BUDAYA

Lamalera Ditengah Arus Globalisasi, Hentakan “Hilibe” Tak Lagi Terdengar

Fince Bataona [Lembata]

Matahari baru saja menampakkan biasnya. Udara pantai masih menyisakan dingin. Tetapi di pantai berpasir hitam yang basah karena sapuan ombak semalam, kesibukan sudah terlihat. Lalu lalang para lelaki dengan mete bergantung di bahu berjalan menuju peledang (perahu nelayan Lamalera) masing-masing.

Saling menyapa, mengobrol seperlunya dan sesekali terdengar teriakan ajakan untuk ikut di salah satu peledang jika peledangnya hari itu tidak melaut. Peledang siap didorong ke bibir pantai ketika semua awak (matros) sudah siaga di pinggir peledang.

Doa sejenak dan percikaan air suci dilakukan dalam suasana hening, sebelum akhirnya terdengar aba-aba dan peledang mulai bergerak. Biasanya tak langsung masuk laut, tetapi harus beristirahat sejenak untuk menunggu disusunnya balok-balok di atas pasir agar peledang bisa melaju mulus masuk laut.

Pada balok terakhir dan bagian depan peledang sudah berada di air, semua matros melompat naik dan duduk pada posisi masing-masing. Lamafa (juru tikam), Lamauri (juragan) dan meing (matros).Semua sigap dengan dayung ditangan lalu terdengar hentakan suara “Hilibe…hilibe…hilibe!” Irama dayung yang menghentak badan perahu seolah menjadi penyemangat di pagi hari yang baru, saat memulai perjuangan hidup hari itu.”Hilibe…hilibe…hilibe”, baru akan berhenti saat layar mulai dibuka dan tiupan angin menjadi penolong setia mereka mencari nafkah di tengah lautan luas, Laut Sawu.

Begitulah pagi di Lamalera. Harmoni yang amat indah. Menyebut Lamalera, orang mengetahuinya sebagai desa yang terkenal dengan penangkapan ikan paus secara tradisional.Terletak di pantai selatan Pulau Lembata, perkampungan nelayan ini ‘berhadapan’ langsung dengan Laut Sawu yang membentang luas.

Tradisi menangkap ikan paus yang terjadi berabad-abad lamanya itu  terjadi pada bulan Mei sampai dengan Nopember. Masyarakat menyebutnya sebagai musim Lefa yang diawali dengan serangkaian ritual adat dan misa arwah mengenang nelayan yang meninggal di laut. Misa yang berlangsung di pantai Lamalera setiap tanggal 1 Mei itu sekaligus pemberkatan atas peledang-peledang.

Sepanjang musim inilah, setiap hari nelayan Lamalera melaut. Tak ada larangan  penangkapan pada bulan-bulan lain jika terlihat ada ikan paus yang kebetulan terlihat melewati perairan depan perkampungan Lamalera.  Begitu ada teriakan “baleo…baleo…baleo” di seluruh penjuru kampung, spontan para nelayan akan mendayung perahu dan mengejar ikan paus yang terlihat.

BACA JUGA:  Jelajah Nagekeo, Daya Tarik Wisata dan Warisan Leluhur

Tak semua jenis ikan paus menjadi sasaran perburuan nelayan Lamalera. Sperm whale atau yang disebut koteklema oleh masyarakat Lamalera merupakan jenis paus yang sering diburu. Jenis paus biru (balaenoptera musculus) yang dalam bahasa setempat disebut seguni dan klaru  tidak diburu. Selain bobotnya yang terlampau besar untuk ditaklukan nelayan Lamalera, masyarakat mempercayainya sebagai jelmaan nenek moyang mereka.

Tak hanya itu. Ikan paus yang sedang bunting dan bayi paus tidak akan menjadi sasaran penangkapan.Tentang proses penangkapan ikan paus, bak kisah heroik yang mendebarkan. Ketika ikan paus terlihat, peledang akan mendekat ke arah ikan. Dari jarak beberapa meter, juru tikam yang disebut Lamafa akan melompat ke arah tubuh ikan sambil menancapkan tempuling (alat tikam yang dilengkapi  tali panjang (leo) yg diikatkan pada mata tombak pada bambu sepanjang 4 meter).

BACA JUGA:  Lefa Nuang, Tradisi Berburu Ikan Paus Nelayan Lamalera

Lamafa menjadi penentu apakah sasaran tikam mematikan atau perlu tambahan tikaman lagi agar ikan paus benar-benar mati. Lamafa tidak sendirian. Berdiri tegak dibelakangnya ada breung alep yang memberi petunjuk perahu harus dibelokkan ke mana, tali tempuling harus dikencangkan atau dilonggarkan saat pertarungan dengan ikan paus dimulai.

Ikan paus yang terluka, akan melakukan gerakan perlawanan dengan memukulkan ekornya ke arah peledang. Saat-saat seperti inilah, keselamatan diri perlu dijaga. Menghindari  dan mencari posisi aman merupakan langkah tepat yang harus dilakukan awak peledang yang jumlahnya sekitar tujuh orang tersebut. Jika gerakan perlawanan paus mulai melemah dan akhirnya mati, barulah peledang kembali.

Tak selamanya proses ‘mematikan’ seekor ikan paus berjalan mulus. Banyak peristiwa tragis yang bisa dicatat. Mulai dari kematian nelayan karena terkena hempasan ekor ikan paus. Atau juga nelayan yang  terluka sampai cacat fisik karena belitan tali tempuling.Kerusakan peledang bahkan tenggelam dan hilang di kedalaman laut, juga pernah mewarnai hari-hari pertarungan nelayan Lamalera mencari nafkah.

Itulah hidup mereka. Hidup nenek moyang mereka yang  tak bisa digantikan dengan pekerjaan lainnya untuk alasan apapun. Membawa pulang seekor ikan paus artinya memberi makan seluruh warga kampung. Para janda dan yatim piatu wajib mendapatkan bagian dari pembagian hasil tangkapan tersebut. Nilai sosial yang sudah mendarah daging dalam diri masyarakat Lamalera.

BACA JUGA:  Ebang, Lumbung Pangan dan Identitas Budaya Orang Kedang

Masih bisakah nilai sosial itu terus dipertahankan ditengah arus globalisasi saat ini? Ini terkait mulai bergesernya “tenaga nelayan” (mendayung)  dengan keberadaan motor tempel yang mulai dipasang pada beberapa peledang saat musim lefa dan ikut melautnya perahu bermotor yang oleh masyarakat Lamalera disebut johnson.

Bukankah akan berdampak pada pembagian hasil tangkapan?Ini belum lagi soal perbedaan ‘kecepatan’ menggunakan motor tempel atau juga johnson mendapatkaan hasil tangkapan dengan peledang yang masih mengandalkan tenaga untuk mendayung.

Jika motor tempel memudahkan nelayan Lamalera mencari nafkah dan nelayan  Lamalera generasi saat ini pun lebih dimanjakan dengn fasilitas, mudah-mudahan tidak menggeser nilai sosial yang sudah turun temurun ditanamkan nenek moyang. Sebab bukan tak mungkin, muncul kapitalis baru yang menguasai hasil tangkapan dan nelayan Lamalera hanya mencukupkan dirinya dari pembagian hasil tangkapan untuk makan saja, tidak lebih.

Ini menjadi pekerjaan rumah (PR) generasi Lamalera untuk menjaga tradisinya. Cukuplah yang hilang hanya hentakan  yang menyemangati jiwa di pagi hari yang menyeruak diantara deburan ombak, dari arah laut Lamalera: “hilibe..hilibe…hilibe!”.*

 

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button