendiskusikan apa yang akan dilakukan bersama ke depan.

Harapannya stakeholder terlibat secara bersama-sama dalam upaya membangun kesadaran melalui kampanye, pertemuan terbuka, pementasan teater dan majalah, brosur atau pun pamflet. Semua usaha itu bertujuan munculnya kesadaran masyarakat tentang kecacatan untuk memprakarsai lahirnya pendekatan model  sosial.

Model sosial adalah suatu model yang memandang kecacatan secara positif. Dalam model sosial penyandang cacat dipandang sebagai orang yang dapat berjalan tanpa tongkat, dapat melihat dan tidak harus di tempatkan pada tempat-tempat yang khusus. Kesempatan (oppurtunity) diberikan secara luas kepada penyandang cacat untuk mengembangkan bakat dan kemampuan yang dimilikinya. Lingkungan dibangun dengan memperhatikan kebutuhan penyandang cacat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara-cara yang sederhana sepert; sekolah mau menerima anak-anak yang cacat, membuat jalan, pintu kelas, toiliet  yang dirancang dapat diakses oleh anak-anak yang menggunakan kursi roda.

Setelah membangun kesadaran, hal kedua adalah melakukan pendataan dan assesment kebutuhan penyandang cacat. Bantuan atau intervensi yang diberikan seringkali tidak berdasarkan survey atau wawancara langsung dengan para penyandang cacat. Bantuan diberikan hanya berdasarkan asumsi para pemberi bantuan. Kita tidak memiliki data yang akurat tentang kebutuhan penyandang cacat. Penyandang cacat tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan kebutuhannya.

Semua stakeholder, pemerintah, LSM-LSM dan organisasi masyarakat yang bekerja dalam isu kecacatan perlu memikirkannya secara bersama-sama. Ini sesuatu hal yang penting agar konsep yang dibangun untuk memberdayakan penyandang cacat dibuat berdasarkan kebutuhan penyandang cacat itu sendiri.

Penyandang cacat adalah ahli dalam kecacatannya. Karenanya kita perlu mendiskusikan pengalaman, kebutuhan dan prioritas mereka. Bertemulah secara langsung dengan para penyandang cacat dan pahamilah kondisi mereka dalam perspektif yang luas. Tanyakan kepada penyandang cacat tentang diskriminasi yang didapatnya dan perubahan apa yang ingin dikehendakinya. Sebaik apa pun usaha yang dilakukan, jika usaha tersebut tidak dibutuhkan maka itu menjadi sesuatu yang tidak bernilai. Memberi bantuan uang dan alat bantu sangatlah penting. Tetapi yang lebih penting adalah kalau bantuan itu dibutuhkan oleh penyandang cacat berdasarkan penyandang cacat itu sendiri.

Ulasan di atas menunjukan kecacatan merupakan isu yang harus ditangani segera saat ini. Kecacatan harus menjadi bagian dalam perumusan kebijakan di semua tingkat pemerintahan. Isu kecacatan tidak hanya mengenai para penyandang cacat, tetapi mencakup semua aspek seperti; pemahaman tentang kecacatan, keterlibatan masyarakat, hak asasi manusia dan partisipasi.

Kecacatan dipikirkan secara khusus, ditargetkan dan memiliki mainstreaming atau pencakupan dan program yang terintegrasi. Pendekatan, kebijakan dan program beradaptasi secara cepat dalam mengelola isu kecacatan. Kebijakan dalam bentuk pemberian bantuan berupa uang, beras dan barang-barang yang lain perlu dipikirkan kembali tingkat efektivitasnya.

Para penyandang cacat sesungguhnya tidak membutuhkan belas kasihan tetapi mereka membutuhkan perhatian untuk mendapatkan kesempatan menghirup udara kebebasan. Mereka rindu mendapatkan pengetahuan, ketrampilan dan mengaktualisasikan diri beserta talenta yang ada padanya.

Semua kerinduan itu seperti berada di tempat nan jauh. Lalu siapakah yang akan mengobati semua kerinduan itu? Kita semua. Sahabat-sahabat penyandang disabilitas adalah bagian dari kita. Mereka adalah “Kita Juga”. Dalam diri mereka kita ada dan dalam diri kita mereka pun ada. Apakah ini hanya sebuah kiasan? Inilah sesungguhnya makna dari kehidupan ini untuk saling memperhatikan dengan penuh kasih. [kis/fg]

 

 

 

 

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button