PARIWISATA

Konservasi dan Keberlanjutan Kepariwisataan Hadapi Tantangan yang Kompleks

FLORES GENUINE – Labuan Bajo Flores dan sekitarnya meski memiliki potensi besar sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP), menghadapi tantangan konservasi yang kompleks. Over kapasitas di Taman Nasional Komodo, perubahan iklim global dan kerusakan terumbu karang menjadi ancaman serius bagi kelestarian lingkungan dan biodiversitas.

Keterbatasan sumber daya manusia dan kelembagaan yang lemah semakin memperparah situasi dan menghambat upaya konservasi yang efektif. Konsekuensi dampak berantai dari permasalahan tersebut tentu mengkhawatirkan keberlanjutan pembangunan. Over kapasitas mengancam habitat Komodo dan memicu konflik dengan manusia, sementara perubahan iklim mengancam ketahanan pangan dan mengganggu bahkan merusak ekosistem penghidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood).

Kerusakan terumbu karang berdampak pada keanekaragaman hayati laut dan mata pencaharian nelayan. Tantangan ini menuntut tindakan segera dan komprehensif, termasuk pengelolaan wisata berkelanjutan, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, restorasi terumbu karang serta penguatan kapasitas SDM dan kelembagaan.

Over kapasitas pariwisata di Taman Nasional Komodo, peningkatan jumlah pengunjung, kerusakan habitat komodo dan konflik manusia-satwa, keterbatasan infrastruktur, kurangnya kapasitas pengelolaan, penegakan hukum yang lemah dan belum optimalnya integrasi visitor management perubahan iklim, peningkatan permukaan air laut, pengelolaan pengunjung (visitor management) yang lebih baik, restorasi habitat, penegakan hukum yang tegas, pengembangan pariwisata alternatif, tata ruang wilayah, penyebaran pusat pertumbuhan ekonomi, sosial budaya di mainland dan daerah-daerah sekitar Flores, Lembata, Alor.

Kerusakan terumbu karang, sedimentasi, pencemaran, penangkapan ikan yang merusak, keterbatasan pengetahuan masyarakat, kurangnya kesadaran akan perubahan iklim, peningkatan asam laut restorasi terumbu karang, pengelolaan kawasan pesisir yang berkelanjutan, penegakan hukum yang tegas, peningkatan kesadaran masyarakat atas pentingnya terumbu karang, dan lemahnya penegakan hukum potensi ekowisata, blue, green, circular and regenerative tourism.

Peningkatan suhu permukaan laut, perubahan pola curah hujan, peningkatan frekuensi bencana alam Ketergantungan pada sumber daya alam, rendahnya kesadaran masyarakat. Pemanasan global dan emisi gas rumah kaca. Upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim,

pengembangan sistem peringatan dini bencana, pembangunan infrastruktur yang tahan bencana.

BACA JUGA:  Festival Lamaholot, Jembatan Melestarikan Budaya dan Persaudaraan

Perhitungan jejak karbon untuk aktivitas kepariwisataan di Labuan Bajo Flores melibatkan seluruh stakeholder dan didukung regulasi Pemda/ Pemprov.  Keterbatasan Sumber Daya dan Kurangnya Ambiens Konservasi (Man of Biosphere & World Heritage Site). Keterbatasan SDM, kelembagaan yang lemah, dukungan anggaran yang tidak memadai serta kurangnya kesadaran bahwa Komodo dan Labuan Bajo merupakan kawasan konservasi dan hidup.

Tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya kapasitas pengelolaan, kelembagaan, pihak swasta dan masyarakat serta birokrasi yang kompleks. Peningkatan populasi manusia, perubahan tata guna lahan, keterbatasan sumber daya global untuk konservasi, peningkatan kapasitas SDM, reformasi kelembagaan, penguatan kerjasama dengan pihak eksternal. Promosi konservasi dan keberlanjutan melalui event dan kegiatan olahraga juga dapat menjadi cara ampuh meningkatkan kesadaran masyarakat.

Pembentukan Badan Peduli Taman Nasional dan Perairan di sekitarnya oleh masyarakat dan berbagai pihak untuk meningkatkan nilai konservasi. Tata ruang dan lanskap Labuan Bajo, sebagai destinasi pariwisata super prioritas tengah menghadapi tantangan tata ruang yang kompleks dan multidimensi.

Pembangunan yang masif dan tidak terkendali telah mengakibatkan degradasi lanskap alami, mengancam integritas ekosistem pesisir dan membatasi akses masyarakat terhadap ruang publik. Ketimpangan pembangunan yang terkonsentrasi di Kawasan Taman Nasional dan Kecamatan Komodo berpotensi memicu konflik sumber daya dan tekanan lingkungan yang berlebihan.

