BUMI MANUSIA

Mengenang Uskup Emeritus Mgr. Gerulfus Kherubim Pareira, SVD

Oleh : Jacob J Herin

Hari ini tanggal  8 Oktober  2024, genap  52 tahun Imamat Uskup Emeritus Mgr. Gerulfus Kherubim Pareira SVD. Beliau dithabiskan menjadi uksup tahun 1971 – 22 Agustus 202.

Dalam bukunya berjudul: NON MORIAR SED VIVAM ET NARRABO OPERA DOMINI  NON MORIAR SED VIVAM ET NARRABO OPERA DOMINI. “Tangan kanan Tuhan berkuasa meninggikan, tangan kanan Tuhan melakukan keperkasaan! Aku tidak akan mati, tetapi hidup dan aku akan menceritakan perbuatan-perbuatan Tuhan” (Mzm 118:16-17).

Mgr. G. Kherubim Pareira SVD dilahirkan pada tanggal 26 September 1941 di Desa Lela. Ditahbisan imam di Lela oleh Mgr. Donatus Djagom SVD pada 22 Agustus 1971 dan diangkat menjadi  uskup Keuskupan Weetebula pada tahun 1985.

Mgr. Gerulfus Kherubim Pareira SVD saat ini memasuki usia 82 tahun. Uskup Kherubim, telah berbuat banyak  dan perubahan di dua keuskupan selama 22 tahun saat bertugas di Pulau Sumba dan  di Keuskupan Maumere.

Banyak pengalaman, mengutip cerita Mgr. Martinus D. Situmorang OFMCap, tentang perjalanan Uskup Kherubim sebagai calon imam dan imam selama 50 tahun ini.

Secara kronologis empiris, ia menjadi dekan, prefek, studi lanjut di Roma, penasihat dewan provinsi, Provinsial SVD. Sebagai Uskup Weetabula dan sebagai Uskup Maumere yang adalah Keuskupan Sufragan Keuskupan Agung Ende yang lebih kosmopolitan dan lebih terbuka.

Karenanya akan langsung memberi sumbangan dan menginspirasi keuskupan lain di Indonesia, karena lebih terbuka tanpa mengabaikan Keuskupan Agung Ende yang legendaris.

Selama 25 tahun bertugas di KWI, Uskup Kherubim hanya berkutat dibidang keuangan dengan segala cabang dan rantingnya. Beliau diam, mengamati, menghitung dan berkesimpulan mengenai angka-angka dan langkah-langkah.

Menjadi imam selama 50 tahun dan uskup 35 tahun bukanlah urutan dan pergantian tahun secara otomatis dan mengikuti kalender tetapi kairos yang sarat dengan berkat dan rahmat untuk diterima maupun dibagikan dan diteruskan.

BACA JUGA:  Uskup Max Regus : Kemajuan Ekonomi dari Pariwisata, Tidak Selalu Dibarengi Akselerasi Kultural

Ketika Uskup Kherubim bertugas di Sumba, wilayah itu belum sepenuhnya keluar dari tradisi adat yang begitu kuat. Maka strategi program pastoral secara perlahan-lahan menyesuaikan dengan arus perubahan zaman. Tetapi ketika ditugaskan menjadi Uskup Maumere tahun 2008, arus globalisasi telah melanda dunia.

Globalisasi telah membentur keluarga-keluarga yang sedang menghadapi persoalan, seperti kemiskinan, pembangunan, keadilan sosial serta nilai-nilai agama dan moral. Program pastoral tentu tidak sama dengan di Sumba. Maumere hidup dalam globalisasi sehingga program pastoral dan pendekatan mestinya disesuaikan dengan arus globalisasi. Memang selama 10 tahun Uskup Kherubim di Maumere banyak berhasil di bidang rohani dan jasmani, tetapi juga ada persoalan lain yang belum dapat dituntaskan hingga emeritus.

Hasil Sinode I, banyak program yang belum dilaksanakan, seperti kekurangan air bersih, budaya pesta pora, Orang Muda Katolik dan berbagai persoalan yang dihadapi keluarga-keluarga seperti kemiskinan. Masih ada sejumlah masyarakat yang sedang menderita karena kesulitan-kesulitan hidup, akibat pemborosan pada pesta pora pernikahan, tahbisan imam baru, pesta perak dan Komuni Pertama.

Semangat solidaritas di antara masyarakat sangat kuat, saat ada keluarga meninggal dunia, banyak keluarga dan handaitolan yang hadir. Yang menjadi kekurangan kita adalah kurangnya solidaritas mengunjungi orang-orang sakit di rumah maupun di rumah sakit. Solidaritas seperti ini akan  membawa dampak positif bagi penderita, bahkan mungkin segera sembuh dari sakitnya.

