BUMI MANUSIA

Mengenal Filosofi Gendang One Lingko Pe’ang Orang Manggarai

Orang Manggarai pada umumnya memiliki kearifan-kearifan lokal dalam hal penguasaan dan sistem pengelolaan sumber daya alam terutama tanah. Mereka mengenal sejumlah istilah dan sebutan yang berkaitan dengan sistem dan kewenangan dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam seperti sebutan Tua Golo, Tua Teno dan Mbaru Gendang.

Istilah-istilah itu berhubungan erat dengan sistem penguasaan dan pengelolaan tanah dan sumber daya alam lainnya yang masih berlaku dan dipraktekan sampai sekarang. Dalam menjalankan pemerintahan lokal atau masyarakat adat, orang Manggarai melandaskan pada lima azas utama sebagai way of life orang Manggarai yakni :

Pertama, mbaru bate kaeng yakni rumah sebagai tempat tinggal. Kedua, uma bate duat yaitu adanya lahan atau lingko (tanah persekutuan adat) sebagai sumber kehidupan. Ketiga, natas bate labar yaitu adanya halaman rumah sebagai tempat untuk bermain dan untuk mengadakan ritus-ritus adat atau aktivitas lainnya. Keempat,  wae bate teku yakni ketersedianya air sebagai salah satu sumber kehidupan yang digunakan untuk mandi, memasak, mencuci dan mengairi persawahan dan kelima, compang yaitu tugu sebagai altar atau tempat untuk mengadakan upacara atau ritus-ritus adat yang menghubungkan manusia dengan alam, manusia dengan pencipta serta manusia dengan sesama manusia lainnya.

Persekutuan dan kekerabatan orang Manggarai terkenal sangat kuat dan masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan. Jika menghadapi persoalan, mereka cenderung mengedapankan penyelesaiaan adat, ketimbang hukum positif, meskipun di sejumlah wilayah, karifan-kearifan lokal ini kian tergerus.

Demikian pula jika ada gagasan atau rencana untuk pembagian tanah, mereka biasanya datang kepada tua kilo atau tua panga (kepala suku) atau bisa langsung kepada tua golo (kepala kampung) untuk bermusyawarah dan bermusyawarah kampung atau dikenal dengan istilah lonto leok bantang cama  (duduk melingkar sambil musyawarah bersama/sidang adat).

Dalam penyelesaian suatu konflik, baik menyangkut  konflik  tanah maupun konflik sosial lainnya, penyelesaiannya bersifat berjenjang. Para pihak bisa menyelesaikan pada tingkatan masing-masing kilo atau masing-masing panga, tergantung pada muatan dan jenis dan pelanggarannya.

Setiap persoalan yang terjadi, biasanya dapat diselesaikan secara damai dengan mekansime hambor atau perdamaian adat. Keputusan yang diambil selalu dengan “kata salah atau benar” bukan kata “kalah atau menang”.

BACA JUGA:  Festival Jelajah Maumere, Ajang Promosi dan Pelestarian Budaya

Setiap keputusan selalu berdasarkan pada prinsip ipo ata poli wa tanan toa nganceng lait kole (apa yang telah diputuskan bersama, tidak boleh digugat kembali). Demikian pula sanksi adat terhadap pelanggar atau pelaku, tidak berupa uang melainkan berupa benda atau hewan seperti tuak, ayam, anjing, babi, sapi, kerbau dan sebagainya.

Dalam hal penguasa tanah adat merupakan kewenangan tua golo. Tua golo dapat melimpahkan kuasanya kepada tua teno untuk membuka atau membagi suatu lingko (tanah adat). Tua teno inilah yang mengatur gendang one lingko pe’ang yakni mulai dari rumah adat sampai pembagian tanah serta struktur adat dan aturan wono (upeti) diatur oleh tua teno.

Sebelum suatu lingko atau tanah komunal adat dibagi, tua teno yang mendiami suatu rumah adat (mbaru gendang) mengumpulkan semua anggota suku guna bermusyawarah bersama atau lonto leok bantang cama untuk mengatur pembagian tanah secara adil dan bijaksana. Ada beberapa jenis lingko (tanah adat) di Manggarai:

Lingko rame/lingko randang yakni tanah yang dibuka dengan ritual adat dan ditandai dengan pemotongan korban seekor kerbau atau babi berbulu merah (ela ruang). Tanah adat yang dibuka dengan mengorbankan kerbau tersebut disebut lingko rona sedangkan tanah adat dengan mengorbankan seekor babi merah disebut lingko wina.

Kemudian, diantara salah satu lingko lagi dijadikan sebagai tempat untuk kegiatan ritual adat dengan mengorbankan seekor babi. Upacara ini dilakukan setiap tahun yang disebut penti yakni upacara adat syukuran atas hasil panen. Sedangkan lingko saungcue yakni tanah adat yang dibuka dengan ritual adat dengan mengorbankan seekor babi. Biasanya, bagi warga yang mendapatkan tanah pembagian tersebut diwajibkan melakukan ritual adat setiap tahun dengan mengorbankan satu ekor ayam di atas tanah mereka masing-masing.