Absennya penerapan arsitektur lokal yang berkelanjutan dan minimnya pemanfaatan energi terbarukan semakin memperparah permasalahan, mengikis identitas kultural Labuan Bajo (Bajo, Bugis, Bima dan Manggarai) dan berkontribusi terhadap perubahan iklim global. Dampak dari tata ruang yang tidak berkelanjutan ini bersifat multi-faceted atau multi segi. Kerusakan lingkungan, erosi, dan hilangnya keanekaragaman hayati mengancam keberlanjutan ekosistem, sementara konflik sosial akibat minimnya akses publik dan kemacetan lalu lintas akibat keterbatasan transportasi umum dapat mengganggu kenyamanan wisatawan dan penduduk lokal.

BACA JUGA:  400 Hektar Hutan Nggorang Bowosie, Pengembangan Pariwisata Berkualitas
Panorama sunset yang dapat dinikmati oleh para wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo, Flores. (foto : dok/floresgenuine)

Jika tidak ditangani secara komprehensif, permasalahan tata ruang dan lanskap, ini dapat mengancam keberlanjutan pariwisata Labuan Bajo, mengurangi daya tariknya sebagai destinasi pariwisata dan menghambat kesejahteraan masyarakat setempat. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang dan lanskap yang holistik dan berkelanjutan, dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dan mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi menjadi sangat mendesak.

Selain itu, penyebaran pertumbuhan yang merata ke seluruh Flores juga perlu dipertimbangkan untuk mengurangi tekanan pada wilayah tertentu dan memastikan pembangunan pariwisata yang inklusif dan berkeadilan.

Tata ruang dan lanskap yang tidak terkendali. Konstruksi tidak sesuai kontur, pelanggaran batas bangunan, minimnya akses publik konstruksi berlebih, tidak ada panduan desain arsitektur lokal, dan penegakan peraturan yang lemah, penyebaran pertumbuhan ke seluruh Flores, RIPDN yang tidak komprehensif (fokus hanya pada Taman Nasional dan Kecamatan Komodo) Perencanaan tata ruang dan lanskap yang komprehensif (RIPDN Komodo Labuan Bajo dan Flores) dan berkelanjutan, melibatkan semua pemangku kepentingan, memperhatikan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi serta karakteristik keunikan dan otentisitas Labuan Bajo Flores dan sekitarnya sebagai outstanding values proposition.

Belum sinkronnya keterpaduan tata ruang pesisir/perairan, terestrial, dan tata ruang sosio budaya. Masih adanya ego sektoral dan terbatasnya sumber daya. Masih ada potensi yang dapat memperkuat keterkaitan pembangunan sektoral dan perwilayahan di Flores, Nusa Tenggara Timur, integrasi tata ruang dan penciptaan: new tourism area/tourism cluster, Labuan Bajo dan kawasan pesisir di sekitarnya, sebagai destinasi pariwisata bahari yang sedang berkembang pesat, menghadapi tantangan signifikan dalam hal infrastruktur dan keselamatan pelayaran. Keterbatasan infrastruktur pelabuhan, penggunaan kapal yang tidak sesuai standar, dan rendahnya kesadaran akan keselamatan pelayaran berkontribusi pada peningkatan risiko kecelakaan laut dan kerusakan lingkungan.

BACA JUGA:  Meretas Segi Tiga Emas Pariwisata NTT

Pembangunan yang tidak terkendali di wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil, termasuk vila dan hotel yang melanggar batas sempadan pantai, memperparah permasalahan ini, mengancam ekosistem laut yang rentan dan membatasi akses publik. Lemahnya pengawasan di wilayah perairan semakin memperburuk situasi, sehingga isu-isu ini seringkali luput dari perhatian pemerintah daerah.

Kurangnya perencanaan yang matang dalam pengelolaan pariwisata bahari di Labuan Bajo juga menjadi perhatian serius. Kurangnya kesadaran pihak pengelola kapal terhadap pentingnya keselamatan pelayaran, minimnya informasi mengenai lokasi diving dan snorkeling, serta ketiadaan peringatan dan persyaratan yang jelas dalam aktivitas tersebut, meningkatkan risiko kecelakaan bagi wisatawan. Dampak negatif dari permasalahan ini tidak hanya terbatas pada kerugian materi dan korban jiwa, tetapi juga mengancam keberlanjutan pariwisata dan lingkungan di Labuan Bajo.

Oleh karena itu, peningkatan standar keselamatan dan pengelolaan wisata bahari yang terintegrasi, termasuk peningkatan infrastruktur pelabuhan, standarisasi kapal wisata dan peningkatan kesadaran akan keselamatan pelayaran, menjadi sangat mendesak. Kolaborasi aktif antara pemerintah daerah, pemangku kepentingan, dan masyarakat lokal juga diperlukan untuk memastikan pembangunan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab di wilayah kepulauan, baik di dalam maupun di luar Taman Nasional.* [sumber “buku putih” BPOLBF], selesai.

 

 

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button