Dalam dua tahun terakhir (2020-2021), pandemi Covid-19 menjadikan jumlah permasalahan semakin meningkat. Mengatasi berbagai permasalahan dalam musim pademi sebagai anggota Gereja sebaiknya dihadapi bersama melalui solidaritas. Gereja dianjurkan memelopori kebijakan program yang tepat memberi penyuluhan dan pelatihan keterampilan sebagai strategi menangani sekaligus mengurangi berbagai persoalan yang  sedang dihadapi umat. Berbagai permasalahan baik secara individu maupun kelompok sebaiknya ditangani bersama. Kaum awam akan dengan sukarela melakukan penyuluhan, apabila program itu direncanakan secara matang dan dilaksanakan oleh lembaga Gereja.

BACA JUGA:  Hari Ini, Paus Fransiskus Kunjungi Timor Leste

Semua umat Katolik sebaiknya tidak lagi menganggap pastor dan uskup sebagai pimpinan atau elite Gereja yang paling dikenal dan dekat dengan umatnya. Tetapi satu kenyataan lain juga perlu diperhatikan.

Kebanyakan umat masih menganggap pastor paroki sebagai penentu kebijakan pastoral dan sebagai elite Gereja dan peran umat dalam pelbagai program pastoral hanya pada pengumpulan dana  dan lebih banyak mendoakan keberhasilan program-program. Dengan demikian boleh dikatakan bahwa belum banyak  perubahan hasil Sinode I.

Kebanyakan anggota Gereja belum keluar dari pandangan lama tentang pemimpin dan peran anggota di dalamnya. Sebagai anggota Gereja seharusnya memberi teladan dengan tidak melaksanakan pesta pora, melaksanaan program-program yang telah disepakati bersama pada Sinode I.

Soal kemiskinan masih merupakan problem pokok. Komisi Pastoral Sosial Ekonomi (PSE) memang telah berbuat banyak, khususnya dalam mengumatkan visi dan misi pastoral di bidang sosial ekonomi tetapi belum terlalu berhasil. Banyak program tetapi hasilnya belum menggembirakan, bahkan tidak dilaksanakan. Pendidikan Katolik masih membutuhkan dana.

Sekalipun gencarnya kampanye solidaritas pendidikan, umat menduga kalau partisipasi tidak berjalan, karena ada lubang besar sampai ke dalam tenda-tenda pesta, sehingga kesanalah larinya dana-dana yang dikumpul melalui program yang membebankan keuangan paroki dan umat di berbagai KUB.

BACA JUGA:  Kampung Runa : Kaya Potensi, Miskin Perhatian

Katekese dan kehadiran umat di berbagai kegiatan di KUB peminatnya mulai menurun. Yang paling banyak tidak hadir dalam kegiatan di KUB adalah laki-laki dari yang kecil sampai bapak-bapak.

Globalisasi telah membentur keluarga-keluarga yang sedang menghadapi persoalan, seperti kemiskinan, pembangunan, keadilan sosial, serta nilai-nilai agama dan moral.Gereja perlu meningkatkan pelayanan terhadap keluarga dan memahami kehidupan secara utuh, dalam dimensi sosial,ekonomi, politik, religius, dan budaya. Selanjutnya, memilih sikap pro-kehidupan demi keluarga. Gereja seharusnya melihat jauh melampaui keprihatinan pastoral tradisional seputar mencatat permandian dan perkawinan. Globalisasi secara harfiah telah memengaruhi semua aspek kehidupan manusia. Gereja sebaiknya merancang program pastoral yang utuh-menyeluruh. Program semacam ini akan membantu menyelamatkan keluarga-keluarga miskin.

Pastor paroki dan uskup adalah elite Gereja yang mampu memberi contoh berbagai teladan hidup seperti moralitas dan munafik seperti orang Farisi ingat Injil Mateus 23 27-32, menurut kata Yesus , Hai kamu orang –orang munafik, sebab kamu seperti kuburan  yang dilabur putih sebelah luarnya tampak bersih, tetapi yang sebelah dalamnya penuh dengan tulang belulang dan pelbagai kotoran.

Demikian jugalah kamu, sebelah luar kamu tampaknya benar diantara mata orang, tetapi sebelah dalam kamu penuh dengan kemunafikan dan kedurjanaan. Berubalah dalam mengurangi berbagai persoalan termasuk pesta pora menuju perubahan seperti dilakukan Uskup Kherubim.

Belajarlah dan tirulah teladan yang dilakukannya selama 52 tahun imamatnya. Selamat jalan Emeritus  Mgr  Kherubim Parera SVD menuju tempat yang telah disediakan oleh Tuhan Yesus di Surga banyak tempat  bagimu.

Penulis  adalah Penulis Buku 50  Tahun Imamat Kherubim Pareira, SVD

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button