BACA JUGA:  Memotret Situasi Kehidupan Para Petani Manggarai Barat

Dalam pengelolaan tanah lingko, terdapat tiga mekanisme pembagian yakni mekanisme lodok yakni pembagian tanah dengan bentuk segi tiga. Tua teno yang bertugas melakukan pembagian berdiri tepat di tengah (mangka) atau di titik pusat tanah tersebut dan mengatur pembagian mulai dari dalam menuju keluar ke arah batas luar (cicing lingko).

Istilah lain yakni neol. yakni pembagian tanah adat oleh beberpa orang warga yang dilakukan secara adil dan bijaksana dalam bentuk segi tiga dalam areal yang kecil dengan mendapat persetujuan tua teno dan tua golo. Pembagian dengan sistem tobok yakni pembagian tanah sisa dari pembagian  lingko lodok oleh beberapa orang warga di luar batas tanah adat (cicing lingko).

Setiap tahun, komunitas adat atau golo/beo merayakan penti. Agar pesta terselenggara dengan baik, tua teno yang mengatur pembagian upeti (wono) berupa uang, beras, tuak, babi kepada setiap suku atau warga. Biasanya, dalam pesta penti ini, warga melakukan beberapa ritual adat seperti : barong wae yakni semua warga melakukan upacara adat di mata air, tempat warga sehari-hari menimbah air.

Upacara ini sebagai ucapan syukur kepada Tuhan dan alam yang telah memberikan air untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi seluruh warga. Biasanya, dalam ritus adat ini dikorbankan seekor ayam berwarna putih. Torong ela wee penti yaitu setelah warga pulang dari mata air, mereka langsung melakukan ritual adat di rumah gendang untuk menghormati dan mengenang para leluhur yang telah meninggal dunia. Biasanya, dalam ritus ini, dikorbankan satu ekor babi.

Karong lodok yakni semua warga turun ke lingko rame/lingko randang diiringi  gong dan gendang  dan melakukan ritual adat dengan korban seekor babi di pusat moso atau tepat dititik tengah tanah adat  sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan yang telah memberi mereka hasil dari tanah yang mereka kerjakan.

BACA JUGA:  Mengenang Uskup Emeritus Mgr. Gerulfus Kherubim Pareira, SVD
Mbaru gendang, rumah adat khas orang Manggarai. (foto : ist)

Torok ela one compang yakni setelah melakukan ritual karong lodok warga kembali berkumpul di tengah halaman kampung dan melakukan ritual adat di compang (tugu yang didirikan di tengah halaman rumah) dengan korban seekor babi sebagai ungkapan syukur atas kebaikan dan  kemurahan Tuhan dan leluhur yang telah menjaga, melindungi dan memberi mereka hidup.

Menurut penuturan tua-tua adat, dari dulu kala tidak ada perang tanding antar golo di Manggarai dalam rangka menaklukan satu golo atau menguasai apalagi menjajah golo lainnya. Hubungan antara golo diwarnai oleh persamaan derajat seperti dalam ungkapan : poti woleng beo, darat wole’ng tanah.

Dalam pengertian murni tradisional setiap golo bersifat independen dalam bidang kekuasaan dan hak atas tanah. Antara golo, teno, rumah gendang dan lingko merupakan satu kesatuan kehidupan orang Manggarai yang tak bisa dipisah-pisahkan dan telah membentuk satu kesatuan social politik dan spiritual yang utuh.

Lingko yang berbentuk bundar atau lingkaran dapat dilihat hubungannya dengan golo. Istilah golo itu sendiri berarti bukit atau juga kampung. Maka, dari atas bukit setiap orang dapat melihat dengan jelas ke arah bawah atas dasar bukit yang membentuk sebuah sebuah lingkaran.

Orang Menggarai juga mengenal tata ruang.  Sistem penataan ruang orang Manggarai membagi wilayah berdasarkan empat jenis yaitu Pong. Yaitu kawasan terlarang seperti kawasan yang terletak dekat mata air. Puar merupakan kawasan hutan yang dapat dimanfatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti membangun rumah. Uma yaitu kawasan yang dialokasikan untuk pemukiman dan perladangan dan Satar yakni kawasan padang rumput atau savanna yang berfungsi sebagai padang penggembalaan ternak.

Kini, dengan perkembangan dunia yang semakin modern dan di tengah perkembangan dunia yang semakin pesat, nilai-nilai kebudayaan dan kearifan-kearifan lokal masyarakat Manggarai perlahan-lahan terancam hilang. * [kis.fg]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button